IMPLEMENTASI KEPUTUSAN BUPATI BANYUMAS NO 1867 TAHUN
2013 TENTANG PENGGUNAAN BAHASA JAWA DIALEK BANYUMASAN DALAM MELESTARIKAN BAHASA
BANYUMASAN
KARYA TULIS ILMIAH
Karya tulis ini
disusun dalam rangka mengikuti lomba
“SAYEMBARA KARYA
TULIS ILMIAH”
Se
Jateng-DIY
Disusun oleh:
Dwiky Agil R. E1A012279
Suyogi Imam F. E1A013174
Enamel Magma A. E1A013183
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
KATA PENGATAR
Assalamu’alaikum wr wb.
Alhamdulillah,
Karya Tulis Ilmiah berjudul IMPLEMENTASI KEPUTUSAN BUPATI BANYUMAS NO 1867 TAHUN
2013 TENTANG PENGGUNAAN BAHASA JAWA DIALEK BANYUMASAN DALAM MELESTARIKAN BAHASA
BANYUMASAN dapat penulis selesaikan dengan lancar. Karya Tulis
Ilmiah ini disusun guna mengikuti kompetisi Karya Tulis Ilmiah yang
diselenggarakan oleh Panitia Kompetisi Sayembara Karya Tulis Ilmiah (SAKATULI)
Lembaga Kajian Hukum dan Sosial (LKHS) Universitas Jendral Soedirman
Purwokerto.
Penulis
menyadari bahwa dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak
mendapat bantuan dari dosen pembimbing. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis
menghaturkan banyak terima kasih.
Akhirnya
penulis berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini memberikan manfaat bagi pembaca.
Purwokerto, 22 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR
PENGESAHAN................................................................................ i
KATA
PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR
ISI....................................................................................................... iii
RINGKASAN..................................................................................................... v
BAB I...... PENDAHULUAN............................................................................ 1
A.. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B.. Rumusan Masalah........................................................................ 2
C.. Pembatasan Masalah.................................................................... 2
D.. Tujuan Penelitian........................................................................ 3
E... Manfaat Penelitian....................................................................... 3
BAB II..... TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 4
A.. Hukum Administrasi Negara....................................................... 4
B.. Hukum Pemerintahan Daerah...................................................... 11
C.. Bahasa Banyumasan.................................................................... 17
BAB III... METODE PENULISAN.................................................................. 20
A.. Metode Pendekatan..................................................................... 20
B.. Spesifikasi Penelitian................................................................... 20
C.. Lokasi Penelitian.......................................................................... 21
D.. Informan Penelitian..................................................................... 21
E... Metode Pengambilan Informan................................................... 21
F... Jenis dan Sumber Data................................................................ 22
G.. Metode Pengumpulan Data......................................................... 22
H.. Metode Pengolahan Data............................................................ 23
I.... Metode Pengujian Data............................................................... 24
J.... Metode Penyajian Data............................................................... 24
K.. Metode Analisis Data.................................................................. 24
BAB IV... PEMBAHASAN............................................................................... 26
A.. Implementasi Keputusan Bupati.................................................. 26
B.. Implikasi Keputusan Bupati........................................................ 27
BAB V..... PENUTUP......................................................................................... 30
A.. Kesimpulan.................................................................................. 30
B.. Saran............................................................................................ 30
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 31
CURRICULUM
VITAE.................................................................................... 34
LAMPIRAN........................................................................................................ 35
RINGKASAN
Unsur
utama dari budaya adalah bahasa, begitu pula budaya Banyumasan dengan bahasa
Banyumasanya yang berfungsi sebagai sarana komunikasi dan berinteraksi.
Interaksi diungkapkan dalam komunikasi sehari-hari di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Dalam perkembanganya bahasa Banyumasan telah menjadi wahana untuk
memberi makna susastra dan budaya Banyumasan.
Fungsi
dan peran bahasa Banyumasan tidak hanya sebatas sebagai sarana komunikasi.
Bahasa Banyumasan dapat didayagunakan sebagai wahana untuk menggali kearifan
lokal yang memiliki nilai-nilai unggul. Selain itu, bahasa Banyumasan dapat
menjadi sarana ekspresi seni dan budaya. Banyak sekali nilai yang terkandung
dalam bahasa Banyumasan, yaitu nilai moral, etis dan estetis yang dapat
didayagunakan untuk membangun watak dan budi pekerti.
Dewasa
ini, pemahaman dan penggunanaan bahasa Banyumasan telah mengalami penurunan
karena pengaruh globalisasi dan faktor-faktor yang lain. Dalam situasi yang
demikian, telah menimbulkan kperihatinan terhadap kondisi bahasa Banyumasan.
Apabila bahasa Banyumasan ditinggalkan oleh penuturnya akan berdampak secara
sosial dan kultural, antara lain lunturnya etika, moral, sopan santun, dan budi
pekerti.
Melihat,
permasalahan mengenai distorsi penggunaan bahasa Banyumasan yang mulai di
tinggalkan oleh penuturnya, maka Bupati banyumas mengambil kebijakan untuk
melestarikan bahasa Banyumasan dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati No.
1867 Tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Bayumas di Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Banyumas yang di jadikan dasar untuk melestarikan bahasa Banyumasan.
Penggunaan bahasa Banyumasan ini di dasarkan pada Surat Keputusan Bupati
Banyumas No. 1867 Tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Bayumas Di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Banyumas mendapat respon yang positif dari Pegawai Negeri
Sipil dalam implementasinya. Namun, perlu disadari bahwa penggunaan Surat
Keputusan Bupati yang aslinya adalah beschiking namun sifatnya yang mengatur
atau regeeling adalah kurang tepat, karena sifat dari SK Bupati yang sifatnya
hanya himbauan kepada PNS untuk menggunakan dialek Banyumasan. Keputusan Bupati
ini pun menuai kontradiktif secara yuridis dengan Pasal 33 UU No.24 Tahun 2009.
Tetapi Keputusan ini tetap dapat diterima karena masih terdapat nilai filosofis
dan sosiologis dalam penerapannya dimasyarakat . Dan perlu diperhatikan sekali
lagi mengenai term dalam membuat suatu keputusan / peraturan , karena kedua term ini sangat berbeda satu sama lain
sehingga akan menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Di Indonesia bahasa
daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Asing. Artinya antara satu sama lain terjaling kontak
sosial. Dalam kontak sosial ini sudah barang tentu tidak terhindarnya adanya
saling mempengaruhi di antara bahasa-bahasa tersebut. Hal-hal yang lazim
terjadi ialah gejala kedwi (multi) kebahasaan, akibatnya yang timbul antara
lain gejala peminjaman, intervensi, lahirnya bahasa baru dan kepunahan. Sehingga, bahasa yang kuat akan bertahan dan mempersempit ruang
gerak bahasa-bahasa lain yang berkeadaan lemah.
Kebjijakan bahasa
sangat penting dalam kerangka menjaga dan melestarikan bahasa-bahasa daerah
yang ada di Indonesia. Sayangnya pemerintah belum terlalu serius untuk
mengurusi hal ini kita bisa melihat bagaimana fulgarnya bahasa asing yang
digunakan dalam media-media yang ada di Indonesia, baik yang cetak, tulis
maupun audio visual. Ini menunjukkan penggunaan bahasa asing yang diperbolehkan
secara bebas dalam media-media yang ada di Indonesia. Data awal menunjukan, bahwa belum ada Undang-Undang (UU) yang mengatur
bahasa daerah sebagai salah satu budaya yang harus dijaga dan dipelihara kelestariannya.
Sudah seharusnya pemerintah juga memperhatikan kebijakan secara cermat melalui
sebuah UU atau peraturan pemerintah. Pergeseran bahasa daerah bisa
diminimalisir jika paradigma pemerintah atau masyarakat memandang bahwa bahasa
daerah bukan sekadar alat komunikasi dan interaksi saja tetapi merupakan suatu
peninggalan budaya yang harus dijaga dan dipelihara keberadaannya dan
penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari.
Sebetulnya ada beberapa
bukti kepedulian masyarakat Internasional dan pemerintah Indonesia dalam upaya
mempertahankan bahasa-bahasa daerah. UNESCO telah menetapkan tanggal 21
Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional, sedangkan di Indonesia berupa
Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah. Akan tetapi hal ini dirasa belum
optimal seperti penjelasan di awal di mana penggunaan bahasa asing di Indonesia
masih sangat fulgar digunakan dalam media tulis ataupun elektronik.
Banyak siaran yang diselenggarakan di sebuah TV swasta di Indonesia yang menayangkan
acara khusus acara khusus dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Hal ini
tentunya berimplikasi terhadap penggunaan bahasa daerah. Di mana para pemakai
bahasa akan berfikir penggunaan bahasa asing dianggap lebih prestise daripada bahasa daerah. Jika yang berubah masyarakat bahasa yang
berskala kecil mungkin itu bisa dimaklumi. Akan tetapi imbas dari kebijakan
bahasa yang belum cermat juga cukup mempengaruhi penutur bahasa Banyumasan yang
notabene merupakan bahasa asli masyarakat Banyumas yang berlogat ngapak. Berdasarkan
latarbelakang tersebut penulis akan menelaah
IMPLEMENTASI
KEPUTUSAN BUPATI BANYUMAS NO 1867 TAHUN 2013 TENTANG PENGGUNAAN BAHASA JAWA
DIALEK BANYUMASAN DALAM MELESTARIKAN BAHASA BANYUMASAN .
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana implementasi Keputusan Bupati Banyumas No.1867 Tahun 2013 Tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan Dalam Melestarikan Bahasa Banyumasan ?
C. Pembatasan
Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian ini dipaparkan
dengan jelas terarah, oleh penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Keputusan Bupati Banyumas yang dimaksud
adalah Keputusan Bupati Banyumas yang mengatur tentang bahasa Banyumasan dilingkup
daerah pemerintah kabupaten dan pegawai negeri sipil
2. Bahasa Banyumas yaitu bahasa daerah asli
masyarakat Banyumas yang berlogat ngapak.
D. Tujuan
Penelitian
Tujuan yang hendak
dicapai oleh penulis yaitu antara lain:
1. Untuk mengetahui tentang Keputusan Bupati.
2. Untuk mengetahui tentang implementasi
Keputusan Bupati.
3. Untuk mengetahui tentang implikasi yang
terjadi terhadap Keputusan Bupati.
E. Manfaat
Penelitian
Manfaat yang dapat
diambil dari penelitian ini yaitu
1. Kegunaan
Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang pemerintahan
menambah pengetahuan dan wawasan serta menambah referensi mengenai sifat dan kedudukan pejabat administrasi negara dalam
membuat suatu aturan
2. Kegunaan
Praktis
a. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar
konsep dan media pemahaman untuk mendalami
keputusan bupati No 1867 Tahu 2013 tetnang Pengguanaan Bahasa Jawa Dialek
Banyumas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hukum Administrasi Negara
Hukum Adminstrasi
Negara merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan yang keberadaannya setua
dengan konsepsi negara hukum atau muncul bersamaan dengan diselenggarakannya
kekuasaan negara dan pemerintahan berdasarkan aturan hukum tertentu. Meskipun
demikian, Hukum Administrasi Negara sebagai suatu cabang ilmu, khususnya di
wilayah hukum kontinental, baru muncul belakangan. Pada awalnya, khususnya di
negeri Belanda, Hukum Administrasi Negara ini menjadi satu kesatuan dengan
Hukum Tata Negara dengan nama staat-en
administratief recht. Agak berbeda dengan yang berkembang di Prancis
sebagai bidang tersendiri di samping Hukum Tata Negara, dan selain itu “het bestuursrecht vormt in vergelijking tot
het privaatrecht en het strafrecht een relatief jong rechtgebied”[1]
(dibandingkan dengan hukum perdata dan hukum pidana, Hukum Administrasi Negara
merupakan bidang hukum yang relatih muda).
Pemakaian istilah Hukum
Adminstrasi Negara bermacam-macam, di Belanda pada mulanya bernama
administrative recht, tetapi sejak tahun 1986 berdasarkan kesepakatan ahli tata
pmerintahan Belanda, namanya dirubah menjadi Bestuursrecht (Hukum Tata
Pemerintahan). Alasan penggantian ini karena istiah adminstratief recht berasal
dari bahasa latin yaitu: administrare yang artinya memerintah (besturen).
Menurut C.S.T. Kansil
arti dari administrare artinya: pengabdian atau pelayanan (service) yang
mempunyai dua arti:
1. Setiap penyusunan keterangan yang dilakukan
secara tertulis dan sistematis dengan maksud mendapatkan suatu ikhtisar dari
keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu degan
yang lain.
2. diartikan juga untuk menyatakan pemerintahan
suatu negara, baik di Pusat atau di Daerah. Contohnya di Amerika Serikat, akata
Administration dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk Presiden.
Pengertian administrasi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
1. usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan
tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi
2. usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan ebijakan untuk mencapai tujuan
3. kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan
4. kegiatan kantor dan tata usaha
Berkaitan dengan HAN,
pengertian yang ke-2 yaitu usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan dan pengertian yang ke-3 yaitu:
kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Dari penjelasan tentang
arti administrasi di atas, penulis mengartikan administrasi atau administrare
menjadi 2 yaitu:
1. sebagai fungsi service atau pelayanan dalam
hal peyelenggara pemerintahan, hal ini akan berpengaruh banyak terhadap kinerja
aparat pemerintah, sehingga setiap aparat pemerintah akan berprinsip sebagai
pelayan masyarakat bukan berfungsi sebagai memerintah (majikan) masyarakat.
2. sebagai usaha dan kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini
administrasi negara bertujuan untuk mencapai negara kesejahteraan (bestuurzorg/
welfarestate). Karenanya pemerintah dapat membuat peraturan dan kebijakan
(memerintah atau memimpin negara).
1. Kebijakan
a. Pengertian Kebijakan
kebijakan atau policy secara etimologis berasal dari
kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Pengertian di
dalam bahasa latin berubah menjadi politia,
yang mempunyai arti negara. Istilah kebijakan (policu) dalam literatur atau
perpustakaan ilmiah maupun percakapan sehari-hari sering disamakan dengan
kebijaksanaan (wisdom), padahal keduanya mempunyai perbedaan. Kebijakan
(policy) adalah seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik
dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan.
Kebijaksanaan atau kearifan (wisdom) adalah pemikiran atau pertimbangan yang
mendalam untuk menjadi dasar (landasan) bagi perumusan kebijakan.
Carl J. Friedrich
memberikan definisi kebijakan sebagai serangkaian konsep tindakan yang
diusulkan oleh seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu
lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap
pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.[2]
Thomas R. Dye menyebut kebijakan sebagai pilihan pemerintah dalam menentukan
langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat” (to do or not to do).[3]
Pakar lain, Hugh Heglo, menyebutkan kebijakan sebagai suatu tindakan yang
bermaksud mencapai tujuan (goal, end) terntentu (a course of action intended to
accomplish some end).[4]
Kebijakan pemerintah
(goverment policy) dalam berbagai literatur sering disebut sebagai kebijakan
publik, hal tersebut karena kepentingan yang dilayani dalam adalah
kepentingan-kepentingan publik yang dinamakan kepentingan umum. Jika suatu
pemerintah melakukan pelayana dengan berorientasi kepada kepentingan umum maka
yang harus dipilkirkan oleh pemerintah tersebut adalah bagaimana melayani
masyarakat (how to serve). Jadi, pengertian kebijakan publik adalah serangkaian
tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan
tertentu demi kepentingan masyarakat.
Kebijakan publik
sebenarnya dapat juga disebut sebagai hukum dalam arti luas, yaitu sesuatu yang
mengikat dan memaksa. Huku dalam bentuk yang luas adalah kebijakan publik dari
tingkat yang paling tinggi, yaitu konstitusi (UUD 1945), Ketetapan MPR,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah,
Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Pimpinan Dinas, dan seterusnya bahkan sampai
dengan peraturan di tingkat Rukun Tetangga (RT)[5], Namun Bagir Mana, secara tegas mengemukakan bahwa
kebijakan bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Aspek yang
membedakan kebijakan dngan peraturan
perundang-undangan adalah aspek pembentukan kebijakan. Kebijakan tidak
dilahirkan dari kewenangan legislatif tetapi bersumber dari kewenangan
eksekutif karena berdasarkan kewenangan yudisial, pada umumnya tidak dapat
dilahirkan aturan yang bersifat mengikat secara umum
b. Jenis-jenis Kebijakan
Kebijakan publik dalam
arti luas dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan dalam bentuk
peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, dan peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun
disepakati yang disebut sebagai konvensi-konvensi[6].
Peneliti hanya memfokuskan pada bentuk kebijakan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan saja karena mudah diamati dan dipahami, kebijakan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu[7]:
1) Kebijakan publik yang dibuat oelh legislatif
saja
Model ini berdasarkan
prinsip dasar dari Teori Politik Trias
Politica yang diajarkan oleh Montesquieu pada abad 17. Formulasi kebijakan
atau perundangan menurut teori tersebut hanya ada pada legislatif dan eksekutif
hanya melaksanakan saja, dan yudikatif hanya mengadili jika eksekutif melakukan
pelanggaran.
2) Kebijakan publik yang dibuat sebagai bentuk
kerja sama antara legislatif dengan eksekutif
Model ini bukan
menyiratkan ketidakmampuan legislatif dalam membuat peraturan perundang-undang
tetapi mencerminkan tingkat kompleksitas permasalahan yang tidak memungkinkan
legislatif bekerja sendiri. Di Indonesia produk kebijkaan publik yang dibuat
oleh kerja sama dua lembaga ini antara lain Undang-Undang di tingkat nasional,
dan Perturan Daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
3) Kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif
saja
Peran eksekutif dalam
perkembangannya tidak cukup hanya melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh
legislatif, karena dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan bersama
diperlukan kebijakan-kebijakan publik pelaksana yang berfungsi sebagai turunan
dari kebijakan publik di atasnya. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
tidak mungkin dapat dilaksankan jika tidak dibuat berbagai peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, hingga Keputusan Kepala Daerah, dan sebagainya. Di
Indonesia ragam kebijakan publik yang ditangani oleh eksekutif saja bertingkat,
yaitu:[8]
a) Di tingkat pusat:
Peraturan Pemerintahan (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen)
atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.
b) Di tingkat daerah:
Keputusan Gubernur, dan keputusan
dinas-dinas di bawahnya, Peraturan Bupati dan bertingkat keputusan dinas-dinas
di bawahnya, Keputusan Bupati dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya.
Selain itu pakar ilmu
politik yang lainnya, James Anderson membagi kategori kebijakan sebagai
berikut:
1. Kebijakan Substantif dan kebijakan prosedural
Kebijakan substantif
adalah kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah,
seperti kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), kebijakan Raskin (beras
untuk orang miskin). Kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif
tersebut dapat dijalankan misalnya kebijakan yang berisi kriteria orang yang
disebu tmiskin dan bagaimana prosedur utnuk memperoleh raskin tersebut.
2. Kebijakan distributif, kebijakan regulatori,
dan kebijakan re-distributif
Kebijakan distributif
adlaah kebijakan yang menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada
masyarakat atau segmen masyarakat tertentu atau individu, contohnya kebijakan
subsidi BBM dan kebijakan obat generik. Ekbijakan regulatori adalah kebijakan
yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok
masyarakat, misalnya kebijakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), kebijakan
pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor. Kebijakan redistributif adalah
kebijakan yang mengatur yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilihan,
atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam masyarakat, contohnya kebijakan
pajak progesif, kebijakan asuransi kecelakaan gratis bagi orang miskin.
3. Kebijakan material dan kebijakan simbolis
Kebijakan material
adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok
sasaran, misalnya kebijakan raskin. Kebijakan simbolis adalah kebijakan yang
memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran, misalnya kebijakan libur
hari raya Idul Fitri dan libur Natal.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum
dan kebijakan barang privat (public goods)
Kebijakan public goods adalah kebijakan yang
bertujuan untuk engatur pemberian barang atau pelayanan publik, misalnya
kebijakan membangun jalan raya, kebijakan pertahanan dan keamanan. Kebijakan private goods adalah kebijakan yang
mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas, misalnya pelayanan
pos, parkir umum, dan perumahan.
B. Hukum
Pemerintahan Daerah
1. Pengertian Pemerintahan Daerah
Pemerintah adalah Organ / alat negara
yang menjalankan tugas / fungsi didalam negara[9].
Menurut C.F. Strong, Pemerintah adalah suatu organisasi yang mempunyai
kewenangan atau kekuasaan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara baik
didalam maupun diluar [10]. Daerah
menurut KBBI adalah bagian permukaan
bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam.
Jadi,
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang
sebagai badan eksekutif daerah. Artinya, lembaga eksekutif terdiri dari kepala
daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain (HAW Widjaja, 2001: 9) [11]
2. Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Pasal 1 (1) UUD1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan
yang berbentuk republik . Dalam pandangan utrecht negara kesatuan ialan negara
ytang tidak terdiri beberapa daerah yang berstatus negara bagian ( deelstaat ) , merdeka dan berdaulat[12] Dan pasal 18 (1) UUD1945
memiliki ketentuan “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota ,
yang tiap-tiap provinsi , kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan Undang-Undang “ . Berdasarkan ketentuan ini , Pemerintah Pusat
mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah
berdasarkan otonomi daerah[13].
a. Pengertian Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin
berarti de = Lepas dan centrum = Pusat , maka berarti
melepaskan dari pusat . Wesber memberikan doktrin mengenai disentralisasi yaitu
“ Disentralisasi berarti membagi dan
mendistribusikan[14]
“ . Dari sudut ketatanegaraan yang
dimaksud dengan desentralisasi ialan pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat
kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri[15] . Menurut ketentuan UU
No.32 Tahun 2004 Pasal 1 (7) , bahwa “ Disentralisasi
adalah penyeraan wewenang pemerintah dari pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia “ .
Sedangkan Dekonsentarasi menurut Koesomahatmadja adalah pelimpahan
wewenang dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya
guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintaan , misalnya
pelimpahan kekuasaan dari wewenang menteri kepada gubernur dari gubernur kepada
bupati dan seterusnya[16] . Hal ini sesuai dengan
pengertian Dekosentrasi didalam UU yang diatur dalam Pasal 1 (8) UU No.32 Tahun
2004 yang berbunyi “ Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewemamh dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan atau kepada instansi vertical diwilayah. Dekonsentrasi memilki
cirri-ciri sebagai berikut[17] :
1) bentuk
pemencaran adalah pelimpahan
2) pemencaran
terjadi kepada pejabat sendiri ( perorangan )
3) yang dipencarkan
bukan urusan pemerintahan tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu
4) yang dilimpahkan
tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri .
Berdasarkan hal tersebut perbedaan antara disentralisasi dengan
dekosentrasi hanya terletak pada karakter atau sifat dan mekanisme
pelaksanaannya . Disentralisasi pemencaraan kekuasaan dibidang kenegaraan ( staatskuding ) sedangkan Dekonsentrasi
pemecaraan kekuasaan juga tetapi dibidang kepegawaian atau administrasi saja (ambtelijke ) .
Perlu diketahui didalam UU No.22 Tahun 1999 Disentralisasi dan
Dekonsentrasi adalah sebuah asas . Pasal 1 huruf (d) berbunyi bahwa “ Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan pemerintah daerah otonom oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
disentralisasi “ dan dalam Penjelasan Umum huruf (i) angka (7) berbunyi
“ Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan
tertentu yang dilimpahkan pada gubernur sebagai wakil pemerintah “ .
Tetapi menurut doktrin para sarjana Disentralisasi dan Dekosentrasi
bukanlah sebuah Asas Penyelenggaraan Pemerintah . Menurut Prof. Muhammad Fauzan
, desentralisasi dan dekonsentrasi bukan sebuah asas karena yang pertama , baik
desentralisasi maupun dekonsentrasi pada hakekatnya merupakan pemancaraan
kekuasaan dan yang kedua , desentralisasi merupakan proses penyerahan
kekuasaan/wewenang dan dekonsentrasi merupakan cara melaksanakan sesuatu[18]
b. Asas Otonomi
Otonomi secara etimologi berasal dari kata oto yang artinya sendiri dan
nomoi yang artinya undang-undang , jadi otonomi
dapat diartikan sebagai mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri[19] . Otonomi juga dapat
diartikan sebagai sesuatu yang bermakna kebebasan/kemandirian yang terbatas (Zelfstandingheid ) tetapi bukan
kemerdekaan (Onafhankelijkheid) . Kebebasan
/ kemandirian yang terbatas itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan .
Pengertian Otonomi tidak dijelaskan didalam UU secara jelas , namun
secara eksplisit . Hal ini menunjukan bahwa otonomi adalah sebuah Asas , yang kita kenal sebagai Asas Otonomi . Otonomi memiliki 3 jenis yaitu .
1) Otonomi Materiil
Mengandung
arti bahwa urusan yang diserahkan rumah tangga diperinci secara tegas , pasti ,
dan diberi batasbatar ( limitative ),
“Zakelijk” dan dalam prakteknya penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan
daerah yang bersangkutan .
2) Otonomi Formal
Mengandung
arti urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak “Zakelijk”. Daerah mempunyai kebebasan untuk mengantur dan mengurus
segala sesuatu yang menurut pandangannya adalah kepentingan daera untuk
kemajuan dan perkembangan daerah[20].
3) Otonomi Riil
Merupakan
gabungan antaran otonomi materil dengan otonomi formal , misalnya didalam
undang-undang pembentukan daerrah , pemerintah pusat menentukan urusan-urusan
yang dijadikan pangkal untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah ,
penyerahan ini merupakan otonomi materil . Kemudian setiap waktu daerah dapat
meminta tambahan urusan kepada pemerintah pusat untuk dijadikan urusan rumah
tangganya sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan daera , nah penyerahan ini
merupakan otonomi formal[21] .
c. Asas Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan dibelanda disebut dengan medebewind , istilah ini merupakan yang pertama kali diperkenalkan
oleh Van Vollenhoven[22] . Secara etimologis tugas
pembantuan berasal dari kata mede artinya serta /turut dan bewind artinya
berkuasa / memerintah[23] . Medebewind merupakan pelaksanaan peraturan yang disusun oleh alat
perlengkapan yang lebih tinggi oleh yang rendah[24].
Jadi , Asas Tugas Pembantuan dapat diartikan sebagai pemberian kepada
pemerintah pusat / daerah yang tingkatanya lebih atas untuk meminta bantuan
kepada pemerintah pusat / daerah yang tingkatanya lebih rendah didalam
menyelenggarakan tugas atau kepentingan yang termasuk urusan rumah tangga
daerah yang dimintai bantuan tersebut[25].
C. Bahasa
Banyumasan
Dialek bahasa Banyumas
atau sering disebut bahasa Ngapak adalah kelompok bahasa Jawa yang dipergunakan
di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga
dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya
agak berbeda jika dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini
disebabkan bahasa Jawa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa
Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan
terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat
yang tinggal di wilayah Banyumas.
Seorang ahli bahasa
Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokkan dialek-dialek di wilayah barat dari
Jawa Tengah sebaga kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan,
Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa
bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang, dll) dan kelompok bahasa Jawa
bagian timur.
Kelompok bahasa Jawa
bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/ bahasa Sunda) inilah yang
sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis,
wilayah Banten Utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah budaya
Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana logat bahasanya memang
terdengan sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji
secara historis.
Dibandingkan dengan
bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali
bedanya. Perbedaan utama yakni akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi
di Solo orang makan ‘sego’ (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan ‘sega’.
Selain itu kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya oleh
dialek lain kata ‘enak’ bunyinya ‘ena’, sedangkan dalam dialek Banyumasan
dibaca ‘enak’ dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa
Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
1. Sejarah
Menurut para pakar
bahasa, bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
a. Abad ke-9 sampai ke-13 sebagai bagian dari
bahasa Jawa Kuno
b. Abad ke-13 sampai ke-16 berkembang jadi
bahasa Jawa abad pertengahan.
c. Abad ke-16 sampai ke-20 berkembang jadi
bahasa Jawa baru.
d. Abad ke-20 sampai sekarang, sebagai salah
satu dialek bahasa Jawa Modern. (tahap-tahap ini tidak berlaku secara
universal)
Tahap-tahap
perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di
pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi
selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan
tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya
feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah
Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap
perkembangan di era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup
mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di
masyarakat Banyumasan timbul istilah ‘bandhekan’ untuk mempresentasikan gaya
bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa Jawa ‘wetanan’ (timur).
Menurut M. Koderi
(salah seorang pakar budaya dan bahasa Banyumasan), kata ‘bandhek’ secara morfologis
berasal dari kata ‘gandhek’ yang berarti ‘pesuruh’ (orang suruhan/ yang
diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan.
Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta/
Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.
BAB III
METODE PENULISAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian
dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis sosiologis dan penelitian ini menitik beratkan hukum sebagai
sebuah kenyataa (law in actio ),
merupakan ilmu sosial yang nondoktrinal dan bersifat empiris. Metode kualitatif
disini dimaksudkan sebagai upaya sistematis dalam penelitina hukum, termasuk di
dalamnya kaidah dan teknik, untuk kajian peneliti pada suatu gejala sosial
yuridis dalam menemukan kebenaran dan memperoleh pengetahuan. Pengertian
yuridis sosiologis atau sosio legal
research adalah pendekatan yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi
kehidupan masyarakat itu sendiri yang menekankan pada pencarian, ketetapan-ketetapan
empirik dengan konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga melakukan
observasi terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.[26]
Dalam
penelitian ini, lebih di fokuskan tentang implementasi kebijakan Pemerintah
Daerah dalam upaya melestarikan bahasa Banyumasan berdasarkan Keputusan Bupati
No. 1867 Tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Bayumas Di Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Banyumas serta bagaimana implikasi dengan diberlakukanya Keputusan
Bupati tersebut.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi
penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang
bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang akan diteliti.[27]
Spesifikasi penelitian secara deskriptif dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
atau realitas yang terjadi di lapangan, yaitu tentang bagaimana implementasi
kebijakan pemerintah, dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah kabupaten
Banyumas dalam Surat Keputusan Bupati No. 1867, Tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Bayumas Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Banyumas.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Pemerintah Kabupaten
Banyumas terletak di Jalan Kabupaten No. 1 Purwokerto, Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman beralamat di Jalan Prof, dr. H.R Boenyamin No.
708 Grendeng, Purwokerto,
dan Kantor Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten
Banyumas beralamat di Jalan Warga Bhakti No. 2-4 Purwokerto.
D. Informan Penelitian
Informan adalah orang
yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan latar belakang
penelitian. Informan harus mengetahui kondisi dan situasi di lapangan dalam
memberikan informasi kepada peneliti secara sukarela. Dalam penelitian ini yang
menjadi informan adalah :
1.
Sugeng Amin : Kepala Sub Bagian Hukum
Pemerintah
Kabupaten Banyumas
2.
Setiajeng Kadarsih : Pakar Hukum Administrasi Negara/Dosen
Fakultas Hukum Unsoed
3.
Rinda Widyaningsih : Pakar Filsafat/ Dosen Unsoed
E. Metode Pengambilan
Informan
Konsep informan dalam
penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi
sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang terpercaya mengenai
elemen-elemen yang ada (karakteristik elemen-elemen yang tercaku dalam fokus
dan topik penelitian).[28] Sampel diambil
dengan cara purposive sampling atau criterian based selection, maka peneliti
cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk
menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui secara mendalam.
F. Jenis dan Sumber Data
a. Bahan
hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan
yang diurut berdasarkan hirarki Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU)
atau Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda).
b. Bahan
hukum sekunder, yakni bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbook)
yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, kasus-kasus
hukum, yurisprudensi dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan
topic penelitian.
c.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.[29]
G. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :
a.
Data primer,
Pengumpulan data primer dengan cara
wawancara. Untuk pengumpulan data primer, kami melakukan wawancara terhadap
informan. Wawancara menurut Fred N. Kerlinger adalah situasi peran antar
pribadi bertatap muka (face to face),
ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian kepada responden. Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang
dipilih adalah dalam bentuk wawancara tersetruktur dan tak terstruktur.
b.
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh
dengan studi pustaka dengan melakukan studi dokumen, berupa mempelajari
buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah serta
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti atau yang sesuai
dengan objek kajian.
Data yang diperoleh
dari wawancara akan menjadi data primer penelitian sedangkan studi literatur
atau dokumen akan bermanfaat membangun kerangka berpikir dari pembahasan
penelitian ini
H.
Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian ini,
data yang telah terkumpul akan diolah dengan menggunakan reduksi data. Reduksi
data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan tranformasi yang muncul dari catatan
tertulis dilapangan, oleh karena reduksi data merupakan suatu bentuk analisis
yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data dengan sedemikian rupa. Tahap reduksi data ini dapat
dirangkum, dipilih hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari
tema dan polanya.[30]
Selain itu, dalam
penelitian ini juga data diolah dengan metode Display. Display data merupakan
cara analisis data lapangan dengan membuat berbagai macam matriks, grafik,
network dan chart, agar dapat diperoleh gambaran keseluruhan atau bagian-bagian
tertentu dari data penelitian. Tahap pengolahan data kemudian memasuki tahap
kategorisasi data. Kategorisasi data adalah upaya memilah-milah setiap satuan
ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.[31]
I. Metode Pengujian Data
Dalam penelitian ini, pengujian data akan dilakukan dengan
cara triangulasi sumber yang bertujuan untuk menghasilkan kesahihan, keabsahan
atau kebenaran data yang telah dikumpulkan. Meolong menyatakan triangulasi
merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding dengan
data tersebut.[32]
J. Metode Penyajian
Data
Hasil penelitian ini
akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis.
Sistematis adalah keseluruhan data primer yang diperoleh akan dihubungkan
dengan data sekunder yang di dapat serta dihbungkan satu dengan lainnya dengan
pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
K. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini
menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu, dalam
bentuk kalimat yang teratur, runtut dan logis, yang kemudian dilakukan
pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif
sebagai permasalahan yang akan diteliti.
Penelitian ini
menggunakan metode pengolahan data berupa content
analysis atau analisi konten dan metode analisi komparatif. Analisis konten
adalah analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.[33] Analisis
konten adalah teknik penelitian yang digunakan untuk referensi yang replikabel
dan valid dari data konteksnya. Selain itu digunakan analisis komparatif,
analisis komparatif merupakan suatu analisis yang menggunakan logika
perbandingan. Komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif.[34] Penggunaan
analisis ini adalah untuk membandingkan data-data yang diperoleh dari informan
penelitian selama penelitian berlangsumg. Analisis kompartif memungkinkan
kesimpulan yang bisa ditarik dengan menggunakan logika perbandingan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Implementasi Keputusan Bupati Nomor 1867 Tahun 2013 tentang
Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan
- Dari Segi Hukum / Yuridis .
Pada saat kebijakan pemerintah tentang
melestarikan bahasa banyumasan sudah diimplementasikan, pasti timbulah suatu
implikasi terhadap kebijakan tersebut. Keputuasn Bupati Nomor 1867 Tahun 2013
tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan dilihat dari segi prosedur,
itu menuai kontradiktif dengan UU No.24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, pasal 33 (1) yang berisi ketentuan: “Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah
dan swasta“. Ketentuan ini menuai kontradiktif dengan Kebub nomor 1867 tahun
2013, disatu sisi yaitu UU menyuruh dan wajib PNS menggunakan bahasa Indonesia
saat berkerja, dan disisi lain yaitu Keputusan Bupati yang menyuruh PNS untuk
menggunakan bahasa Banyumasan saat bekerja.
Perlu kita ketahui bahwa, Keputusan
Bupati adalah peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan
yang memiliki materi muatan yang paling banyak & memiliki tingkat fleksibilitas
yang sempit karena harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berada
diatasnya. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang teori Stufenbau des Recht yang diutarakan Hans Kelsen, bahwa hukum
positif dikonstruksikan berlapis-lapis seperti pyramid, dan peraturan yang
dibawah bersumber dari peraturan yang berada diatas dan tidak boleh
bertentangan, yang kemudian kita kenal dengan asas lex superior derogat legi in feriori[35].
Tetapi bila mengacu pada teori Gustav
Radbruch bahwa nilai-nilai dasar hukum itu adalah Filosofis ( Nilai Keadilan ), Sosiologis
( Nilai Kegunaan ), dan Yuridis (
Nilai Kepastian Hukum ) . Menurut Radbruch, ketiga nilai nilai dasar hukum ini harus terpenuhi baru hukum
itu dapat berfungsi dengan baik
.
Tetapi ketika nilai ini tidak dapat terpenuhi / bertentangan dengan nilai
lainnya , maka yang diutamakan adalah nilai Filosofis
dan Sosilogis[36].
Radbruch, pernah mengatakan “Summum ius
summa inuiria” artinya keadilan teringgi itu adalah hati nurani. Orang yang
terlalu mematuhi hukum secara apa adanya seringkali justru akan merugikan
keadilan.
Jika dilihat dari substansi Keputusan
Bupati ini tidak bertentengan secara yuridis penuh terhadap UU, karena
substansi didalam Kebub ini bersifat menghimbau dan tidak ada sanksi secara
tegas, serta hanya dilakukan dihari kamis saja, tidak setiap hari sehingga
kebub ini bisa dikatakan tidak bertentangan secara penuh dengan UU .
Jadi, hasil komperatif antara teori Hans
Kelsen dengan Gustav Radbruch mengenai Keputusan Bupati Nomor 1867 Tahun 2013
tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan itu tidak bertentangan secara
penuh dengan UU. Lalu terdapat juga nilai filosofis dan sosiologis didalam PNS Banyumas yang tidak keberatan
dengan adanya Keputusan Bupati ini .
Hanya saja perlu diperhatikan mengenai term yang digunakan untuk membuat suatu
keputusan maupun peraturan, karena keputusan dengan peraturan itu berbeda.
Keputusan sifatnya kongkrit, individual, final sedangkan peraturan sifatnya
abstrak, umum, hal ini menunjukan sesuatu yang berbeda, yang nanti akan
menimbulkan suatu masalah . Masalah term ini
harus benar-benar diperhatikan karena bisa menimbulkan sebuah kerancuan
sehingga mengakibatkan multi tafsir mengenai hal tersebut.
- Dari Segi Sosiologis .
Masyarakat banyumas khususnya
pegawai negeri sipil didaerah pemerintah kabupaten, dapat
mengapresiasi
penerbitan Keputusan Bupati Nomor 1867 Tahun 2013 tentang Penggunaan Bahasa
Jawa Dialek Banyumasan. Penyambutan Tahun Baru 2014 menjadi momentum
revitalisasi karena pada saat itu Bupati Achmad Husein mengundangkan perbup
tersebut. Memang baru lingkup terbatas, yakni di lingkungan birokrasi pemkab,
itu setiap Kamis[37]. Apel
perdana di Tahun 2014 di halaman pendopo di Panji Kabupaten Banyumas yang
diikuti oleh seluruh pegawai di lingkungan sekertariat Daerah Kabupaten
Banyumas, DPPKAD, Sekretariat DPRD dan seluruh bagian di Lingkungan setda kamis
(2/1) kemarin menggunakan Bahasa
Banyumas. Ir.H.Achmad Husein.
Bupati Achmad Husein bertindak selaku
pembina apel, Bupati Banyumas dalam pengarahannya menggunakan bahasa Banyumas
menyampaikan, sebagaimana keputusan Bupati nomor 1867/20113 setiap hari kamis
di lingkungan Pemerintah Daerah, Lingkungan Pendidikan Formal, Non Formal,
Keluarga dan masyarakat. menggunakan bahasa Jawa Dialek Banyumas "mulai
tahun 2014 saben saben dina kemis, aku lan panjenengan kabeh pada nganggo
bahasa Banyumas, sebabe kanthi dedasar Surat Keputusan bupati sing wis tek
tanda tangani[38]
".
Tidak hanya PNS desa yang harus menggunakan dialek
banyumasan, masyarakat asli banyumas yang ingin mendapatkan pelayanan publik
pun wajib menggunakan dialek tersebut. Malahan penulis mendapat informasi
dari nara sumber bahwa, “pernah ada
investor yang ikut dalam upacara dan ditugaskan untuk menyampaikan laporan
dengan menggunakan bahasa banyumasan yang ditulis dalam suatu naskah“. Hal ini
menunjukan kekonsistenan pemerintah kabupaten Banyumas dalam melaksanakan
amanat dari bupati mereka.
Menurut Sugeng Amin[39],
Alasan bupati mengeluarkan mengenai bahasa Banyumasan, karena kepedulian
masyarakat banyumas terhadap bahasa banyumasan mulai mengurang, dan ditakutkan
bahasa ini akan hilang jika tidak dilestarikan. Tujuan keputusan ini untuk
melestarikan bahasa banyumasan dan membuat suatu ciri khas daerah kabupaten Banyumas khususnya daerah pemerintahannya. Namun Bupati menyadari penerapan
kebijakan tersebut tidak bisa semulus diinginkan. Mengingat banyak PNS pemkab bukan orang asli Banyumas dan keputusan ini hanya baru diberlakukan didaerah
pemerintahan belum kemasyarakat. Tetapi, untuk menjaga dan
melestarikan kearifan lokal, sebaiknya seluruh PNS dan masyarakat banyumas mau
mempelajari dan mempraktikkannya sedikit demi sedikit agar bahasa banyumasan
tetap hidup didalam masyarakat dan tidak hilang dalam peradaban serta membuat
ciri khas daerah pemerintah kabupaten Banyumas.
BAB V
PENUTUP
- KESIMPULAN
Implementasi Keputusan Bupati ini dilihat secara prosedur pun menuai kontradiktif
dengan Pasal 33 UU No.24 Tahun 2009. Tetapi dilihat secara substansi tidak
bertentangan secara penuh bertentangan dan keputusan ini tetap dapat diterima
karena masih terdapat nilai filosofis dan sosiologis dalam penerapannya
dimasyaraka. Dan perlu diperhatikan sekali lagi mengenai term dalam membuat suatu keputusan / peraturan , karena kedua term ini artinnya sangat berbeda .
Penggunaan bahasa
Banyumasan di lingkungan pemerintah kabupaten Banyumas yaitu sarana untuk melestarikan bahasa Banyumasan.
Penggunaan bahasa Banyumasan ini di dasarkan pada Surat Keputusan Bupati
Banyumas No. 1867 Tentang Penggunaan Bahasa Jawa
Dialek Bayumas Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas mendapat respon yang
positif dari Pegawai Negeri Sipil dalam implementasinya.
Namun, perlu disadari bahwa penggunaan Surat Keputusan Bupati yang aslinya
adalah beschiking namun sifatnya yang mengatur atau regeeling adalah kurang
tepat, karena sifat dari SK Bupati yang sifatnya hanya himbauan kepada PNS
untuk menggunakan dialek Banyumasan.
- SARAN
- Sebaiknya mengganti Keputusan Bupati menjadi Peraturan Bupati , karena keputusan bersifat kongkrit , individual , final , sedangkan peraturan bersifat umum. Maka untuk mengatasi hal yang demikian digunakanlah peraturan kebijakasanaan atau Belleidsregel.
- Sebaiknya menghilangkan kata “ Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya “ didalam Memutuskan , karena hal ini menunjukan keragu-raguan pemerintah dalam membuat suatu keputusan / peraturan .
- Membuat slogan seperti “ Kamis Banyumasan / Ngapak-ngapakan “ serta dipublikasikan melewati media seperti : spanduk , surat kabar , ataupun saluran televise lokal .
- Membuat kanal di youtube yang berisikan video perbincangan / komedi / lagu yang berbahasa jawa banyumasan / ngapak , supaya menjadi media untuk belajar maupun hiburan untuk melestarikan bahasa banyumasan dan nilai jual pariwisata .
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
:
Abidin,
Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah
Algra
, N.E. Dkk .1983. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae , Belanda-
Indonesia, Binacipta
. Bandung.
Assidiqie,
Jimly dan Ali, Safa’at . M. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum , Jakarta
: Konstitusi Pers.
Dwijowijoto,
Riant Nugroho. 2004. Kebijakan Publik
(Formulasi, Implmentasi,
dan Evaluasi).
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Faisal,Sanafiah.
Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan
Aplikasi . Malang: YA3.
Fauzan
, Muhammad. 2010. Hukum Pemerintahan
Daerah Kajian tentang
Hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.Stain Press. Purwokerto.
Haniijio,
R. Soemitro. 1988. Metodologi Penelitian
Hukum dan Jurimetri. Jakarta:Ghalia Indonesia
Kansil , C.S.T . 1981. Sistem
Pemerintahan Indonesia . Aksara baru . Jakarta.
Koesoemahatmadja
, R.D.H.1979. Penghantar Ke Arah Sistem
Pemerintahan Daerah di Indonesia.Binacipta. Bandung.
Lemek
, Jeremies.2007.Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan Hukum di Indonesia. Galang Press.Yogyakarta.
Lubis,
M. Solly. 2007.Kebijakank Publik.
Bandung: CV Mandar Maju.
Manan
,Bagir.1993. Perjalanan
Historis Pasal 18 UUD 1945. UNSIKA .
Manan,Bagir dan
Kuntatan Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia,
.
dalam Hotma P. Sibuea. Bandung : Alumni.
Miles
, Mathew B & Michael Hubermas.1992. Analisis
Data Kualitatif. Jakarta : PT UI
Press.
Moleong,
Lexy J.1991. Metode
Penelitian Kualitatif, PT. Bandung: Remaja Rosada
Karya.
Muhadjir,
Noeng.1996. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta: Rake Surasian.
Nugroho
, Riant.2000. Otonomi
Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi ( Kajian
dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia )
Rodee
, Calton Clymer. Dkk . 1933. Penghantar
Ilmu Politik . Rajawali Pers.
HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Situmorang
, Victor . M . 1994 Hukum Administrasi
Pemerintah Daerah , Sinar
Grafika
. Jakarta.
Soekanto
, Soerdjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta:UI Press
Sogiyono.2004.
Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif
dan R&D.Bandung: CV
Alfabeta.
Surianingrat
, Bayu.1980. Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di
Indonesia Suatu
Analisa.
Dewa Ruci Press. Jakarta. \
Surianingrat
, Bayu.1981. Wewenang
, Tugas , dan Tanggung Jawab Camat , Pacto , Jakarta – Surabaya. Elek Media Komputindo. Jakarta. Karawang.
Utrecht
, E. 1966 . Penghantar dalam Hukum Indonesia . Ichtiar . Jakarta .
Widarta.2001. Cara Mudah
Memahami Otonomi Daerah. Jakarta : Larela Pustaka
Utama
Jurnal :
Jaminuddin Marbun. Bagaimana Hukum yang Berkeadilan. didalam
Jurnal Darma Agung.
Website :
http://warkop-pelajar.blogspot.com/2013/10/pengertian-pemerintahan-menurut-para-ahli.html
diakses pada tanggal 7 April 2014
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/04/12/258415
diakses pada tanggal 14 April 2014
http://www.banyumaskab.go.id/read/1400/apel-pagi-perdana-2014-gunakan-bahasa-banyumas#.U009HtJdVFo
diakses pada tanggal 14 April 2014
CURRICULUM
VITAE
A. Ketua
Kelompok.
1. Nama
:
Dwiky Agil Ramadhan
2. Tempat
Tanggal Lahir :
Banyumas , 21 Februari 1994
3. Karya
Ilmiah yang Pernah di Buat : -
4. Penghargaan
Ilmiah :
-
B. Anggota
Kelompok 1.
1. Nama :
Suyogi Imam Fauzi
2. Tempat
Tanggal Lahir :
Jakarta , 24 Agustus 1995
3. Karya
Ilmiah yang Pernah di Buat :
a. Dinamika
Mahasiswa Mempelajari Soal-Soal Terdahulu sebagai Metode Belajar dalam
Menghadapi Ujian
b. Problematika
Mahasiswa Pada Perkuliahan
c. Perjanjian
Jual Beli Masyarakat Adat pada Zaman Modern
4. Penghargaan
Ilmiah :
-
C. Anggota
Kelompok 2.
1. Nama :
Enamel Magma Audha
2. Tempat
Tanggal Lahir :
Kebumen , 26 Januari 1995
3. Karya
Ilmiah yang Pernah di Buat : -
4. Penghargaan
Ilmiah :
-
Nama : Dwiky A.R Nama
: Suyogi I.F Nama : Enamel M.A.
NIM : E1A012279 NIM
: E1A013174 NIM :
E1A013183
LAMPIRAN
*.
Keputusan Bupati Banyumas Nomor 1867 Tahun 2013.
*.
Artikel Doa saat upacara apel setiap hari kamis
*.
Dialog Persiapan Apel Pagi setiap hari Kamis .
*.
Foto Wawancara Bersama Kasubag Hukum di daeerah Pemkab
*.
Foto wawancara bersama kasubag pariwisata , budaya , pemuda dan olahraga
*Foto
wawancara Bersama PNS didaerah Pemkab
*Foto
wawancara bersama Pakar HAN / Dosen HAN di Fakultas Hukum Unsoed
*Foto
Wawancara Bersama Pakar Filsafat / Dosen Filsafat UNSOED
[5] Riant Nugroho
Dwijowijoto, Kebijakan Publik (Formulasi, Implmentasi, dan Evaluasi), (Jakarta,
PT Elex Media Komputindo, 2004), hlm
64
[6] Bagir Manan dan
Kuntatan Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
alumni Bandung, 1997, hlm 169 dalam Hotma P. Sibuea hlm 57
[10]
http://warkop-pelajar.blogspot.com/2013/10/pengertian-pemerintahan-menurut-para-ahli.html
diakses pada tanggal 7 April 2014
[14] Bayu
Surianingrat , Desentralisasi dan
Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisa , Dewa Ruci Press ,
Jakarta 1980 , hlm 3.
[15] Victor . M .
Situmorang , Hukum Administrasi
Pemerintah Daerah , Sinar Grafika , Jakarta , 1994
[16] R.D.H
Koesoemahatmadja , Penghantar Ke Arah
Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia , Binacipta , Bandung , 1979 , hlm.
14 .
[17] Bayu
Surianingrat , Wewenang , Tugas , dan
Tanggung Jawab Camat , Pacto , Jakarta – Surabaya , 1981 hlm.44
[18] Prof.Muhammad
Fauzan , S.H., Hukum Pemerintahan Daerah
Kajian tentang Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah . Stain
Press , Purwokerto, 2010 , hlm.22
[19] Riant Nugroho , Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi
( Kajian dan Kritik Atas Kebijakan
Desentralisasi di Indonesia ) , Elek Media Komputindo, Jakarta , 2000 ,
hlm. 42
[20] Bayu
Surianingrat , Desentralisasi dan …,
Op.Cit., hlm.18.
[21]
Ibid., hlm.19.
[22]
Prof. Bagir Manan , Perjalanan Historis
Pasal 18 UUD 1945 , UNSIKA , Karawang , 1993
[23] Bayu
Surianingrat , Desentralisasi dan …,
Op.Cit., hlm.66
[24] N.E.
Algra Dkk , Kamus Istilah Hukum Fockema
Andreae , Belanda-Indonesia , Binacipta , Bandung , 1983 , hlm 290
[26] R. Soemitro Haniijio, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 11
[27] Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Penerbit Universita Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 9
[30] Sogiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D, CV Alfabeta,
Bandung, 2004, hlm 92.
[34] Mathew B Miles & Michael
Hubermas, Analisis Data Kualitatif, PT
UI Press, Jakrta, 1992, hlm. 19-20
[35] Prof . Jimly
Assidiqie dan Dr. M. Ali Safa’at , Teori Hans Kelsen Tentang Hukum , Jakarta
: Konstitusi Pers , 2012
[36] DR. Jaminuddin
Marbun SH, M.Hum , Bagaimana Hukum yang
Berkeadilan , didalam Jurnal Darma Agung
[37] http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/04/12/258415
diakses pada tanggal 14 April 2014
[38] http://www.banyumaskab.go.id/read/1400/apel-pagi-perdana-2014-gunakan-bahasa-banyumas#.U009HtJdVFo
diakses pada tanggal 14 April 2014
[39] Sugeng Amin , selaku Kepala Sub Bagian Hukum diwilayah Pemerintah
Kabupaten Banyumas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar