Istilah
“prosedur” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tahap kegiatan
untuk menyelesaikan suatu aktivitas; Metode langkah demi langkah secara pasti
dalam memecahkan suatu masalah.[1]
Berdasarkan arti tersebut prosedur perubahan Undang-Undang Dasar dapat
diartikan sebagai tahap kegiatan untuk menyelesaikan perubahan Undang-Undang
Dasar dan langkah demi langkah dalam rangka melakukan perubahan Undang-Undang
Dasar.
mengenai sitem dan prosedur perubahan, ada empat macam cara perubahan :
a. perubahan
konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu.
b.
perubahan konstitusi dilakukan oleh rakyat melalui referendum.
c.
perubahan konstitusi yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian.
d.
perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh
suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Terkait proses Perubahan Undang-Undang Dasar, secara eksplisit diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
1)
Usul
perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2)
Setiap
usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3)
Untuk
mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
4)
Putusan
untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5)
Khusus
mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Dari
pasal tersebut, maka dapat disimpulkan: pertama, bahwa wewenang untuk
mengubah Undang-Undang Dasar berada di tangan MPR. MPR terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota-anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Melihat susunan MPR tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga negara
tersebut merupakan penjelmaan rakyat Indonesia. Dengan kata lain, dapat
dikemukakan bahwa menetapkan serta mengubah Undang-Undang Dasar berada di
tangan satu lembaga negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Lembaga-negara ini menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 diberi kekuasaan
melaksanakan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas
mengatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Kedaulatan yang berada di
tangan rakyat ini dilakukan hanya dan oleh satu badan atau lembaga-negara,
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Itulah sebabnya, oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
tentang Sistem Pemerintahan Negara dikatakan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat tersebut merupakan penjelmaan rakyat Indonesia. Kedua, menurut
sistem ketatanegaraan seperti dianut Undang-Undang Dasar, MPR sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat mempunyai tugas serta wewenang tertentu. Salah satu
wewenangnya seperti dinyatakan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 tentang
Peraturan Tata-Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah mengubah
Undang-Undang Dasar, disamping terdapat kewenangan yang lain yang tidak
terdapat dalam Undang-Undang dasar 1945.
Ketiga, mengenai prosedur pengambilan keputusan Dalam Pasal 37
UUD diatur bahwa perubahan Undang-Undang Dasar sah apabila diterima oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Namun, di dalam
Ketatapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 Tentang Peraturan Tata-Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat, juga menentukan bahwa pengambilan keputusan secara
lain, yaitu mufakat disamping dengan suara terbanyak.
Suara
terbanyak yang dimaksud dalam hal ini, seperti halnya yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. H.R. Sri Soemantri M.,S.H.
suara terbanyak dapat berupa :
1. suara
terbanyak (yang) ditentukan.
2.
sekurang-kurangnya ½ ditambah Satu.
3. lebih dari
setengah.
4. suara
terbanyak biasa.[2]
Mengenai
cara pemungutan suara, ditempuh pasal 92 ayat (3) Ketetapan MPR-RI No.
I/MPR/1983 menentukan enam macam cara, yaitu:
1. dengan
lisan;
2. dengan mengacungkan
tangan;
3. dengan
berdiri;
4. dengan
tertulis;
5. dengan
pindah tempat; dan
6. dengan
pemanggilan nama.[3]
Apabila masalah prosedur Perubahan
Undang-Undang Dasar tersebut direnungkan, maka walaupun sudah dilengkapi dengan
Ketetapan MPR – hukum tata negara dan atau hukum konstitusi, Indonesia hanya
mengatur tiga macam prosedur, yaitu:
1. mengenai
kuorum sidang-sidang MPR
2.
mengenai pengambilan keputusan MPR dalam mengubah Undang-Undang Dasar,
yang dapat dilakukan:
2.1
dengan berdasarkan mufakat; dan
2.2
dengan berdasarkan suara terbanyak[4]
Di
samping prosedur dalam pasal 37 UUD 1945 maupun dalam ketetapan MPR-RI No.
I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata-Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak
ditemukan ketentuan tentang sistem yang dianut dalam mengubah Undang-Undang
Dasar. Hal ini berbeda dengan yang tercantum dalam Konstitusi Kerajaan Belanda
dan Konstitusi Kerajaan Amerika Serikat. Dalam Konstitusi Kerajaan Belanda
masalah tersebut tersurat dalam perkataan “..en bij de Grondwet gevoegd..” tercantum
dalam pasal 212 (205). Dalam pada itu, sistem perubahan dalam Konstitusi
Amerika Serikat tersimpul dalam anak kalimat yang berbunyi “..as part of
this constitution..” yang tercantum dalam Article V Konstitusinya. Seperti
telah diketahui, Konstitusi Amerika Serikat yang ditetapkan oleh “the founding fathers” dinyatakan
sebagai “fundamental law” dalam negara.
Walaupun
seperti telah diuraikan, Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR-RI No.
I/MPR/1983 tidak mengatur secara tegas tentang bagaimana sistem yang ditempuh
dalam melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar