Masudiati
(30 tahun) seorang guru yang berdomisili di Bali. Pada tanggal 16 – 12 – 2010
di datangi oleh I Gusti Rajeg (35 tahun) di sekolah dimana Masudiati mengajar.
Maksud kedatanganya untuk mengambil Masudiati sebagai istrinya. Sebagai bukti
cintanya I Gusti Lanang Rajeg menyerahkan Taspen, Karpeg dan sebuah sepeda
motor baru, disertai janji bahwa setelah Masudiati dibawa kawin lari olehnya, I
Gusti Lanang Rajeg akan menikahi secara adat dan agama, dalam waktu 4 bulan.
Namun, setelah mereka hidup bersama dan telah berlangsung 1 tahun 4 bulan I Gusti Lanang Rajeg tak
kunjung menikhinya. Ketika didesak untuk menikahinya, I Gusti Lanang Rajeg
tidak mau, malah dia menjawab : “ jika saya nikah dengan kamu, maka saya akan
dibuang keluarga saya.” Mendengar pernyataan itu, maka Masudiati memutuskan
hubungan suami istri tanpa nikah itu. Masudiati merasa dirugikan, nama baiknya
tercemar karena sudah kawin lari, hidup bersama sebagai suami istri, tetapi
tidak jadi di nikahi, selain itu selama hidup bersama Masudiarti mengeluarkan
biaya yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan beragai argumen di atas, maka di
pandang perlu untuk mengkonstruksi hukum dari kasus di atas untuk memberikan
solusi hukum bagi Masudiarti.
1.
Masudiarti, Perempuan, Umur 30 Tahun,
Pekerjaan guru, Alamat Bali
Melawan
2.
I Gusti Lanang Rajeg, Laki-laki, Umur 35
Tahun, Alamat Bali.
Mengenai duduk perkara :
1.
Pada tanggal 16-12-2010 Masudiarti (30
tahun) di datangi oleh I Gusti Lanang Rajeg di sekolah dimana Masudiarti
mengajar dengan maksud untuk menjadikan Masudiarti menjadi istrinya.
2.
Sebagai bukti tanda cintanya, I Gusti Lanang
Rajeg menyerahkan Taspen, Karpeg, dan sebuah sepeda motor baru,disertai janji
bahwa setelah Masudiarti si bawa kawin lari olehnya, I Gusti Lanang Rajeg akan
menikahinya secara adat dan agama dalam waktu 4 bulan.
3.
Namun, setelah mereka hidup bersama san
telah berlangsung 1 tahun 4 bulan, I Gusti Lanang Rajeg tak kunjung
menikahinya.
4.
Ketika di desak untuk menikahi, I Gusti
Lanang Rajeg tidak mau, malah dia menjawab : “jika saya nikah dengan kamu, maka
saya akan di buang oleh keluarga saya.”
5.
Oleh karena itu, Masudiarti merasa
dirugikan, nama baiknya tercemar, karena sudah kawin lari, hidup bersama
sebagai suami istri, tetapi tidak di nikahi.
6.
Selama hidup bersama Masudiarti
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Melihat dalam duduk perkara di atas, maka terjadi
perbuatan melawan hukum yang disebabkan adanya pelanggaran janji kawin yang
dilakukan I Gusti Lanang Rajeg kepada Masudiarti dalam hal janji kawin yang
dimana menimbulkan :
·
I Gusti Lanang Rajeg melanggar hak
Mudiarti
·
I Gusti Lanang Rajeg dalam hal tidak
memenuhi janji kawin bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
·
I Gusti Lanang Rajeg dalam hal melakukan
janji kawin dan hidup selama 1 tahun 4 bulan tanpa hubungan perkawinan telah
melanggar kesusilaan, dan
·
I Gusti Lanang Rajeg dalam hal tidak
memenuhi janji kawin, yang menimbulkan tidak adanya hubungan kawin namun, hidup
sebagai suami dan istri selama 1 tahun 4 bulan bersama Masudiarti adalah
bertentangan dengan kepatutan yang harus di indahkan dalam pergaulan
masyarakat.
3.1 ketentuan hukum, teori dan
hubunganya dengan perkara
Melihat, beberapa hal mengenai hal tersebut. Maka
yang dilakukan oleh I Gusti Lanang Rajeg termasuk dalam janji kawin. Dimana,
bila kita melihat lebih jauh lagi maka bisa di analisis dengan hukum positif
yang ada di Indonesia tentang perkawinan. Yaitu Undang-Undang Perkawinan No.1
Tahun 1974, pasal 58 KUHPdt. Dan Hukum Islam.
Berkaitan dengan ingkar janji kawin ini, baik
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tidak mengaturnya, sedang dalam hukum
Islam sendiri ingakr janji dipersamakan dengan perjanjian/akad pada umumnya
sesuai dengan Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 91 , maka melihat hal tersebut maka
bisa kita kaji lebih jauh dalam pasal 58 KUHPdt.
Di dalam KUHPdt., terdapat suatu pasal yang mengatur
mengenai ingkar janji kawin, yaitu pasal 58 yang menyatakan bahwa :
“ayat 1 : janji-janji untuk kawin tidak menimbulkan
hak guna menuntut dimuka hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna
menuntut pergantian biaya, rugi, dan bunga, akibat kecederaan yang dilakukan
terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
Ayat 2 : jika namun itu pemberitahuan kawin kepada
pegawai pencatatan sipil telah diikuti dengan pengumuman kawin, maka yang
demikian itu dapat menimbulkan alasan guna menuntut penggantian biaya, rugi dan
bunga berdasar atas kerugian-kerugian yang nyata kiranya diderita oleh pihak
satu mengenai barang-barangnya, disebabkan kecerdasan pihak lain, dengan
sementara itu tidak boleh di persoalkan kehilangan untung.
Ayat 3 : tuntutan ini berkadaluarsa setelah lewat
waktu selama delapan belas bulan, terhitung mulai pengumuman kawin.”
Akibat terjadinya ingkar janji kawin, perempuan
dapat menderita kerugian materiil dan immaterill yang dalam hal ini dialami
oleh Masudiarti akibat janji kawin yang dilakukan oleh I Gusti Lanang Rajeg.
Oleh karena itu, perempuan sebagai pihak yang dirugikan merasa perlu untuk
memperoleh haknya, yaitu menuntut ganti kerugian, tetapi menurut pasal 58 ayat
(1) KUHPdt. Penuntutan tidak dapat dilakukan karena jelas dikatakab bahwa
jani-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut dimuka hakim akan
berlangsungnya perkawinan juga tidak menuntut pergantian biaya, rugi dan bunga
akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti
rugi dalam hal ini adalah batal.
Walaupun secara jelas pasal 58 ayat (1) KUHPdt.
Mengatakan bahwa penuntutan ganti kerugian tidak dapat dilakukan, tetapi dapat
digunakan kaidah hukum lain, berupa yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No.
3191K/Pdt/1984. Putusan tersebut dapat dikategorikan sebagai penemuan hukum
karena dengan adanya pasal 58 ayat (1) KUHPdt. Maka pria yang telah melanggar
janjinya untuk melangsungkan perkawinan tersebut tidak dapat di tuntut secara
perdata, sehingga dengan adanya yurisprudensi ini, maka dapat dilakukan
penuntutan secara keperdataan.
Sehubungan dengan hal tersebut Sudikno Mertokusumo
berpendapat bahwa bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang
dipentingkan adalah fakta atau
peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya adalah alat, sedangkan yang
bersifat menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinan terjadi suatu peristiwa
yang meskipun sudah ada peraturanya, justru lain penyelesaianya.
Seperti yang telah dijelaskan di atas,
karena perkara ini termasuk dalam ranah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) maka
perlu di jelaskan pula unsur-unsur dan syarat apa yang telah terpenuhi dalam
kasus ini.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan
melawan hukum haruslah mengandung unsur – unsur
sebagai berikut:
1.
Adanya suatu
perbuatan melawan hukum;
2.
Adanya
kesalahan dari pihak pelaku;
3.
Adanya
kerugian bagi korban;
4.
Adanya
hubungan kausal antara perbuatan – perbuatan dengan kerugian;
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si
pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan,
baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam
arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban
hukum untuk melakukannya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena
ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, terhadap
perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan
tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam
kontrak.
Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti yang seluas –
luasnya, yakni meliputi:
a. Perbuatan
yang melanggar undang – undang yang berlaku;
b. Yang
melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum;
c. Perbuatan
yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
d. Perbuatan
yang bertentangan dengan kesusilaan (goede
zeden);
e. Perbuatan
yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk
memperhatikan kepentingan orang lain (indruist
tegen de zorgvildigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten
aanzien van anders persoon of goed);
Agar dapat dikenakan pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum,
undang – undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah
mengandung unsur kesalahan (schuldelement)
dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa
kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada
pasal 1365 KUHPerdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab
tanpa kesalahan tersebut (strict
liability), hal tersebut tidaklah didasari atas pasal 1365 KUHPerdata,
tetapi didasarkan pada undang – undang lain. Dalam hal ini, I Gusti Lanang
Rajeg melakukan perbuatan yang menimbulkan kesalahan, yaitu mengingkari janji
kawin terhadap Masudiarti yang mengakibatkan tercemarnya nama baik Masudiarti
dan adanya kerugian materiil yang di terimanya.
Oleh karena pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan
hukum, maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut.
Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat
dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur – unsur sebagai
berikut:
a. adanya unsur
kesengajaan, atu;
b. adanya unsur
kelalaian (negligence, culpa), dan;
c. Tidak ada
alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond),
seperti keadaan overmacht, membela
diri, tidak waras, dan lain – lain;
Mengenai perlunya syarat unsur “kesalahan” disamping unsur “melawan hukum”
dalam suatu perbuatan melawan hukum, ada terdapat 3 (tiga) aliran sebagai
berikut:
a. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur
melawan hukum.
Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur melawan hukum terutama dalam arti
luas, sudah inklusif unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan
lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda
aliran ini dianut misalnya oleh Van Oven.
b. Aliran yang menyatakan cukum hanya unsur
kesalahan.
Sebaliknya, aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan, sudah
mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum di dalamnya, sehingga tidak
diperlukan lagi unsur “melawan hukum” terhadap suatu perbuatan melawan hukum.
Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Van Goudever.
c. Aliran yang menyatakan diperlukan,
maupun unsur melawan hukum maupun unsur
kesalahan.
Aliran ini mengajarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum harus
mensyaratkan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam
unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri
Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Meyers.
Kesalahan yang diisyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan hukum, baik
kesalahan dalam arti “kesalahan hukum” maupun “kesalahan sosial”. Dalam hal ini
hukum menafsirkan kesalahan sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup
dengan sikap yang ideal, yakni sikap yang biasa dan normal dalam suatu
pergaulan masyarakat. Sikap yang demikian kemudian mengkristal dalam istilah
hukum yang disebut dengan standar “manusia yang normal dan wajar (reasonable man)”.
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga
merupakan syarat agar gugatan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dapat
dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenai
kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping
kerugian immateril, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateril yang
juga akan dinilai dengan uang. Dalam hal ini, Masudiarti mengalami kerugian
materiil dan imateriil, materil karena selama hidup 1 tahun 4 bulan Masudiarti
mengeluarkan biaya yang cukup banyak dalam hidup seperti suami istri tanpa
pernikahan dan imateriil karena tercorengnya nama baik Masudiarti karena hidup
layaknya suami istri namun tidak di nikahi oleh I Gusti Lanang Rajeg.
Hubungan kausal antara perbuatan
yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu
perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori,
yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira – kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa
yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya
kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya)
tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan
melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa
Kontinental yang sangat mendukung ajaran faktual ini.
Selanjutnya, agar lebih praktis dan
agar tercapainya elemen kepastian hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah
konsep “sebab kira – kira (proximate
cause)”. Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan
dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan
hukum. Kadang – kadang, untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai
penyebutan lainnya.
Dalam kasus yang melibatkan I Gusti
Lanang Rajeg dan Masudirti, hubungn kausalnya adalah I Gusti Lanag Rajeg
mengingkari janji kawin terhadap Masudiarti, sehingga timbulah kerugian baik
materiil dan imateriil yang dialami oleh Masudiarti.
Dalam
kasus ingakar janji kawin yang dilakukan I Gusti Lanang Rajeg terhadap
Masudiarti, maka dapat di selesaikan dengan dua cara, yaitu penyelesaian
melalui jalur peradilan dan di luar jalur peradilan.
Penyelesaian
jalur di luar peradilan, dilakukan dengan musyawarah oleh pihak Masudiarti dan
pihak I Gusti Lanang Rajeg, mengingat dalam perkara ini erat kaitanya dengan
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat setempat. Yaitu, mengenai perkawinan
di dalam masyarakat Bali yang di pengaruhi oleh sistem kasta yang ada, yang
dimana sistem kasta tersebut merupakan salah satu hal terpenting dalam hukum
adat Bali. Sehingga, akar permasalahannya adalah masalah adat, maka lebih
diutamakan adalah penyelesaian secara adat, melalui musyawarah sesuai hukum
setempat. Selain itu, bila menggunakan hukum adat Bali maka, hukum yang di
berlakukan dirasa lebih adil karena sesuai dengan suasana kebatiniahan
masyarakat setempat.
Namun,
apabila penyelesaian di luar peradilan tidak menemui titik temu dalam
penyelesaian permasalahan tersebut, maka dapat dilakukan melalui jalur
peradilan. Dimana Masudiarti berhak mengajukan perkara ini di muka hakim
terkait kasus ingkar janji kawin dalam ranah Perbuatan Melawan Hukum. Dimana,
dalam pengajuanya di dasarkan pada yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No.
3191K/Pdt/1984 dan pasal 1365 KUHPerdata. Sehingga, Masudiarti memperoleh
pemulihan nama baiknya yang tercemar dan mendapat gnti rugi secara materiil,
karena selama hidup layaknya suami istri masudiarti mengeluarkan biaya yang
cukup banyak jumlahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar