PENGERTIAN POGING
Dalam hukum pidana
dikenal istilah poging atau percobaan. Poging sendiri memiliki pengertian yang
menurut Memorie van Teolichting yaitu sebuah kalimat yang berbunyi “poging tot misdrif is dan de bengonnen maar niet
voltooide uitveoring van het misdrif, of wel door een begin van uitveoring
geopenbaarde wil om een bepaald misdrif te plegen” . yang artinya : “dengan
demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk
melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi tidak selesai, ataupun
suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan
di dalam suatu permulaan pelaksanaan.
Tapi, yang perlu di ketahui dalam poging, bukan definisi poging tetapi unsur
poging yang menjadi batas percobaan yang dipidana
dan poging di atur dalam pasal 53 KUHP.
SIFAT POGING
Dilihat dari sifat
poging, timbulah pertanyaan “ Apakah poging merupakan delik berdiri sendiri
(delictum sui generis) atau delik yang tidak sempurna ?” maka dari pertanyaan
tersebut ada dua pandangan mengenai jawaban dari pertanyaan di atas, yaitu
Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat dipidanannya orang ) dan tatbestandausdehnungsgrund (dasar/alasan
memperluas dapat dipidananya perbuatan).
Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas
dapat dipidanannya orang). Menurut pandangan ini, seseorang yang melakukan
percobaan untuk melakukan suatu delik meskipun tidak memenuhi semua unsur
delik, tetap dapat dipidana apabila telah memenuhi semua rumusan pasal 53. Jadi
sifat percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang, bukan
memperluas rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini,
percobaan tidaklah dipandang sebagai jenis
atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang
sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvrom). Termasuk
dalam pandangan ini Hazewinkel-Suringa dan Oemar Seno Adji.
Percobaan dipandang sebagai
tatbestandausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat dipidananya
perbuatan). Menurut
pandangan ini, percobaan melakukan suatu delik merupakan suatu kesatuan yang
bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah
bentuk delik yang tidak sempurna tetapi merupakan delik yang sempurna hanya
dalam bentuk yang khusus. Jadi merupakan suatu delik tersendiri (delictum sui
generis). Termasuk dalam pandangan ini Pompe dan Moeljatno.
Alasan Prof. Moeljatno, memasukkan percobaan sebagai
delik tersendiri ialah :
- pada
dasarnya orang dipidana itu karena melakukan suatu delik.
- Dalam
konsepsi ”perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran suatu delik
didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya perbuatan itu
sendiri bagi keselamatan masyarakat.
- Dalam
hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang tidak
sempurna, yang ada hanya delik selesai.
- Dalam
KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik yang berdiri
sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun pelaksanaan dari perbuataan
itu sebenarnya belum selesai, jadi merupakan percobaan percobaan. Misalnya
delik-delik makar dalam pasal 104, 106, 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof. Moeljatno
terakhir ini, dapat pula misalnya dikemukakan contoh adanya pasal 163. Menurut
pasal ini suatu percobaan untuk melakukan penganjuran (poging tot uitlokking) atau biasa disebut dengan penganjuran
yang gagal tetap dapat dipidana, jadi dipandang sebagai delik yang berdiri
sendiri.
Mengenai adanya dua pandangan diatas, Prof Moeljatno
berpendapat bahwa pandangan yang pertama sesuai dengan masyarakat individual
karena yang diutamakan adalah ”dapat dipidananya orang” sedangkan yang kedua
sesuai dengan alam masyarakat kita sekarang yang diutamakan adalah ”perbuatan
yang tidak boleh dilakukan”.
DASAR PATUT DIPIDANANYA POGING
Mengenai dasar patut tidaknya poging
dalam pemidanaanya ada beberapa teori yang mengaturnya, antara lain :
1. Teori subjektif : mendasarkan pada
sikap batin atau watak yang berbahaya dari pelaku (al Van Hamel)
2. Teori objektif : mendasarkan pada
sifat berbahayanya perbuatan. Dalam teori ini di bagi lagi menjadi teori
objektif formil yaitu sifat berbahayanya perbuatan terhadap tata hukum ( al
Duynste ) danteori objektif materil yaitu sifat berbahayanya perbuatan terhadap
kepentingan hukum ( al Simons ).
3. Teori campuran yaitu : dasar patut
dipidanya poging selain mendasarkan pada sifat berbahayanya pelaku juga
perbuatan ( al Moeljatno )
UNSUR-UNSUR
POGING DALAM PASAL 53 KUHP
Menurut
pasal 53 KUHP ada beberapa unsur dalam poging, yaitu :
·
Adanya niat dari pelaku
·
Diwujudkan dengan perbuatan pelaksanaan
·
Pelaksanaan tidak selesai bukan semata
mata karena kehendak sendiri
A. Niat
Kebanyakan sarjana
berpendapat bahwa niat itu sama dengan kesengajaan dengan segala coraknya,
kecuali VOS yang mengartikan secara sempit yaitu niat sama dengan kesengajaan
dengan segala maksud.
Contoh
kasus :
Arrest
Hoge Raad
Seorang polisi lalu
lintas menghentikan kendaraan bermotor untuk sebuah operasi, tetapi sopirnya
tidak menurut dan berjalan terus, sehingga jika petugas tidak menghindar akan
tertabrak dan mati. Maka putusan HR. Percobaan Pembunuhan (tidak mengikuti
pendapat VOS).
B. PERMULAAN
PELAKSANAAN
Unsur kedua ini merupakan persoalan pokok dalam
percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu
dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan.
Bertolak dari pandangan atau teroi percobaan yang
subjektif, van Hammel berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan
apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternayat adanya
kepastian nit untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang
dijadikan ukuran oleh van Hammel adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya
dari si pembuat .
Bertolak dari pandangan teori percobaan yang objektif
materil, Simons berpendapat bahwa :
- Pada
delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan
yang disebut dalam rumusan delik.
- Pada
delik materil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai/dilakukan
perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang
dilarang oleh UU tanpa memerlukan perbuatan lain.
Menurut pendapat Prof.Moeljatno yang dapatdigolongkan
penganut teori campuran. Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksaan
dalam delik percobaan, beliau berpendapat yang harus diperhatikan :
- Sifat
atau inti dari delik percobaan;
- Sifat
atau inti dari delik pada umumnya.
Mengingat kedua faktor tersbut, maka perbuatan
pelaksaan harus memenuhi 3 syarat, yaitu :
- Secara objektif,
apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang
ditujukan atau harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
- Secara
subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa
yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan pada delik yang tertentu
tadi.
- Bahwa
apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang
bersifat melawan hukum.
Dengan demikian menurut beliau, diakatak ada perbuatan
pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan :
- yang
secara objektif mendekatkan pada suatu kejahatan tertentu;
- Secara
subjektif tidak ada keraguan lagi delik mana yang diniatkan;
- Perbuatan
itu sendiri bersifat melawan hukum.
Untuk menentukan apakah perbuatannya itu bersifat
melwan hukum, Prof Moeljatno berpendapat bahwa segi subjektif dan objektif
bersama-sama mempunyai pengaruh timbal balik menurut keadaan tiap-tiap perkara.
Ada kalanya perbuatan lahir yang sepintas lalu merupakan perbuatan pelaksaan
dari suatu kejahatan, tetapi karena jelas tak adanya niat untuk melakukan
kejahatan itu, harus tidak dikualifisir sebagai melawan hukum.
Sebaliknya adakalanya juga bahwa perbuatan lahir yang
tampaknya tidak jahat sama sekali, tetapi karena jelas didorong oleh niat untuk
melakukan kejahatan maka harus ditentukan sebagai melwan hukum.
C. PELAKSANAAN TIDAK SELESAI
Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju
bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal sbb:
- Adanya
penghalang fisik
- Walaupun
tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena
akan adanya penghalang fisik.
- Adanya
penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor khusus pada objek yang
menjadi sasaran.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena
kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri secara
sukarela. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat
dibedakan :
- Pengunduran
diri secara sukarela (rucktriit) yaitu tidak menyelesaikan
perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik tersebut.
- Tindakan
penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksaan sudah
diselesaikan tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak
delik tersebut.
Maksud dicantumkannya unsur pengunduran diri dalam
Pasal 53 KUHP :
- Untuk
menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela
mengurungkan kejahatan yang ia telah mulai tetapi belum terlaksana tidak
dipidana.
- Pertimbangan
dari segi kemanfaatan (utilitas) bahwa usaha yang paling tepat
untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidana orang
yang telah mulai melakukan kejahatan tetapi dengan sukarela mengurungkan
pelaksanannya.
Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada
pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan :
- Alasan
penghapusan pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe)
- Alasan
pemaaf (van Hattum, Seno Adji)
- Alasan
penghapusan penuntutan (Vos, Moeljatno)
Mengenai konsekuensi adanya unsur ketiga dalam Pasal
53 KUHP,ada dua pendapat :
- Mempunyai
konsekuensi materiil, artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang
melakat pada percobaan, jadi bersifat accesoir (tidak berdiri sendiri).
Dengan kata lain untuk adanya percobaan unsur ketiga ini (tidak selesainya
pelaksaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti
apabila ada pengunduran diri secara sukarela maka tidak ada percobaan.
- Mempunyai
konsekuensi formil artinya karena unsur ketiga ini dicantumkan dalam pasal
53 maka unsur tersebut harus disebutkan dalam surat tuduhan dan
dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ketiga tidak merupakan unsur yang
melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accesoir, ia merupaka unsur
yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain walaupun unsur ini tidak ada
(yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan
tetap dipandang ada.