Perjanjian
kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. [1]
Jadi
dalam perjanjian perkawinan ini memiliki beberapa unsur pokok yaitu :
1. Dibuat
oleh calon suami istri
2. Dilakukan
sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan
3. Untuk
mengatur harta kekayaan mereka dalam perkawinan.
Gambaran
yang di ungkapkan oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo, sesuai dengan Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang diatur dalam Bab V tentang perjanjian
perkawinan pasal 29 dan 4 ayat yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal
29
(1) Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
(3) Perjanjian
tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
(4) Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.[2]
Dalam
pasal 29 ayat (1) menerangkan bahwa dalam perjanjian perkawinan dilakukan
secara tertulis, dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yang dilakukan
sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan. Serta isi dari perjanjian
perkawinan tersebut juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersebut tersangkut dengan perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang
melakukan pernjanjian perkawinan, yang dalam hal ini adalah suami istri.
Dalam pasal 29 ayat (2) menerangkan batasan-batasan
kapan perjanjian perkawinan tidak berlaku, yaitu bila melanggar norma-norma
yang berlaku dalam hal ini adalah perjanjian tersebut melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan. Ini juga terkait dengan pasal 1320 BW tentang
syarat sahnya perjanjian perkawinan. Yang bila dilanggar maka perjanjian
tersebut batal demi hukum.
Lalu
pasal 29 ayat (3) menerangkan kapan berlakunya perjanjian perkawinan tersebut.
Perjanjian perkawinan itu berlangsung setelah adanya perkawinan dan berlaku
sampai perkawian itu putus, baik itu karena salah satu dari pasangan tersebut
meninggal atau karena cerai, atau perjanjian tersebut dibatalkan bersama oleh
pihak-pihak yang terkait, yang dalam hal ini juga terkait dengan pasal 29 ayat
(4). Namun dalam pasal 29 ayat (4) juga menerangkan dalam perjanjian perkawinan
tersebut menerangkan bahwa bila ada perubahan dalam perjanjian perkawinan tidak
boleh merugikan pihak ketiga.
Tentang perjanjian perkawinan juga diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW)
pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku
mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan. Dengan mengadakan
perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan
menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar
persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang
baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
- Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
- Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
- Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
- Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.[3]
Setelah kita mengkaji
perjanjian perkawinan menurut Bab. VII KUH Perdata (BW) dalam pasal 139 sampai
dengan pasal 154 dan Undang-Undang No.1 tahun 1974 terutama dalam pasal 29 ayat (1), (2), (3)
dan ayat (4) yang bisa digunakan dalam hukum yang berlaku di Indonesia adalah
perjanjian perkawinan sesuai dengan yang di atur dalam Undang-Undang perkawian
No. 1 tahun 1974. Karena Undang-Undang perkawinan adalah Lex Spesialis dari
KUHPdt.
[1] R.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga
University Press, 1988
[2] Undang-Undang
perkawinan No. 1 tahun 1974
[3] http://bolmerhutasoit.wordpress.com/tag/perjanjian-perkawinan-dalam-hukum-perdata-barat-kuh-perdata/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar