Petunjuk Pasal 184 KUHAP disebut dalam
urutan keempat. Jadi masih mengikuti HIR Pasal 195, HIR Pasal 295. Hal ini
berbeda dengan Ned. Sv . yang baru maupun undang-undang Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1950 yang telah menghapus petunjuk sebagai alat bukti.
Petunjuk dihapus sebagai alat bukti karena
sebagai inovasi dalam hukum acara pidana. Menurut van Bemmelen petunjuk (aanwijzing) sebagai alat bukti tidak ada
artinya.[1]
Definisi/ pengertian alat bukti petunjuk
secara tersurat terdapat dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, yaitu “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.”
Menurut Yahya Harahap rumusan pasal itu
sulit untuk ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat
dituangkan dengan cara menambah beberapa kata kedalamnya. Dengan penambahan
kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat berikut : Petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan,
kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu
dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana
itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau
mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak
pidana dan terdakwalah pelakunya.[2]
B. Syarat-syarat
Petunjuk sebagai alat bukti hanya dapat diperoleh dari :
- Keterangan
saksi;
- Surat;
- Keterangan
terdakwa.[3]
Karena keterangan saksi, surat, atau
keterangan terdakwa itu dapat berisi berbagai hal, maka undang-undang telah
merasa perlu untuk membatasi hal-hal tersebut hanya pada :
i.
Perbuatan-perbuatan;
ii.
Kejadian-kejadian;
iii.
Keadaan-keadaan yang disebutkan di dalam
keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa itu sendiri.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif
lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.[4]
C. Doktrin
Menurut pendapat Andi Hamzah, dengan
melihat Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950 dan Ned. Sv. yang baru,
alat bukti petunjuk diganti dengan alat bukti pengamatan oleh hakim adalah
pantas, karena ketentuan dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP (masih sama dengan
ketentuan Pasal 310 HIR dahulu), yang dipandang tidak jelas, karena tidaklah
jelas tentang perbuatan apa, kejadian, atau keadaan apa. Lebih-lebih kalau
diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian
atas kekuataan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakuakn oleh hakimdengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Disini tercermin bahwa pada akhirnya
persoalannya diserahkan pada hakim. Dengan demikian, menjadi sama dengan
pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim (eigen warrneming van de rechter) harus
dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim
sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau
peristiwa itu telah diketahui umum.
Senada dengan pendapat Andi Hamzah,
menurut P.A.F. Lamintang petunjuk itu memang hanya merupakan dasar yang dapat
digunakan oleh hakim untuk menganggap sesuatu kenyataan sebagai alat bukti,
atau dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti,
seperti keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang terjadinya suatu
kenyataan, melainkan ia hanya merpakan suatu dasar pembuktian belaka, yakni
dari dasar pembuktian mana kemudian hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu
sebagai terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut
dengan kenyataan yang dipermasalahkan.[5]
[1] Katanya : Maar de voornaamste fout was toch, dat de aanwijzing als een
bewijsmiddel werden beschouwd, terwijl zij het in wezen niet waren (Tetapi kesalahan
utama ialah bahwa petunjuk-petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti, padahal
pada hakikatnya tidak ada)
[2]
M. Yahya Harahap. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. 2000 hlm. 313
[3]
Lihat Pasal 188 ayat (2) KUHAP
[4]
Lihat Pasal 188 ayat (3) KUHAP
[5]
P.A.F. Laminatang. . Pembahasan KUHAP menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika. 2010 Hlm 430
HANYA SEKALI KLIK, ANDA BISA SUKSES BERBISNIS DI INTERNET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar