PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
disusun oleh
Nama : DWIKY AGIL RAMADHAN
NIM :
E1A012279
Kelas
: C
Prodi / Fak. : Ilmu Hukum/Hukum
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................... . i
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A.
Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A.
PENGERTIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ..................................
3
B.
JENIS
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL....................................... 6
C.
PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL.........................................................................................
10
BAB III KESIMPULAN DAN
SARAN ............................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan Industrial pada dasarnya
adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan antara pengusaha dengan pekerja.[1]
Dalam hubungan tersebut memang tidak selamanya akan berjalalan lancar-lancar
saja dalam arti tidak ada permasalahan yang timbul dari hubungan industrial.
Ini terbukti dengan banyaknya pemberitaan di media massa saat ini yang
memberitakan perselisihan-perselisihan di dalam hubungan industrial tersebut.
Banyak faktor yang menjadi penyebab
dalam permasalahan atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan
pengusaha, yang antara lain adalah Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK atau
karena tidak adanya pemenuhan hak-hak bagi pekerja. Namun, tidak hanya itu,
permasalahan hubungan industrial juga bisa terjadi anatara para pekerja
sendiri. Misalkan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Karena banyak
perselisihan-perselisihan yang timbul dalam hubungan industrial tersebut, maka
perlu di cari cara terbaik dalam menyelesaikan permasalah atau perselisihan
hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha atau pekerja dengan
pekerja. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menyelesaikan masalah
tersebut ? hal ini perlu dikaji secara komperhensif sehingga dalam hubungan
industrial antara pekerja dengan pengusaha tercipta sebuah hubungan yang
harmonis dalam upaya mewujudkan suasana ketenagakerjaan yang baik dan harmonis
di negeri ini
1.
Bagaimana
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia ?
BAB II
Hubungan industrial adalah suatu
sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.[2]
Dari pengertian hubungan industrial di atas maka ada beberapa pihak-pihak yang
terkait dalam hubungan industrial tersebut yang antara lain adalah
pengusaha/pemberi kerja, pekerja/ buruh dan pemerintah.
Jadi perselisihan hubungan industrial
adalah perselisihan yang menyangkut hubungan antara pengusaha dan pekerja,
serta melibatkan pemerintah dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentangpenyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang dimaksud perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pegusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.[3]
Adapun yang dimaksud dengan
perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan
yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya keseuaian pendapat
mengenai pembuatan dan/atau peraturan perusahaan atau perjanjikan kerja
bersama, serta perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh satu pihak. Serta perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.[4]
Karena pihak-pihak yang terkait
menurut definisi di atas hanya pengusha, pekerja,dan pemerintah maka di dalam
hubungan industrial tersebut, ketiganya memiliki peranan atau fungsi
masing-masing dalam hubungan industrial tersebut, antara lain :[5]
1. Fungsi Pemerintah :
·
Menetapkan
kebijakan
·
Memberikan
pelayanan
·
Melaksanakan
pengawasan
·
Melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2. Fungsi pekerja/ buruh dan serikat pekerja/buruh
·
Menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibanya
·
Menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi
·
Menyalurkan
aspirasi secara demokratis
·
Mengembangkan
keterampilan dan keahlianya
·
Memajukan
perusahaan
·
Memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya
3. Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya
·
Menciptakan
kemitraan
·
Mengembangkan
usaha
·
Memperluas
lapangan kerja
·
Memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan
Dari peranan atau fungsi para pihak
yang ada di dalam hubungan industrial tersebut, terlihat bahwa ada suatu
hubungan yang saling membutuhkan antara pihak-pihak yang terkait dalam hubungan
industrial tersebut. Dalam upaya menciptakan hubungan yang baik tersebut, maka
diperlukan sarana-sarana yang diperlukan dalam hubungan industrial tersebut,
adapun sarannya adalah sebagai berikut : [6]
a. Serikat pekerja/buruh
b. Organisasi pengusaha
c. Lembaga kerjasama bipatrite
d. Lembaga kerjasana tripatrite
e. Peraturan perusahaan
f. Perjanjian kerja bersama
g. Peraturan perundang-undangan ketengakerjaan
h. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial
Dari sarana yang ada dia atas maka
dapat kita golongkan dalam dua (2) kelompok. Kelompok yang pertama adalah cara
yang digunakan untuk mencegah adanaya perselisihan hubungan industrial
(preventif) dan yang kedua adalah cara penyelesaian hubungan industrial bila
terjadi permasalahan atau perselisihan hubungan industrial (represif).
B.
JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tidak terlepas dari fungsi-fungsi
pihak yang terkait di atas maka, sejatinya perselisihan hubungan industrial
menyangkut permasalahan diantara ketiga pihak diatas. Maka berdasarkan pasal 2
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi
: [7]
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.
Denagan cakupan materi perselisihan
hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas, penjelasan umum UU No.2 Tahun
2004 menjabarkan lebih lanjut bahwa perselisihan hubungan industrial pada
pokoknya adalah sebagai berikut :[8]
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara
perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/buruh dengan pengusaha atau
organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga dapat terjadi antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam
satu perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada
awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh pihak yang berselidih
(bipatrite).
4. Dalam hal perundingan oleh pihak yang berselisih
(bipatrite) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihanya pada instani yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat.
5. Perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan
melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian
perselisihan melalui arbitrase atas kesepakatan kedua belah pihak hanya
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan
perselisihan melalui konsiliasi atau arbitarse, maka sebelum diajukan ke
pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan
industrial di pengadilan.
6. Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan
melalui konsiliasi atau arbitrase, namun sebelum diajukan ke pengadilan
hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7. Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai
kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
8. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat
diajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial karena putusan arbitrase
bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan
pembatalan ke Mahkamah Agung.
9. Pengadilan hubungan industrial beradal pada
lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada pengadilan negeri secara bertahap
pada Mahkamah Agung.
10. Untuk menjamin penyelesain yang cepat, tepat,
adil, dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
pengadilan hubungan industrial yang berada pada linkungan peradilan umum
dibatasi proses dan tahapanya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan
upaya banding ke pengadilan tinggi. Putusan pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun
putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh
dalam satu perusahaan merupukan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak
dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
11. Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan
mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh majelis hakim yang
beranggotakan 3(tiga) orang, yakni seorang hakim pengadilan negeri dan 2 (dua)
orang hakim ad hoc yang pengangkatanya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan
organisasi pekerja/ organisasi buruh.
12. Putusan pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakan hukum ditetapkan sanksi, sehingga
dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini
ditaati.
Imam soepomo, menyebutkan jenis
perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtgeschil) dan perselisihan kepentingan (belangengeschil)[9].
Sedangkan menurut H.M Laica Marzuki, terdapat dua macam karakteristik
perselisihan yang mewarnai karakteristik perselisihan yang mewarnai kasus-kasus
perburuhan, yakni :
1. Kasus perselisihan hak (rechtgeschil, conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya
persesuaian yang demikian itu, menitik beratkan aspek hukum (rechtmatigheid ) dari permasalahan, utamanya menyangkut
pencederaan janji ( wanprestasi )
terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
2. Kasus perselisihan kepentingan (belangeschillen, conflict of interset )
yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-sayarat
kerja dan/atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut perbaikan ekonomis serta
akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan sedemikian menitikberatkan doelmatigheid permasalahan.
Karakteristik
perselisihan hak, pada intinya perselisihan hak normatif atau hak atas hukum
dalam hubungan kerja, yakni perselisihan yang menitikberatkan aspek hukum (rechtmatigheid ), sebagai akibat
terjadinya pelanggaran/tidak dipenuhinya hak, perbedaan perlakuan atau
penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan maupun perjanjian kerja bersama. Sedangkan karakteristik
perselisihan kepentingan berkaitan dengan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan, yang menitikberatkan pada kebijaksanaan (doelmatigheid ) permasalahan, di luar aspek hukum.[10]
Dari pendapat Imam
Soepomo, Laica Marzuki dapat diketahui bahwa perselisihan hubungan industrial
hanya berwenang untuk mengadili perselisihan hak saja. Mustahil dapat
menyelesaikan perselisihan kepentingan. Perselisihan kepentingan hanya dapat
diselesaikan melalui jalur non litigasi, yaitu mediasi, konsiliasi atau
arbitrase. Ketiga lembaga itu akan menyelesaikan dengan mencari win-win solution dalam bentuk
kebijaksanaan. Apabila perselisihan kepentingan di selesaikan melalui jalur
penyelesaian hubungan industrial, hakim peneyelesaian hubungan industrial akan
menggunakan aturan hukum dengan menomorduakan kebijaksanaan yang dicapai
melalui win-win solution .[11]
C.
PROSEDUR PENYELESIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam rangka upaya
penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Cara-cara yang di tempuh ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa dalam
perselisihan hubungan industrial itu sendiri. Secara garis besar ada dua cara
yang dapat di tempuh dalam menyelesaiakn perselisihan hubungan industrial,
yakni melalui pengadilan hubungan industrial dan yang kedua adalah di luar
pengadilan hubungan industrial.
Adapun cara-cara
yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan industrial antaralain adalah
bipatrit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi. Cara-cara penyelesian perselisihan
hubungan industrial ini sangat dianjurkan, karena tidak melalui pengadilan
hubungan industrial yang pastinya akan lebih menyita waktu, biaya dang tenaga
pada pihak-pihak yang bersengketa. Diantara penyeleseian perselisihan hubungan
industrial antara lain :
1.
Bipatrite
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (“UU PHI”) adalah
perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat, dan jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai
kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Setiap perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja
harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan
tersebut sekurang-kurangnya memuat:
v
nama lengkap dan alamat para pihak;
v
tanggal dan tempat perundingan;
v
pokok masalah atau alasan perselisihan;
v
pendapat para pihak;
v
kesimpulan atau hasil perundingan; dan
v
tanggal serta tandatangan para pihak yang
melakukan perundingan.
Dalam hal perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka
dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak. Perjanjian
Bersama tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian
Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran
Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh
salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana
Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal
pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran
Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti
upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit tidak dilampirkan, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan
berkas-berkas tersebut untuk dilengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Dan
setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada
para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi, mediasi
atau melalui arbitrase. Dan apabila para pihak tidak menetapkan pilihan dalam
waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan secara mediasi kepada mediator.[12]
2.
Konsiliasi
Pengertian konsiliasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2
Tahun 2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1
angka 13 yang berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut
konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral”. Konsiliator sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka
14 yang berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan
wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.[13]
3.
Arbitrase
Pengertian arbitrase sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun
2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka
15 yang berbunyi “arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut
arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antar serikat kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar
pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak
yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusanya
mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan arbiter sendiri adalah
seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh menteri unuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan yang diserahkan penyelesaianya melalui arbitrase yang putusanya
mengikat para pihak dan bersifat final.
4.
Mediasi
Mediasi menurut Undang-Undang No.2
Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial dijelaskan pengertianya
dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan industrial yang selanjutnya
disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang mediator atau lebih mediator yang netral.[14] Sedangkan
mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
menteri untuk bertugas melakukan mediasi yang mempunyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Dalam hal ini mediator harus memenuhi syarat-syarat sebagai mediator,
adapun syarat untuk menjadi mediator adalah :
a.
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.
Warga negara Indonesia
c.
Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
d.
Menguasai peraturang perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan
e.
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
f.
Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (1) dan
g.
Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri
5.
Pengadilan Hubungan Industrial
Pengdilan Hubunga industrial menurut Undang-Undang
No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah
pengadilan khusus yang di bentuk di lingkungan peradilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusang terhadap perselisihan hubungan
industrial.
Proses beracara di PHI, sebagaimana
disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku
di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan,
yaitu dalam surat
gugatan hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan
ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam
penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat
pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan
Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat
pertama mengenai perselisihan hak;di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan;di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Gugatan perdata yang diajukan dan diperiksa oleh hakim PHI ini terutama
kasus perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat
Konsiliasi dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi
gugatan ke PHI, umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak
yang berperkara mengenai besar-kecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi
perumahan dan pengobatan, dsb dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau
Tingkat Mediasi. Atau bisa juga karena salah satu pihak beperkara ingkar
terhadap Perjanjian Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat
Bipartit, atau Tingkat Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat
Mediasi. Kalau yang terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim kasasi adalah majelis hakim di Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu
Hakim Agung dan dua Hakim Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan
mengadili perkara perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK)
terhadap putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling
lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan
kita, tetapi juga merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari
perlindungan hukum. Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan
demikian, diharapkan tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena
terhadap pekerjanya. Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004 dan PHI ini
diimbangi peran serta konsiliator, arbiter, mediator, dan hakim PHI yang
benar-benar menegakkan hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari KKN serta
netral (tidak memihak). Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan
mediator, maupun putusan PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan
kepatutan.
Perselisihan perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu, sudah
saatnya dan sudah seharusnya diadili oleh peradilan umum sejak dari awal. Namun
bagi pencari keadilan, Pekerja terutama, yang terpenting bukan pada institusi
dan mekanisme penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat
diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan
calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar, karena
walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih
menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi
putusan PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase
yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi
ini merupakan masalah yang sangat krusial, karena disinilah penentuan dan letak
akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika sulit untuk
dieksekusi. Dalam praktek peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang
"pasti" mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda
terjadinya permainan yang memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum
pengadilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru
mengenai eksekusi putusan pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang
sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan waktu proses eksekusi. Selain itu
pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam wilayah yang padat industri
harus menjadi perhatian Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan.
Dengan demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian
perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu
merubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan
adalah identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan
keraguan masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan
yang seperti tidak pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian
perselisihan perburuhan masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak
ada bedanya penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan
Umum. Ini adalah tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat Indonesia,
khususnya pihak-pihak yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan.[15]
BAB III
Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, maka dapat
dilakukan dengan dua cara penyelesaian. Pertama,melalui jalur di luar pengadilan
hubungan industrial yang antara lain melalui mediasi, konsiliasi, bipatrite dan
arbitrase. Kedua adalah melaluo pengadilan hubungan industrial
[10] Wijayanto setiawan, pengadilan perburuhan di
indonesia, ringkasan disertasi, program pasca sarjana universitas airlangga
surabaya, 2006, hlm 19
[15] KONSILIASI
SEBAGAI PARADIGMA BARU DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Andari Yurikosari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar