PENERAPAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM
TRANSFORMASI STRUKTUR DAN KULTUR MASYARAKAT INDONESIA MENUJU MASYARAKAT YANG
MADANI
DWIKY AGIL RAMADHAN (E1A012239)
LUTHFI KALBUADI (E1A010044)
TONI HIDAYAT (E1A0121003)
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
DAFTAR
ISI
RINGKASAN.......................................................................................2
PENDAHULUAN................................................................................4
·
LATAR BELAKANG..................................................4
·
TINJAUAN PUSTAKA...............................................5
·
RUMUSAN MASALAH.............................................11
TUJUAN
PENULISAN......................................................................11
METODE
PENULISAN.....................................................................11
PEMBAHASAN..................................................................................12
·
POLITIK HUKUM
UNDANG UNDANG PERKAWINAN 1974
·
TRANSFORMASI
STRUKTUR DAN KULTUR MASYARAKAT INDONESIA
·
MASYARAKAT INDONESIA
YANG MADANI
·
UNDANG UNDANG
PERKAWINAN SEBAGAI SARANA TRANSFORMASI STRUKTUR DAN KULTUR MASYARAKAT INDONESIA
KESIMPULAN..................................................................................25
Ringkasan
Undang
undang Perkawinan No.1 tahun 1974 merupakan produk hukum pemerintah yang
dikluarkan dalam rangka untuk memperbaiki tatanan hukum Indonesia mengenai
perkawinan yang sebelumnya banyak terdiri dari sistem hukum yang berbeda. Ini
sekaligus mendasari adanya perkawinan yang merupakan landasan awal dalam
berkeluarga yang mengandung asas-asas hukum dibidang keluargaan dan perkawinan,
yaitu unifikasi hukum dalam rangka hendak mewujudkan cita cita hukum
terbentuknya hukum yang berdasar dan bersumber atas Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945.
Dimana dalamUndang-undang tersebut akan menjadi payung hukum dari berbagai
hukum yang mengatur mengenai perkawinan sebelum lahirnya Undang-Undang
Perkawinan.
Selain
itu, Undang-Undang Perkawinan juga memberikan definisi mengenai perkwainan itu
sendiri, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
dan istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berlandasakn Ketuhanan Yang Maha Esa. Berangkat dari pengertian tersebut
tertuang beberapa Asas dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut, antara lain :
1.
Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2.
Dalam
perkawinan ini di anggap sah apabila dialakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaanya dan harus di catatkan.
3.
Undang-Undang
ini pada dasarnya menganut asas monogami, namun ada perkecualian jika hukum
agama dan yang bersangkutan mengizinakan.
4.
Menganut
bahwa si suami dan istri itu harus masak jiwa dan raganya dalam melakukan
perkawinan.
5.
Karena
tujuan dalam perkawinan adalah demi terciptanya keluarga yang bahagia dan
kekal, maka dalam Undang-Undang ini menpersulit terjadinya perceraian.
6.
Hak
dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
Dengan
demkian maka jelaslah bahwa Undang-undang ini ingin menjadi hukum nasional,
yang notabenya Undang-undang ini akan mengakomodir kepentingan masyarakat
Indonesia yang majemuk mengenai hal perkawinan. Undang-undang perkawinan akan
menjadi alat trasformasi strutur dan kultur masyarakat Indonesia, dalam arti
Undang-undang ini akan menjadi sarana social
engenering dalam masyarakat, karena dengan di berlakukan Undang-undang ini
tidak ada lagi pemisahan kaedah hukum yang
mengatur perkawinan berdasarkan golongan-golongan yang ada dalam
masyarakat. Namun, undang-undang ini tetap mengakomodir semua golongan-golongan
tersebut dalam hal perkawinan.
Dalam
rangka mewujudkan Undang-Undang Perkawinan sebagai alat rekayasa sosial tadi,
tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Banyak hal yang menjadi hambatan
terutama dalam masyarakat itu sendiri dan aparatur penegak hukum. Oleh
karenanya ada metode yang digunakan untuk menjadikan Undang Undang Perkawinan
ini sebagai instrumen yang efektif dan efisien agar tujuan dan kehendak
pemerintah dapat terlaksana. Proses inilah yang kemudian disebut sebagai
perubahan (transformasi) yang menekankan pada aspek struktur dan kultur
masyarakat. Ini dilakukan secara bertahap, wajar dan terarah agar masyarakat
dapat larut dalam satu bingkai yang sama.
Kembali
ke tujuan awal pemerintah (dalam pengakomodiran perbedaan), pemerintah
menginginkan masyrakat patuh terhadap aturan yang dikeluarkan agar tercipta
tertib hukum dan kesejahteraan masyarakat dapat terkaver. Untuk itu, ciri dan
karakteristik sebuah masyarakat yang berketuhanan, sadar hukum (hak dan
kewajiban), penuh rasa solidaritas dan toleransi menjadi prioritas yang utama
yakni ciri dan karakteristik masyarakat madani. Sehingga pada akhirnya , upaya
pemerintah itu untuk membudayakan masyarakat yang meneladani ciri dan
karakteristik masyarakat yang beradab tadi tidak sekedar menjadi angan-angan
yang utopis, namun dapat terealisasi.
Latar Belakang
Masyarakat,
merupakan suatu bentuk komunitas yang didalamnya telah mempunyai
kebudayaan yang telah ada sejak lama.
Kebudayaan yang pada awalnya merupakan suatu hasil dari proses penciptaan
manusia ini menandakan bahwa masyarakat telah mempunyai peradaban yang hingga
saat ini ada. Namun tidak semua kebudayaan yang dianut oleh masyarakat itu
mempunyai kode-kode atau dalam hal ini diwujudkan melalui aturan-aturan yang
mengatur terlaksananya kebudayaaan itu dari yang tadinya tidak teratur menjadi teratur.Salah
satu perilaku masyarakat sebagai imbas
adanya suatu peradaban adalah keinginan meneruskan keturunan dalam rangka
regenerasi melalui proses perkawinan. Oleh karena masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang berakal, maka perkawinan merupakan suatu budaya yang beraturan
yang mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri diwujudkan dalam suatu
aturan tata tertib yang mana dalam masyarakat Indonesia dikenal sebagai Undang
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang biasa dikenal sebagai UUP.
Dewasa ini, dalam kajian-kajian
mengenai Undang-Undang Perkawinan mempertanyakan bagaimana pengetahuan dan
pemahaman masyarakat mengenai Undang-undang tersebut. Bagaimana bisa Undang-undang
yang dalam sejarahnya ditujukan untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan
masyarakat, justru tidak dilaksanakan secara utuh oleh masyarakat itu sendiri?
Hal ini menimbulkan indikasi bahwa dalam UUP ini belum secara efektif
diterapkan dalam masyarakat. Faktor-faktor inilah yang kita cari sehingga dalam
penerapan UUP dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam perkawinan. Untuk
itu perlu diselidiki, bukan hanya penerapan Undang-undang itu kepada
masyarakat, namun bagaimana masyarakat memahami dan menyadari hukum serta
bagaimana dari hasil memahami dan menyadari hukum itu. Hukum sebagai rekayasa
sosial ini ternyata berhubungan dengan kesadaran, ketaatan dan keefektifitasan
hukum. Dalam kesadaran, ini berbicara
dalam ranah empirik. Artinya hukum itu disikapi sebagai sebuah perilaku bukan sebagai
aturan. Namun, kesadaran ini ternyata tidak selalu memiliki arti positif
seperti kata Oetojo Oesman. Ada
negatifnya. Salah satu contoh negatif adalah, orang yang berperkara di
Pengadilan Negeri setelah menerima vonis, ia akan banding dan kasasi meskipun
ia tahu bahwa ia ada dipihak yang salah. Karena itu juga, banyak perkara yang
menumpuk di Mahkamah Agung. Hukum juga hendaknya harus diketahui saja bukan
sebagai hukum tertulis Indonesia tapi juga hukum islam dan adat sepanjang itu
masih relevan dengan masyarakat. Jadi, kesadaran tidak sama dengan ketaatan dimanaketaatan
adalah wujud dari kesadaran hukum. Ketaatan hukum hanya dapat dicapai bila itu
sesuai dengan kepentingan masyarakat, dan untuk itu kita dapat katakan hukum
itu dapat berjalan efektif. Namun bagaimanapun, hukum perkawinan itu walaupun
dianggap telah mengakomodir kepentingan kepentingan masyarakat Indonesia yangmajemuk,
penerapannya masih saja terkendala dan ternyata masih belum dapat memenuhi
kepentingan masyarakat Indonesia yang prismatik.
Sebagaimana diketahui melalui
catatan sejarah terbentuknya UUP, bahwa
Undang Undang Perkawinan pada dasarnya terlahir karena adanya ketidakpuasan
terhadap setiap sistem hukum yang ada. Dimana
setiap golongan maupun unsur-unsur yang ada di indonesia mulai sadar
bahwa selama ini mereka telah dikotak-kotakan dengan adanya sistem hukum
peninggalan belanda yang mana mereka ingin memisahkan setiap unsur dari
masyarakat indonesia. Dengan demikian maka yang diuntungkan adalah sebenarnya
para penjajah itu sendiri, hal ini membuat setiap golongan yang ada hanya
peduli dengan apa yang terjadi pada golongannya saja, dan hal ini juga berarti
mereka tak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi pada kelompok lainnya.
Menyikapi kondisi inibudayawan Sujiwo Tejo mengatakan bahwa pada zaman dulu
sebelum adanya suatu sistem hukum nasional, maka nasuionalisme yang dianut di
indonesia adalah nasionalisme yang terkotak-kotak, sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan disana. Maka dengan adanya kesadaran
bahwa hal itu bisa mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, maka kemudian
semua elemen yang ada melakukan musyawarah untuk membahasnya. Tujuannya tiada
lain adalah untuk menemukan sebuah wadah yang akan mewadahi semua unsur maupun
kepentingan-kepentingan yang ada, salahsatunya adalah melalui UUP. Dimana
didalam UUP dinyatakan bahwa semua elemen masyarakat indonesia yang begitu
plural kini sudah mempunyai satu sistem hukum yang akan mengakomodir segala “keluh-kesah”
mereka. Karena didalam UUP tidak lagi dibahas tentang orang-perseorangan atau golongan
per golongan. Tetapi adalah masyarakat indonesia yang sudah menjadi satu.
Terlepas dari apapun latar belakangnya.
UUP menjadi hal yang sangat
strategis dalam pembangunan hukum nasional, karena UUP mengatur hal yang
mendasar dalam menciptakan kondisi sosial yang berkeadilan. Hal tersebut akan
tercapai apabila pelaksanaan dari UUP ini dilaksanakan secara konsisten. Baik
dalam pembangunan struktur dan kultur masyarakat. Kaitannya dengan struktur dan
kultur masyarakat ini memerlukan cara-cara yang efektif dan efisien dalam
menciptakan masyarakat yang madani, masyarakat yang berkeadilan sosial, dan
masyarakat yang mandiri. Namun, hal-hal yang ingin di capai ini masih terkendala
dalam konsistensi pelaksanaan UUP. UUP yang dimaksudkna untuk merangkul semua
golongan masih terkadang membentur nilai-nilai suatu agama yang menjadi sumber
adopsi UUP itu sendiri yakni Islam. Dalam Islam, dihalalkan nikah siri.
Sedangkan tidak begitu pada UUP. Ada juga yang bukan merupakan sumber adopsi
tadi, namun masyarakat Indonesia masih terkadang juga melakukan hal ini, yakni
perkawinan beda agama. Kedua hal tadi merupakan peristiwa-peristiwa yang
merupakan wujud dari kepentingan yang jumlahnya banyak namun belum diatur oleh
undang-undang. Akibatnya, masyarakat yang penuh warna, atau dalam bahasa formal
kita sebut dengan perbedaan-perbedaan tadi merasa bahwa UUP ini (masih) belum
memuat nilai-nilai yang ada pada sila Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila
itu dapat kita lihat dalam sila-sila yang mencerminkan keadaan masyarakat
Indonesia yang berketuhanan, menjunjung tinggi solidaritas, toleran, tenggang
rasa, dan tolong-menolong.
Tinjauan Pustaka
Pengertian
Undang Undang Perkawinan
Undang Undang
Perkawinan menurut penulis adalah seperangkataturan yang mengatur tata tertib
perkawinan dan hal-hal lainyang berhubungan dengan perkawinan, seperti perwalian,
kedudukan dan hak anak, hak dan kewajiban suami isteridan yang lain sebagainya.
Selaras dengan pengertian yang diberikan oleh Drs.Sudarsono, S.H. yang
menyatakan bahwa hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut
hubungan hukum mengenai kekeluargaan sedarah dan kekeluargan karena perkawinan
yang meliputi proses perkawinan, kekuasaan orangtua, perwalian, pengampuan dan
keadaan tak hadir.
Prof. Hilman memberikan pengertian perkawinan menurut perundangan yang mana
undang-undang perkawinan disebutkan sebagai ikatan antara seorang pria dan
wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan (verbintenis)
Sebagaimana kita
ketahui bahwa sebelum lahirnya undang-undang perkawinan telah berlaku berbagai
hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah yaitu
:
1.
Bagi
orang indonesia asli yang beragama islam berlaku hukum agama islam yang telah
di resiplir dalam hukum adat
2.
Bagi
orang indonesia asli lainya berlaku hukum adat
3.
Bagi
orang indonesia asli yang beragama kristen berlaku huwelijks Ordonantie kristen indonesia ( stb. 1933 no.74)
4.
Bagi
orang timur asing cina dan WNI keturunan cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab
Undang Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan
5.
Bagi
timur asing dengan WNI keturuman timur asing lainnya tersebut berlaku hukum
adat
6.
Bagi
orang eropa dan orang WNI keturunan eropa dan yang disamakan berlaku Kitab
Undang Undang Hukum Perdata.
Karena
bangsa Indonesia telah merdeka, dalam arti telah bebas dari cengkeraman
kolonialisme dan imperialisme, juga dapat secara bebas menentukan sistem hukum
secara mandiri. Maka dari itu, berbagai ketentuan-ketentuan di Indonesia yang
sebelum kemerdekaan banyak dibuat oleh dan demi kepentingan kaum penjajah
dihapuskan, di ubah atau diganti melalui proses saneer.
Selain itu juga ada proses unifikasi dan kodifikasi hukum. Salah satu regulasi
yang perlu diperbaiki adalah mengenai perkawinan,dimana seperti yang telah
disebutkan diatas, banyak membagi masyarakat menjadi kelas-kelas yang
berpotensi menimbulkan diskriminasi dan berujung pada disintegrasi bangsa.
Selain itu juga, dikatakan dalam penjelasan pasal 1 Undang Undang Perkawinan
bahwa perkawinan juga berhubungan dengan sila pertama Pancasila, yang artinya
perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga
perkawinan bukan hanya sekedar mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga unsur batin/rohani
yang mempunyai peranan penting.
Dapat kita simpulkan bahwa Undang-undang perkawinan berisi sekumpulan aturan
yang mengatur tentang perkawinan serta hal hal yang mempunyai hubungan dengan
perkawinan. Tidak hanya sekedar hubungan yang bersifat formil yuridis, namun
juga ada hubungan rohani karena perkawinan juga merupakan salah satu implikasi
daripada sila pertama Pancasila. Ada perintah dari Tuhan juga agar manusia
didunia melakukan regenerasi keturunan melalui metode perkawinan, walaupun
dalam perintah Tuhan,perkawinan tidaklah wajib dilakukan.
Undang-undang
perkawinan sendiri, (Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan)
disahkan dan di tandatangani presiden Republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto
di Jakarta pada 2 januari 1974 dan hari itu juga di undangkan yang di tanda
tangani menteri/sekertaris negara RI, mayor jenderal Soedarmono SH.
Tinjauan umum hukum perkawinan
·
Tujuan
hukum perkawinan
Tujuan hukum
perkawinan, dapat dilihat pada pasal 1 dan 2. Kedua pasal ini kedudukannya
sangat vital bagi Undang-undang ini karena kedua pasal ini menyinggung tentang
dasar-dasar perkawinan meliputi pengertian, tujuan dan landasan. Sudah jelas
bahwa perkawinan harus dilakukan oleh seorang pria dan wanita. Penyimpangan
atau pengingkaran terhadap hal ini mempunyai arti pengingkaran terhadap hukum
alam yang diciptakan Tuhan.
Tidak hanya itu, dalam pasal 2 turut serta memuat asas pluralisme, yakni dimana
perkawinan dapat dilakukan berdasarkan agama maupun kepercayaan masyarakat
Indonesia. Tampaknya, pembuat undang-undang mengerti benar bahwa Indonesia yang
Bhinneka Tunggal Ika, tidak hanya suku, agam, ras dan antargolongan saja,namun
ada kepercayaan yang masih dianut oleh masyarakat Indonesia yang dipercaya
sebagai warisan leluhur. Terkadang, ada beberapa aliran kepercayaan yang
merupakan asimilasi dari agama dan kepercayaan, misalnya Umat Islam Aboge di
Ajibarang (Banyumas) yang seringkali memiliki perbedaan dalam hal ilmu hilal.
Inilah yang telah sekian lama diharapkan oleh masyarakat Indonesia bahwa
undang-undang dapat mempersatukan bangsa diatas segala perbedaan dan dapat
mengakomodir seluruh kepentingan yang berbeda beda juga itu.
·
Syarat
syarat perkawinan
Syarat-syarat perkawinan
diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974. Pasal 6 s/d
Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil,
sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
Syarat perkawinan yang bersifat
materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua
orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal
dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3
ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah
cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Jadi, tidak salah apabila diatas
telah disebutkan bahwa perkawinan merupakan perikatan (verbintenis)karena memang perkawinan dilakukan setelah ada
konsensus antara seorang pria dan wanita dan setelah kesepakatan tercapai,
kemudian hubungan itu disahkan dalam sebuah proses perkawinan dengan dicatatkan
sebagai bukti administratif. Karena itu, seketika itu juga timbul konsekuensi
hukum yang mengikat keduanya yang diwujudkan dalam hak dan kewajiban.
Asas yang dianut dalam undang-undang
ini adalah asas monogami. Artinya seorang pria hanya boleh menikah dengan satu
wanita, begitupun sebaliknya. Namun ada penyimpangan terhadap asas ini, yang
telah disebutkan dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1) dan (2) bahwa
untuk beristri lebih dari satu, ada syarat syarat tertentu. Syarat syarat
tertentu ini dapat dikatakan sebagai pemberat, agar masyarakat tidak dapat
secara sembarang melakukan poligami, sekaligus sebagai tanda pembuat undang-undang
ingin melakukan seleksi yang ketat terhadap para calon pelaku poligami. Disamping
itu, istri dari suami yang ingin melakukan poligami harus dalam keadaan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri sebagaimana mestinya.
·
Rukun
Perkawinan
Rukun perkawinan terdiri dari : (1).
Sighat (akad) ijab- qabul, (2) Wali, (3) Dua Orang saksi.
Perkawinan diawali dengan ijab dan
qabul sebagai tanda bahwa seorang perempuan mempunyai kehendak untuk
mengikatkan diri sebagai istri kepada seorang laki-laki sebagai suaminya,
begitupun sebaliknya. Selain sebagi langkah awal prosedur perkawinan, ijab
qabul yang merupakan satu kesatuan ini, dapat ditafsirkan sebagai perjanjian
yang dibuat oleh manusia kepada Tuhan.
Masyarakat madani
Masyarakat
madani, secara harfiah berasal dari kata masyarakat dan madani (madinah).
Masyarakat, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan sejumlah
manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang
mereka anggap sama. Sedangkan istilah madani berasal dari kata madinah, sebuah
kota di negara Arab yang dulunya sebelum Nabi Muhammad datang, bernama Yatsrib.
Saat itu, ada perseteruan antara suku-suku yang mendiami Madinahdengan Nabi
Muhammad. Nabi Muhammad melihat bahwa perselisihan yang ada didalam masyarakat
Madinah ini perlu di diselesaikan. Maka dari itu, Nabi Muhammad kemudian
mengajak semua komponen didalam masyarakat itu untuk bermusyawarah membicarakan
apa masalah dan bagaimana jalan keluarnya. Hasil dari permufakatan kemudian
diwujudkan dalam bentukPerjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat
Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari
kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur
masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,
menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan
kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
Jadi, perjanjian tersebut berfungsi sebagai alat pemersatu atas perbedaan
perbedaan yang ada dan tak hanya itu, perjanjian itu juga menandakan bahwa
masyarakat saat itu telah bergeser dari masyarakat Jahiliyah, menuju masyarakat
yang beradab, saling tolong-menolong, saling mengasihi dan toleran akan
pluralitas yang ada. Namun, tidak berapa lama, muncul istilah Civil Society, yang kemudian disamakan
dengan pengertian masyarakat madani. Istilah ini berangkat dari pemikiran
Plato,dimana civil society adalah produk sejarah
masyarakat barat. Karena itu untuk memaknai istilah masyarakat madani dan civil
society, harus merunut kepada konteks latar belakang kelahirannya untuk
mengetahui perbedaannya.
Rumusan Masalah
·
Sejauh
manakah penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berpengaruh
terhadap upaya transformasi struktur dan kultur masyarakat Indonesia menuju
masyarakat yang madani?
Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui sejauh mana penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan berpengaruh terhadap upaya transformasi struktur dan kultur
masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang madani.
Metode Penulisan
·
Metode
Pendekatan
Metode
pendekatan yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah pendekatan kualitatif,
karena menekankan pada usaha menjawab hubungan analisis antarfenomena melalui
cara berfikir deduktif dan induktif dengan cara menjawab yang argumentatif dan
cara berfikir yang formal.
Ada suatu peristiwa dimana sebuah undang-undang dipertanyakan keefektifitasannya
dalam mempengaruhi dan apakah undang undang tersebut dapat memasuki serta
merangkul sendi-sendi dalam masyarakat Indonesia yang penuh warna.
Pembahasan
Politik Hukum Undang- Undang No.1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Perkawinan
merupakan hasil suatu niat dari seorang pria dan wanita untuk membina hubungan
antar lawan jenis agar diakui oleh negara (legal). Ini adalah upaya dari
sepasang pria dan wanita yang ingin mendapat pengakuan dari negara yang dilakukan
menurut undang-undang. Hal yang demikian dapat kita sebut sebagai will atau kehendak yang ingin dituju
oleh pelaku perkawinan. Telah disinggung dalam berbagai literatur bahwa tujuan
tujuan itu tadi terangkum dalam pasal 1 dan 2 Undang Undang No.1 Tahun 1974.
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentukkeluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam
penjelasan pasal 1 dikatakan, Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana
Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan
dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Perkawinan
harus dilaksanakan oleh seorang pria dan wanita. Ini merupakan harga mati,
karena agama (baik islam, kristen, katholik, buddha, hindu dan konghucu) hanya
mengakui hal tersebut. Perkawinan yang dilaksanakan hendaklah keduanya sudah
matang, dalam arti dewasa secara fisik, juga secara emosional. Ini dimaksudkan
agar suami-istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga dapat saling lengkap-melengkapi.
Namun yang harus diingat bahwa, perkawinan ialah sesuatu yang sakral,bukan hal
yang (tidak dapat dianggap) sepele dalam menjalankan biduk rumah tangga mengingat ini juga merupakan simbol hubungan
keagamaan, khususnya dengan Tuhan.Agama masyarakatpun berbeda-beda. Namun,
dalam Undang Undang ini pemerintah kita seakan mengisyaratkan telah mampu
membuat suatu regulasi yang menyatukan perbedaan perbedaan itu sekaligus
menerapkan falsafah dari Pancasila yang sarat akan muatan SARA
sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Seperti
yang telah dikatakan diatas, pengakuan dari negara terhadap pasangan suami
istri yang merupakan bentuk legalisasi, tercatat di pasal 2 ayat (2) yakni
dalam kegiatan pencatatan. Yang beragama Islam menggunakan Pengadilan Agama
sebagai instansi pencatatan, orang non-Islam lainnya melalui Kantor Catatan
Sipil.
Dari
penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa Pemerintah menginginkan adanya
unifikasi hukum bagi masyarakat Indonesia dalam hal perkawinan. Keragaman-keragaman
ini harus di akomodir namun dengan tidak menonjolkan salah satu agama. Unifikasi
ini juga dipandang sebagai realisasi dan perwujudan dari cita-cita
pembinaan hukum nasional dimana perlu adanya undang-undang tentang perkawinan
yang berlaku bagi semua warga negara. Hal ini baru
tercapai setelah dua puluh sembilan tahun Indonesia merdeka. Jadi boleh
dikatakan bahwa tujuan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah
untuk menuju tertib hukum dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia.
·
Transformasi
struktur dan kultur masyarakat indonesia
Sebelum
melangkah lebih lanjut dalam kajian ini, seyogyanya ada satu pemahaman yang
sama mengenai transformasi struktur dan kultur. Pemahaman yang sama mengenai
hal tersebut. Dalam Upaya Kaitannya dengan transformasi struktur masyarakat,
ada tiga cara yang dapat ditempuh dalam melakukan transformasi struktur dan
kultur masyarakat seperti yang dikemukakan Prof. Dr. C.F.G Sunaryati Hartono,
SH. yaitu :
1.
Masyarakat
dibiarkan berkembang secara alami tanpa ada campur tangan dari pihak manapun.
Cara ini biasanya memakan waktu yang lama, kadang sampai berabad-abad.
2.
Perubahan
masyarakat secaramendadak dan cepat (revolusioner),
transformasi masyarakat melalui cara ini seringkali terjadi sebagai akibat
peristiwa berdarah yang bertujuan menggantikan pimpinan negara maupun asas-asas
pemerintahan secara tiba-tiba. Kelemahan dari cara revolusioner ini ialah,
bahwa besar kemungkinan masyarakat akan mengalami set back. Karena perubahan itu terjadi secara mendadak.
3.
Perubahan
masyarakat yang direncanakan dan di arahkan supaya perubahan masyarakat terjadi
secara bertahap dan wajar (evolusioner).
Dari
beberapa cara dalam melakukan transformasi struktur dan kultur masyarakat maka
kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari cara-cara transformasi
masyarakat.
Kelemahan
dari cara yang pertama adalah perubahan masyarakat itu cenderung sangat lama,
hal ini tidak sesuai dengan tantangan dalam dunia globalisasi saat ini yang
mempunyai perkembangan masyarakat yang sangat pesat. Kedua adalah perubahan ini
tidak selamanya terarah, karena ketidak terarahan perubahan ini, maka sering
timbul akibat yang mengecewakan dan kemunduran dalam masyarakat itu sendiri
karena teringgal dengan bangsa yang lain apalagi dalam dunia globalisasi ini.
Kelemahan dari cara yang kedua adalah bahwa besar kemungkinan masyarakat akan
mengalami set back. Karena perubahan
itu terjadi secara mendadak seperti tersebut di atas. Sehingga pada era
sekarang maka yang sering digunakan dalam transformasi struktur dan kultur
adalah menggunakan cara yang ketiga, karena cara yang ketiga ini di anggap
mempunyi kekurangan yang lebih sedikit dari cara-cara yang lain.
Disisi
lainnya, kelebihan dari cara cara tersebut adalah dapat diterima masyarakat,
karena ia seyogyanya terdiri dari agenda-agenda tahunan yang direncanakan dan
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan kontinyu. Dulu saat rezim Orde
Baru berkuasa, dalam upayanya untuk menancapkan kekuasaannya, diciptakan
beberapa program yang dilakukan dalam hitungan beberapa tahun sekali,yakni REPELITA
(Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dimulai pada tahun 1969. Pemerintah saat
itu menginginkan perubahan kepada masyarakat dalam berbagai aspek. Hukum,
ekonomi, politik,sosial dan budaya. Dari program REPELITA itu, yang paling
dikenal adalah keberhasilan pemerintah dalam hal ekonomi(pangan) yakni
swasembada beras (bukan swasembada pangan, seperti yang dipropagandakan di
media massa dan buku-buku pelajaran). Terlepas dari citra buruk dan dosa-dosanya,
kita masih dapat memetik sedikit hal yang positif dari rezim ini. Transformasi
yang dilakukan untuk meningkatkan produksi nasional terhadap beras (secara umum
telah berhasil membudayakan dan memberikan dukungan semangat dan materi kepada
petani di Indonesia untuk mencapai tujuannya) menemui hasil pada Program
swasembada beras tahun 1982.
·
UU Perkawinan
sebagai Sarana dalam Transformasi Struktur dan Kultur Masyarakat
Dalam
hukum keluarga itu sendiri, penerapan UU Perkawinan sebagai pedoman kaidah yang
menjadi dasar dalam transformasi struktur dan kultur masyarakat, khususnya
masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang madani merupakan
cara yang dirasa efektif dan efisien.
Semenjak
diundangkannya UU perkawinan memang membawa beberapa perubahan ke arah yang
positif dalam pembaharuan hukum nasional. Karena memang tidak dapat dipungkiri
bahwa setiap masyarakat pasti berubah, baik secara pelan maupun secara cepat.
Dalam
ranah akademisi saat ini, terutama para kalangan hukum masih banyak yang
beranggapan bahwa ketentuan-ketentuan dalam konstitusi, hukum
perundang-undangan benar-benar merupakan gambaran dengan apa yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat kita saat ini. Hal ini timbul karena dalam melakukan
pengajaran hukum dalam mempelajari hukum, pemahaman mengenai “law in action” sama pentingnya dengan
pengetahuan mengenai “law in books”.Paradigma
seperti ini menimbulkan pemahaman yang keliru dalam kajian ilmiah hukum, yang
beranggapan bahwa struktur normatif hukum perundang-undangan merupakan
pencerminan dari bagaimana hukum yang sebenarnya beroperasi.
Setelah
kita mengetahui bagaimana cara dalam transformasi struktur dan kultur
masyarakat yang sudah direncanakan bersama, dan dilakukan dengan cara bertahap
dan wajar. Maka timbul pertanyaan, bagaimana melakukan transformasi struktur
dan kultur masyarakat sesuai dengan cara-cara tersebut?
Menurut
hemat penulis, disini hukum berperan dalam melakukan transformasi struktur dan
kultur masyarakat. Diwujudkan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan
dituangkan dalam kaidah hukum formil dan mempunyai kekuatan yuridis yang
mengikat, menyeluruh dan memaksa. Dengan adanya kaidah hukum ini yang mempunyai
sifat-sifat di atas maka hukum mempunyai peranan yang penting dalam melakukan
transformasi struktur dan kultur masyarakat atau social engineering.
Kaidah
hukum dirasa penting dalam melakukan transformasi struktur dan kultur
masyarakat, terutama dalam masyarakat yang majemuk. Seperti yang dikonsepkan
oleh Furnivall bahwa suatu masyarakat dalam sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial dalam bentuk
bagian-bagian, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki rasa loyalitas
terhadap masyarakat sebagai sebuah keseluruhan.Sehingga
dalam kaitanya melakukan rekayasa sosial demi terciptanya masyarakat yang
memiliki loyalitas dalam satu kesatuan yang utuh, namun masih tidak
mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada. Hal ini selaras dengan semboyan
bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”.Sehingga dalam pergaulan masyarakat
sehari-hari, hukum berperan dalam melakukan transformasi struktur dan kultur
masyarakat, baik itu dalam bidang pembinaan masyarakat dalam mewujudkan
rekayasa sosial tersebut, maupun dalam hal pengawasannya. Sehingga dalam melakukan
transformasi struktur dan kultur masyarakat akan berjalan secara bertahap,
wajar, serta sesuai dengan arah yang akan dituju.
·
Masyarakat
Indonesia yang Madani
Masyarakat
madani, merupakan konsep masyarakat yang berkeadaban. Ia menerobos kebudayaan
yang sedang menjangkiti masyarakat dimana ia berasal, yakni Arab khususnya
masyarakat Saba dan Madinah. Istilah Madani ini muncul untuk menamakan keadaan
masyarakat setelah dibuat dan disepakatinya perjanjian Madinah yang dipelopori
Nabi Muhammad untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada di Madinah. Dari
keadaan yang sebelumnya jahiliyah, menjadi beradab. Tidak lagi menggunakan
kekerasan untuk menyelesaiakan masalah, namun sudah menggunakan intelektualitasannya.
Kultur saling tolong-menolong, dan toleransi diimplementasikan bersama-sama
antar suku disana. Namun tentu, yang paling fundamen ialah pengakuan adanya
Tuhan yang menjadikan masyarakat menjadi lebih mengerti akan makna kasih sayang
kepada sesama. Dalam sejarahnya yang panjang,
menurut Asrori S. Karim, terdapat lima model pemaknaan civil society. Pertama,
civil society dipahami sebagai sebuah sistem kenegaraan. Dalam konteks ini,
civil society sama dengan state. Pemaknaan ini dikembangkan oleh Aristoteles
(384-322 SM), Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M),
dan John Locke (1632-1704 M). Istilah civil society sendiri diambil dari
istilah latin, yaitu societas civilis, yang pertama kali digunakan oleh Marcus
Tullius Cicero, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Cicero
menggunakan istilah ini dengan merujuk pada masyarakat politik. Masyarakat ini
memiliki kode-kode hukum dalam mengatur kehidupan mereka. Konsep ini mengacu
pada konteks masyarakat Romawi yang tinggal di kota-kota yang mempunyai hukum yang
menunjukkan keberadaban masyarakat, dalam pengertian masyarakat Romawi adalah
masyarakat yang memiliki nilai-nilai kesopanan dan tata hukum. Hal ini dianggap
sebagai hal yang membedakan mereka dari masyarakat pra-kota yang masih bar-bar
yang hidup berpindah-pindah.
Pada
masa Aristoteles, istilah civil society belum dikenal. Aristoteles menyebut
istilah koinonie politike yakni
merujuk pada komunitas politik dimana warga dapat terlibat langsung dalam
pengambilan keputusan.Thomas Hobbes memaknai civil society sebagai konsep yang
dimaksudkan untuk meredam konflik dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak
jatuh dalam chaos. Karena itu bagi
Hobbes, kekuasaan negara harus mutlak dan tidak boleh terbagi-bagi. Kekuasaan
yang terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil, atau perang
agama dalam negara.[4] Civil society ini harus memiliki kekuasaan absolut agar
mampu sepenuhnya mengontrol pola-pola interaksi warga negara.
Sementara
John Locke memaknai civil society untuk melindungi kebebasan dan hak warga
negara. Civil society menurutnya adalah masyarakat politik hasil dari kontrak
sosial. Locke memaknai civil society sebagai negara yang mempunyai kekuatan
politik untuk mengatur kehidupan masyarakat.[5] Karenanya civil society tidak
boleh absolut. Ia harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak dapat
dikelola oleh masyarakat dan memberi ruang yang wajar bagi warga negara untuk
memperoleh hak-haknya. Dominasi negara yang terlampau dominan hanya akan
menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapi
kekuasaan Negara. Kedua, pada abad ke-18, Adam Ferguson (1723-1816 M),[7]
memaknai civil society sebagai konsep etis dalam kehidupan bermasyarakat untuk
memelihara kehidupan sosial, yang bercirikan solidaritas sosial yang lahir dari
sentimen moral serta sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah.
Pemaknaan civil society ini merupakan refleksi dari kekhawatiran Ferguson
terhadap konteks sosial politik Skotlandia yang tengah menghadapi kemunculan
kapitalisme dan pasar bebas sebagai ekses dari revolusi industri, yang akan
menumbuhkan individualisme dan lunturnya tanggung jawab sosial masyarakat.
Dalam konteks ini, civil society dimaknai sebagai kebalikan dari masyarakat
primitif atau barbar.Ketiga, Thomas Pain (1822-1882 M) mendefinisikan civil
society sebagai anti tesis bagi negara dalam posisi yang berbeda secara
diametral. Peran negara menurutnya, harus dibatasi seminimal mungkin, karena
eksistensinya hanyalah merupakan keniscayaan buruk belaka. Bagi Thomas Pain,
civil society harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi keperluannya.[8]
Model
pemaknaan civil society semacam ini ditentang oleh George Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831 M) dengan mengembangkan makna civil society sebagai bagian
subordinatif dari negara. Menurut Hegel, struktur sosial terbagi atas tiga
entitas, yaitu keluarga yang merupakan ruang sosialisasi pribadi yang harmonis,
civil society sebagai tempat berlangsungnya konflik pemenuhan kebutuhan pribadi
atau kelompok, terutama sentimen ekonomi, dan negara yang merupakan
representasi dari ide universal yang merupakan sintesa dari dialektika
masyarakat. Negara memiliki tugas untuk melindungi kepentingan politik warganya
oleh karena itu berhak untuk mengintervensi civil society. Dalam hal ini, Hegel
memaknai civil society sebagai entitas yang cenderung melumpuhkan diri sendiri
sehingga memerlukan peran serta negara melalui kontrol hukum, administrasi, dan
politik.Hegel mengajukan alasan mengapa negara berhak untuk mengintervensi
masyarakat, yaitu ketika terjadi ketidak-adilan atau ketidak-sederajatan dalam
masyarakat, atau ketika terjadi ancaman terhadap kepentingan universal
masyarakat. Dalam hal ini, sebagai absolut idea yang merupakan hasil dari
dialektika masyarakat itu sendiri, negaralah yang berhak menentukan kriteria
kepentingan universal tersebut. Hegel memaknai negara sebagai entitas untuk
melindungi kepentingan umum, sementara aktivitas masyarakat adalah untuk
memenuhi kepentingan individu atau kelompok. Inilah pemaknaan keempat dari
civil society.
Kelima,
sebagai reaksi atas civil society a la Hegel, Alexis de Tocqueville (1805-1859
M), memaknai civil society sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Dalam
hal ini, Tocqueville merujuk pada pengalaman demokrasi di Amerika yang diawali
dari civil society berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat, termasuk
gereja dan asosiasi professional, yang kerap membuat keputusan pada tingkat
lokal dan menghindar dari intervensi negara. Civil society dalam hal ini tidak
sub-ordinatif dari negara, tetapi bersifat otonom dan memiliki kapasitas
politik sebagai pengimbang dari intervensi Negara. Civil society model
Tocquiville sebagai rekonstruksi pengalaman Amerika di Eropa inilah yang
kemudian menjadi basis kehidupan demokrasi modern yang berlandaskan prinsip toleransi,
desentralisasi, kewarganegaraan, aktivisme dalam ruang publik, sukarela,
swasembada, swadaya, otonom, dan konstitusionalisme.
Secara
institusional, instrumen penegak civil society ini dapat mewujud dalam berbagai
asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara, antara lain
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, paguyuban, organisasi keagamaan,
partai politik, dan perguruan tinggi. Menurut AS. Hikam, karakter dari civil
society adalah menolak partikularisme dan sektarianisme, namun pada saat yang
sama juga menentang totalisme dan uniformisme; Menghargai kebebasan individu
namun menolak anarki; memperjuangkan kebebasan berekspresi tetapi juga menuntut
tanggung jawab etik, menolak intervensi negara, tetapi juga memerlukan negara
sebagai pelindung dan penengah konfilk baik internal maupun eksternal. Negara
memang tidak mesti dilihat sebagai lawan, karena negara juga memiliki elemen
signifikan bagi pertumbuhan civil society, seperti pranata hukum. Pengertian
civil society inilah yang menjadi cita-cita dan harapan dari negara modern yang
berlandaskan sistem demokrasi.
Yang harus
digarisbawahi dari deskripsi diatas, masyarakat madani bukanlah civil society. Pertama,
seperti yang dikatakan Rosmini danDrs. Mufid Msi, bahwa Civil Society lahir
dari kehendak (yang berupa gesekan dan singgungan) alam. Sedangkan, masyarakat
madani lahir dari produk refleksi yang bebas, hasil karya aktivitas manusia.
Murni merupakan produk akal dan cita rasa seni manusia yang jenius.
Kedua, Civil Society, cenderung sekular. Karena mengutamakan interaksi antar
manusia dan ia merupakan buah dari zaman renaissance (kemoderenitasan) yang
dizaman itu memang memisahkan agama dengan kehidupan. Bagaimana interaksi
individu dengan individu berjalan.Maka dari itu, muncullah paham
individualisme. Sedangkan masyarakat
Madani, dengan menekankan pada kata Madinah (kota) dan din (diterjemahkan
sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn.Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani tidak
sama dengan Civil Society. Civil Society merupakan masyarakat yang hidup atas dasar
rasio. Segala yang berbau rasional dipuja. Praktis, hal hal yang bersifat magis
religius ditinggalkan. Namun masyarakat Madani lebih kepada masyarakat yang
dalam menjalani kehidupannya dinaungi dan dibimbing ajaran Tuhan. Meskipun
keduanya sama mengakui adanya perbedaan, namun landasan terhadap agama menjadi
hal yang membedakan keduanya.
Konsepsi yang
sudah terbangun ini lambat laun berkembang dari masa ke masa, keseluruh penjuru
dunia. Setidaknya, ada alasan untuk itu yang dikarenakan tiga prinsip
masyarakat madani :
1.
Pluralitas.
Perbedaan
merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kalimat yang terkenal dari Nabi Muhammad
ini brmakna bahwa, Tuhan menciptakan manusia dengan segala perbedaannya. Baik itu
secara fisik, ideologi, perilaku dan lain lain. Tuhan tentu mempunyai maksud,
agar manusia menggunakan akal yang sudah dikaruniakan supaya digunakan untuk
memersatukan perbedaan ini. Bahkanpluralismeadalahsuatukeharusanbagikeselamatanumatmanusiaantaralainmelaluimekanismepengawasandanpengimbangan. Dengan bahasa
yang sederhana, pluralitas diartikan sebagai penerimaan dan pengakuan terhadap
kemajemukan masyarakat.
2.
Toleransi.
Merupakan sikap
saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
orang/kelompok lain.
Penganut agama Hindu misalnya,
mengecilkan suara televisinya saat waktu umat islam melaksanakan shalat.
Begitupun sebaliknya, umat islam tidak menggunakan pengeras suara saat hari
raya Nyepi tiba.
3.
Demokrasi.
Suatu tatanan
sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.
Masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat
sekitarnya dengan tidak memperhatikan suku, ras dan agama.
Di
Indonesia, sebelum konsep mengenai masyarakat madani ada, sudah sejak dulu
Indonesia yang saat itu berupa kerajaan-kerajaan menamai sebuah ungkapan yang
kemudian tertera dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular dan kemudian
berabad-abad kemudian digunakan oleh Founding Fathers kita, yakni Soekarno dan
Hatta dalam lambang negara bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya
berbeda beda tetapi tetap satu juga. Dari ungkapan tersebut kita mengetahui
bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan
(SARA). Hal yang tidak dapat kita tolak dan mesti kita syukuri. Inilah yang
menjadi salah satu latar belakang mengapa Pancasila memang telah diakui masyarakat
Indonesia dapat mendeskripsikan Indonesia yang majemuk yang bagaimanpun,
seharusnya dapat mengkaver perbedaan perbedaan ini. Tiak dapat kita memaksakan
agar kesemuanya bersatu dalam suatu paham tertentu dari suatu rezim, sebab Dipa
Nusantara Aidit mengatakan bahwa penyeragaman terhadap perbedaan yang ada
merupakan bentuk penganiayaan terhadap kemajemukan bangsa.
Dan, hal yang demikian, hanya dilakukan oleh orang yang justru ingin “membunuh”
Pancasila, karena secara logika, Pancasila ada karena perbedaan.
Dalam
berbagai kajian, tema masyarakat madani memang menjadi salah satu tema yang
menjadi primadona dalam berbagai kesempatan. Hal ini disebabkan adanya tuntutan
untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang ideal, dan masyarakat madani di
anggap mencerminkan masyarakat yang ideal tersebut. Namun, dalam beberapa
kajian mengenai masyarakat madani ini ada yang menyamakan dengan civil society. Hal ini perlu di kaji
ulang dalam pemaknaanya. Karena kedua istilah ini memiliki beberapa perbedaan
yang mendasar. Bila ditilik dari locus sejarah berkembangnya kedua istilah
tersebut maupun secara pragmatik berbeda,walaupun
kedua istilah tersebut sangat relevan dalam kajian mencari paradigma masyarakat
baru yang ideal. Sehingga dalam memahami istilah masyarakat madani harus
dibedakan dengan istilah civil society.
Dalam
sejarahnya,seperti yang telah disinggung diatas bahwa masyarakat madani tidak
dapat dipisahkan dari perspektif Islam. Hal ini didasarkan pada aspek sejarah,
dimana Muhamad SAW. Melakukan Hijrah dari mekkah ke yastrib. Dimana, di yastrib
inilah nabi Muhamad SAW. Menanamkan nilai-nilai masyarakat madani yang tertuang
dalam piagam madinah. Hal tersebut menandai perubahan era Jahiliyah atau
kebiadaban berubah menjadi madinah atau keberadaban. Pada zaman tersebut, Nabi
Muhamad SAW Menanamkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip hidup dalam
kemajemukan, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antar anggota masyarakat
yang majemuk, memiliki kemadirian dalam bermasyarakat, menghormati hak-hak
asasi sesama warga, namun taat pada hukum yang berlaku pada saat itu, yaitu
piagam madinah.
Hubungannya
dengan masyarakat Indonesia, nilai-nilai yang terkandung dalam piagam madinah
tersebut sesungguhnya sudah termaktub dalam Pancasila yang menjadi falsafah
bangsa Indonesia. Dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai dari masyarakat
yang madani yang tertuang dalam lima sila dalam Pancasila. Pancasila juga
menjadi sumber segala sumber hukum di Indonesia, sehingga pada setiap Undang-undang
harus sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Tidak terkecuali
Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dan undang-undang
perkawinan yang mengatur perkawinan dan hukum keluarga merefleksikan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, terutama dalam pasal 1 Undang Undang
Perkawinan yang menyatakan pengertian perkwainan, tujuan dan landasan
perkawinan itu sendiri. Plus, pasal 2 yang mengakomodir kepentingan masyarakat
yang beragam dan ber-kepercayaan (bukan agama) sekaligus legalisasi dari negara
melalui kegiatan pencatatan. Jadi dapat kita ketahui bahwa pluralisme yang ada
di Indonesia ini, dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Undang Undang Perkawinan
telah merupakan implementasi dari penghayatan falsafah Pancasila yang selama
ini menjadi dasar negara untuk merangkul segala perbedaan. Dengan kata lain
politik hukum UUP sama tujuannya dengan Pancasila, unity in diversity . Jadi jelas, yang penulis maksudkan disini
adalah masyarakat yang meneladani ciri dankarakteristik masyarakat madani.
·
UUP sebagai
sarana tranformasi struktur dan kultur masyarakat indonesia yg madani
Hukum
menjadi sarana untuk merubah masyarakat dari yang sebelumnya tidak taat menjadi
taat, bebas menjadi tidak bebas karena tujuan hukum sendiri adalah membatasi
kekuasaan dan membatasi kebebasan.Harus ada proses dari upaya yang
dilakukanpemerintah untuk membuat masyarakat menjadi apa yang pemerintah inginkan,
salah satunya dengan undang- undang. Namun undang undang juga harus berfungsi
sebagai social engineering (alat rekayasa sosial). Dalam pengertiannya sebagai social
engineering , diawali dengan sebelum adanya Undang Undang Perkawinan,
masyarakat Indonesia terkotak-kotak oleh berbagai pembagian atau pemisahan
hukum. Dengan demikian, masyarakat Indonesia banyak melakukan perkawinan
menurut adat kebiasaan dan hukum agama.Ini keadaan yang tidak menguntungkan.
Maka setelah kita merdeka,
ketidakteraturan ini harus dibenahi yakni dengan adanya regulasi yang
dapat mengkaver perbedaan perbedaan yang
ada dalam masyarakat Indonesia dalam hal perkawinan.
Ketika
Undang Undang Perkawinan lahir, masyarakat Indonesia harus bisa menyesuaikan
diri dengan regulasi itu. Hukum sebagai alat rekayasa sosial, menimbulkan
pertanyaan. Apakah dengan cara memaksa?atau adakah cara lain? Ternyata memang,
kita tidak dapat memisahkan hal tersebut dari keadaan internal masyarakat yang
erat kaitannya dengan kesadaran hukum. Untuk itu, ada beberapa tahapan untuk
mengetahui seberapa besar kesadaran hukum masyarakat yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto:
o
Pengetahuan
tentang hukum. Bagaimana masy tau akan kaidah hukum itu sendiri.
o
Pemahaman
tentang hukum., yakni dengan sosialisasi.
o
Sikap
terhadap hukum
o
Perilaku
hukum (yang sesuai)
Menurut
penulis, tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan dari bawah. Katakanlah, ada
suatu Undang undang baru yang diberlakukan kepada suatu masyarakat, yakni
Undang-undang perkawinan yang mengharuskan setiap orang yang berkeinginan untuk
berkeluarga, agar menjalani serangkaian prosedur yang telah diatur undang undang yang meliputi
syarat-syarat dan ketentuan lainnya. Kondisi yang demikian dikarenakan saat
itu, masyarakat dibingungkan oleh aturan yang berbeda-beda sehingga masyarakat
yang awam akan hukum sukar untuk mewujudkan niatnya. Atas latar belakang itu, kemudian masyarakat
secara perlahan mulai merasa bahwa adanya undang-undang itu berbanding lurus
dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Perasaan tersebut kemudian
dimanifestasikan dalam bentuk tindakan.
Perilaku yang sesuai atas undang-undang yang berlaku dipandang sebagai
suatu respons yang positif . Sikap afirmatif ini mengindikasikan bahwa
pemahaman masyarakat terhadap hukum dapat kita katakan ideal disamping
pengetahuan yang baik akan kaidah yang diperuntukkan bagi mereka. Namun memang,
agar undang undang yang ada dapat dipatuhi seperti perumpamaan diatas, undang
undang haruslah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Peran
aparat hukum dalam pemaknaan secara mendasar (oleh aparat hukum) dan
pembudayaan hal tersebut melalui penegakan Undang undang Perkawinan juga tidak
dapat dikesampingkan. Sebab, adanya perangkat hukum yang sempurna tidak selalu
memberikan jaminan bagi terlaksananya ketentuan ketentuan hukum apabila tidak
ada aparatur penegak hukum yang dapat diandalkan untuk menegakkan ketentuan
ketentuan hukum yang berlaku, atau apabila tidak ada aparatur hukum yang
tanggap untuk dalam secara cepat dan tepat melayani masyarakat, sehingga
terpenuhi segala kebutuhan hukumnya.
Artinya, segala macam peristiwa yang berkaitan dengan perkawinan seperti
perwalian, perceraian, hak dan kewajiban orangtua, kedudukan anak hingga
masalah waris selain harus benar benar didasarkan pada Undang Undang, Aparatur didalamnya juga harus mempunyai
pemahaman yang lebih tinggi dengan ditunjang pelayanan yang prima. Ketika
keadaan sudah demikian, masyarakat menganggap hukum itu sebagai sesuatu yang
dipatuhi, bukan ditakuti. Jika demikian, maka tujuan Undang Undang Perkawinan
dapat tercapai dengan tidak mengenyampingkan suatu hal yang harus kita terima
sebagai kodrat (given), yaitu
pluralitas/me.
Kesimpulan
Dalam
paparan di atas maka ada beberapa hukum yang berlaku mengenai perkawinan
tersebut, sehingga lahirnya Undang Undang Perkawinan memberikan angin sejuk
bagi pembaharuan hukum nasional dalam mengatur hukum perkawinan. Undang Undang Perkawinan
menjadi landasan yuridis formal dalam sistem hukum nasional dan bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat indonesia yang madani sesuai dengan Undang Undang Perkawinan
itu sendiri dalam rangka pembangunan nasional dimana, metode untuk menggiring
masyarakat Indonesia ke arah peneladanan dari ciri dan karakteristik masyarakat
madani ini dilakukan secara bertahap dan bersifat evolusioner mengingatke-bhinnekaan
yang ada sebagai komponen vital bangsa Indonesia yang gandrung akan nilai nilai
ketuhanan, toleransi, dan gotong royong.
.