Setelah
kita mengkaji beberapa hal yang mendasar mengenai dasar-dasar hukum perkawinan
dan dasar-dasar hukum perjanjian, maka dalam bab ini akan membahas bagaimana
konstruksi hukum dari ikatan perkawinan dari hukum perjanjian.
Konstruksi
hukum perkawinan dilihat dari hukum perjanjian ini akan dibagi menjadi beberapa
kategori yang sistematis yaitu :
1. Penegrtian
dan tujuan perkawinan
2. Dasar
hukum perjanjian perkawinan
3. Syarat
sahnya perjanjian perkawinan
4. Akibat
hukum perjanjian perkawinan, dan
5. Batalnya
perjanjian perkawinan.
Secara
umum maka pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yaitu yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Dari
pengertian dan tujuan perkawinan di atas maka perkawinan merupakan salah satu
bentuk perjanjian, karena adanya suatu ikatan dari dua subjek, yaitu suami dan
istri. Sehingga perkawinan di atur dasar-dasarnya/ dasar hukumnya dalam UU Np.1
Tahun 1974 bab I dari pasal 1 sampai pasal 5.
Lalu
syarat-syarat perkawinan dapat dilihat juga dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1320, karena perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian. Dimana
dalam pasal 1320 ada emapat syarat yaitu :
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu
hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal[2]
Lalu
syarat perkawinan juga diatur lebih lanjut dalam UU No. 1 Tahun 1974 bab II
pasal 6 sampai pasal 12 Yang pada intinya diberikan rambu-rambu dengan
diberikan persyaratan bagi setiap orang yang ingin melangsungkan perkawinan.
Sehingga
dilihat dari penegrtian, tujuan perkawinan dan syarat perkawinan maka yang
menjadi subjek perkawinan adalah suami dan istri, namun dalam perkawinan juga
tidak terlepas dari keluarga, karena walaupun dalam UU No. 1 tahun 1974 tidak
menyebutkan keluarga namun dalam prosesi perkawinan yang menjadi kebiasaan
masyarakat, selain menyatukan suami dan istri juga dengan perkawinan juga
menyatukan dua keluarga yang berbeda.
Lalu
bila perjanjian perkawinan ini sudah terlaksana maka akan menimbulkan akibat
hukum, yang meliputi : hak dan kewajiban Suami Istri (BAB VI) dan harta benda
perkawinan yang diatur dalam (BAB VII) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.[3]
Namun
demikian setiap perkawinan yang dapat dikategorikan perjanjian juga dapat
batal. Batalnya berkawinan ini juga di atur dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1974 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Bila
kita mengkaji dari KUHPdt. Maka kita bisa melihat dalam pasal 1320 KIHPdt. Bila
tidak memenuhi syarat objektif dalam pasal tersebut maka perkawinan tersebut
menurut hukum perjanjian maka memiliki akibat hukum “batal demi hukum” lalu
bila tidak memenuhi syarat subjektif, maka perkawinan tersebut menjadi
berakibat dapat dibatalkan. Lalu bila kita mengkaji dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maka batal
tidaknya suatu perkawinan bisa dilihat dari syarat-syarat perkawinan sesuai
dengan BAB II pasal 6 sampai pasal 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar