Selamat malam. Saya seorang mahasiswa semester awal pada sebuah
fakultas hukum. Pada awal perkuliahan, tiap mahasiswa diberikan oleh
seorang dosen sebuah hand out (sejenis diktat) yang tebalnya tidak
melebihi 25 halaman dan diminta olehnya Rp75.000,00 sebagai biaya cetak.
Jika dipikir-pikir, hal ini sangat tidak rasional. Ketika melewati
midsemester, dosen tersebut kembali "meminta sumbangan". Kami diwajibkan
untuk membayar Rp75.000,00 sebagai "mahar" supaya nilai tugas kami
minimal C. Dan ada kabar juga bahwa UAS nanti kami diwajibkan untuk
membayar Rp100.000,00 untuk nilai minimal C juga. Kami tidak kuasa untuk
tidak membayar karena kondisi yang memaksa kami demikian. Menurut
sumber yang saya terima, hal ini sudah menjadi tradisi turun-temurun
sejak beberapa tahun yang lalu. Yang ingin saya tanyakan, 1. Apakah yang
dilakukan oleh dosen tersebut termasuk tindak pidana? Jika benar, pasal
berapa yang beliau langgar? 2. Bagaimana upaya yang bisa kami lakukan
untuk melawan aksi "pungutan liar" tersebut (mengingat dosen tersebut
adalah seorang pengacara)? 3. Kami sudah pernah melakukan pendekatan
kekeluargaan, tetapi gagal. Bisakah dan haruskah kami menempuh jalur
hukum? Mohon pencerahannya atas keresahan kami. Terima kasih.
pentagon565
Jawaban:
Saudara yang kami hormati,
Jika
dikaitkan dengan pertanyaan dan kronologis yang Saudara sampaikan di
atas, menurut hemat kami, apabila memang benar, maka tindakan dosen yang
meminta sejumlah uang kepada mahasiswa sebagai prasyarat nilai minimal,
maka perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang baik, terlebih yang
bersangkutan adalah pendidik sekaligus pengacara yang seharusnya
memberikan contoh dan tauladan yang baik kepada mahasiswanya.
Secara khusus peraturan-perundang-undangan yang mengatur mengenai profesi dosen adalah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UUGD”), yang mana di dalam Pasal 60 UUGD tersebut terdapat sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh dosen, sebagai berikut:
a. melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;
b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
c. meningkatkan
dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni;
d. bertindak
objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin,
agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang
sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilainilai agama dan etika; dan
f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Kewajiban
sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 UUGD adalah bersifat imperatif
yang artinya apabila tidak dilaksanakan atau bahkan dosen melanggar
kewajiban tersebut - sebagaimana kronologis yang Saudara sampaikan, maka
kepada yang bersangkutan (dosen) dapat dikenai sanksi, sebagaimana
ketentuan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UUGD, sebagai berikut:
Pasal 78 UUGD:
(1) Dosen
yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. penundaan pemberian hak dosen;
d. penurunan pangkat dan jabatan akademik;
e. pemberhentian dengan hormat; atau
f. pemberhentian tidak dengan hormat.
Selain
sanksi sebagaimana diatur di dalam UUGD, tindakan dosen tersebut dengan
didukung bukti-bukti, dapat pula disangkakan sebagai perbuatan pidana
atau tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”). Tindak pidana yang dapat disangkakan antara lain Pasal 368 ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 374 KUHP.
Pasal 368 KUHP:
(1) Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan;
Pasal 374 KUHP:
Penggelapan
yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat
upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Namun, untuk Pasal 368 ayat (1) KUHP haruslah diliat apakah ada unsur “memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” yang dilakukan oleh dosen tersebut sehingga mahasiswa memberikan uang kepada dosen tersebut.
Jalur
hukum, menurut hemat kami, merupakan upaya yang disediakan bagi pencari
keadilan yang seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah ditempuhnya
upaya penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan. Terlebih, dosen
tersebut adalah pengacara yang mengetahui dan memahami hukum sehingga
penyelesaian secara kekeluargaan seharusnya merupakan jalan terbaik yang
dipilih untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Akan tetapi, tidak
dapat dipungkiri apabila jalan kekeluargaan tidak bisa ditempuh, maka
mahasiswa mempunyai hak dan dapat melaporkan permasalahan tersebut
kepada instansi kepolisian. Namun demikian, sebelum mengambil tindakan
melaporkan kepada pihak kepolisian, maka menurut hemat kami sebaiknya
terlebih dahulu mahasiswa melaporkan atau mengadukan permasalahan
tersebut dengan disertai bukti-bukti kepada pihak kampus (universitas)
mengenai tindakan dosen tersebut dan meminta diselesaikan oleh pihak
kampus.
Demikian semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
13197 hits
Di: Ilmu Hukum
sumber dari: PAHAM Indonesia
INFO PENTING !!!, ada investasi yang memberi anda kemudahaan dan bermodal murah, saya selaku bloger DWIKY AGIL RAMADHAN sudah mendapat manfaatnya, silahkan kunjungi http://KomisiVirtual.com/?id=DWIKY, dan ikuti dan rasakan manfaatnya !!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar