Kita baru saja mendengar kabar, para hakim mengancam akan mogok kerja.
Ini artinya mereka mau menolak untuk menyelenggarakan sidang. Artinya
lagi, mereka bermaksud menolak membuat keputusan. Lebih serius lagi,
mereka karenanya lantas ingin menolak keadilan ditegakkan, menolak hukum
dilaksanakan, menolak hak-hak dasar individu dan institusi dihargai,
serta menolak pelaku perbuatan jahat dihukum setimpal.
Namun, rasanya tidak adil bagi kita untuk begitu saja menghukum para hakim tanpa mengetahui akar masalah mengapa mereka dianggap menolak hukum ditegakkan, dan membiarkan keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat terganggu. Alasan mereka sederhana, janji eksekutif untuk memperbaiki sistem imbalan hakim tertunda atau sengaja ditunda selama bertahun-tahun, setelah penantian yang begitu panjang, setelah para hakim merasa menjalani reformasi yang dituntut oleh negara dan seluruh lapisan masyarakat.
Sungguh tidak adil bahwa para hakim masih harus menanggung beban berat kehidupan yang semakin mahal dengan remunerasi kecil, jauh kurang dari apa yang selayaknya diberikan terkait dengan peran penting hakim yang sangat sentral dalam sistem tata negara, dan posisi terhormat mereka dalam tata masyarakat modern. Penghasilan hakim yang kecil adalah penghinaan atas hukum dan keadilan itu sendiri. Kalau hakim dihargai murah, maka penegakan hukum yang lemah dan keadilan yang pincang adalah ganjaran yang mungkin dianggap pantas.
Disebutkan bahwa sistem peradilan dengan para hakim yang punya integritas tinggi adalah salah satu pilar dari sistem integritas nasional. Sangat ironis bahwa hakim hanya disebut “Yang Mulia” di ruang sidangnya, tetapi dilecehkan dengan sistem tata pemerintahan yang masih secara struktural dan dengan kejamnya memiskinkan mereka. Dari data yang ada, gaji para hakim di Indonesia saat ini dibedakan berdasarkan golongan dan masa kerja.
Gaji Pokok Hakim Berdasarkan Lampiran PP No 11 Tahun 2008
Namun, rasanya tidak adil bagi kita untuk begitu saja menghukum para hakim tanpa mengetahui akar masalah mengapa mereka dianggap menolak hukum ditegakkan, dan membiarkan keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat terganggu. Alasan mereka sederhana, janji eksekutif untuk memperbaiki sistem imbalan hakim tertunda atau sengaja ditunda selama bertahun-tahun, setelah penantian yang begitu panjang, setelah para hakim merasa menjalani reformasi yang dituntut oleh negara dan seluruh lapisan masyarakat.
Sungguh tidak adil bahwa para hakim masih harus menanggung beban berat kehidupan yang semakin mahal dengan remunerasi kecil, jauh kurang dari apa yang selayaknya diberikan terkait dengan peran penting hakim yang sangat sentral dalam sistem tata negara, dan posisi terhormat mereka dalam tata masyarakat modern. Penghasilan hakim yang kecil adalah penghinaan atas hukum dan keadilan itu sendiri. Kalau hakim dihargai murah, maka penegakan hukum yang lemah dan keadilan yang pincang adalah ganjaran yang mungkin dianggap pantas.
Disebutkan bahwa sistem peradilan dengan para hakim yang punya integritas tinggi adalah salah satu pilar dari sistem integritas nasional. Sangat ironis bahwa hakim hanya disebut “Yang Mulia” di ruang sidangnya, tetapi dilecehkan dengan sistem tata pemerintahan yang masih secara struktural dan dengan kejamnya memiskinkan mereka. Dari data yang ada, gaji para hakim di Indonesia saat ini dibedakan berdasarkan golongan dan masa kerja.
Gaji Pokok Hakim Berdasarkan Lampiran PP No 11 Tahun 2008
Masa Kerja
|
Gol. III/a
|
Gol.III/d
|
Gol. IV/a
|
Gol. IV/e
|
0 Tahun
|
1.976.600
|
2.159.900
|
2.224.700
|
2.503.900
|
10 Tahun
|
2.450.100
|
2.677.300
|
2.757.600
|
3.103.700
|
20 Tahun
|
3.037.000
|
3.318.600
|
3.418.200
|
3.847.200
|
32 Tahun
|
3.929.700
|
4.294.100
|
4.422.900
|
4.978.000
|
Dari tabel di atas, jumlah uang yang diboyong pulang seorang hakim per bulannya (take home pay), lebih banyak. Ditambah tunjangan jabatan Rp650.000 dan tunjangan kinerja (remunerasi 70 persen) Rp2.940.000, total take home pay seorang hakim golongan III/a dengan 0 masa kerja sebesar Rp5.566.000.
Survei gaji rata-rata eksekutif perusahaan swasta di Indonesia menunjukkan bahwa seorang direktur pada perusahaan patungan penanaman modal asing atau konglomerasi nasional berkisar antara Rp80 juta sampai Rp300 juta per bulan.
Berdasarkan PP No 15 Tahun 2012, gaji pegawai negeri sipil Gol III/a pada Kementerian Keuangan dengan rentang masa kerja 0-2 tahun berkisar antara Rp2.064.100 sampai dengan Rp2.175.700 per bulan pada suatu kementerian.
Berdasarkan PP No 29 Tahun 2006, gaji per bulan pimpinan KPK sekitar Rp5.040.000 (ketua), dan Rp4.620.000 (wakil ketua). Sedangkan, besaran tunjangan jabatan sekitar Rp15 juta (ketua), dan Rp12 juta (wakil ketua). Tunjangan kehormatan sekitar Rp1,4 juta (ketua) dan Rp1,3 juta (wakil ketua).
Sementara, gaji anggota DPR per bulan rata-rata sebesar Rp4,2 juta plus tunjangan dan lain-lain, take home pay mereka mencapai Rp51,5 juta (Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010).
Lalu, untuk perbandingan saja, gaji rata-rata advokat muda dengan pengalaman dua tahun di firma advokat besar di Indonesia berkisar antara Rp15 juta per bulan, dan rata-rata penghasilan partner pada firma hukum besar berkisar antara Rp75 juta sampai Rp300 juta, belum termasuk pembagian keuntungan tahunan.
Agak sulit untuk mengatakan fungsi mana yang paling penting di antara fungsi-fungsi tersebut, tetapi dalam sistem tata negara manapun fungsi yudikatif yang efektif menandakan adanya sistem yang demokratis, penegakan hukum, penghargaan atas hak asasi, keadilan berlaku untuk setiap orang tanpa perbedaan, pemerintahan yang bersih, tata tertib dan keamanan dijamin dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat terjaga baik. Tanpa itu semua, kita akan menjadi masyarakat yang sarat dengan situasi chaos. Jadi fungsi yudikatif yang efektif mutlak harus ada, dan itu hanya bisa terjadi bilamana reformasi peradilan diteruskan dan para hakim diganjar imbalan yang harus sangat memadai.
Dalam perspektif yang lain, sikap para hakim bisa saja lantas memicu banyak ketidakpuasan dari bagian lain dari struktur tata negara kita atas sistem penggajian yang mereka terima. Bagaimana jadinya jika para guru berhenti mengajar, polisi mogok bertugas, tentara tidak lagi menjaga wilayah negara, dokter dan perawat berhenti merawat orang sakit, karyawan transportasi tidak lagi mau mengangkut orang dan barang, penjaga pintu kereta membiarkan simpang kereta terbuka bila penggajian mereka tidak diperbaiki. Daftar ini bisa panjang, dan semakin panjang semakin sulit untuk membayangkan kekacauan yang ditimbulkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita.
Di tengah optimisme yang tinggi atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diakui baik di tengah krisis ekonomi dunia, tuntutan-tuntutan tersebut akan menjadi semakin menguat. Konsumerisme yang merajalela, peredaran barang-barang dan jasa-jasa yang masif dan menggiurkan, dan sistem pembayaran dengan penggunaan dana pinjaman (kartu kredit) dari dunia perbankan yang meluas dan mudah didapat, sangat mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan tersebut.
Manakala tuntutan tidak terpenuhi, maka penghalalan cara untuk mendapatkan uang dengan cara apapun juga semakin meluas. Korupsi dan kejahatan lain menjadi marak. Ironisnya, usaha untuk memerangi korupsi justru timbul dari kesadaran adanya masalah-masalah mendasar tersebut. Peningkatan remunerasi pejabat publik dianggap menjadi salah satu keberhasilan memerangi atau paling tidak mengurangi secara drastis kejahatan korupsi. Ini seperti berkutat dengan pertanyaan mana yang harus ada terlebih dahulu, telur atau ayam?
Jadi bagaimana jalan keluar yang masuk akal dan elegan? Apakah sekarang sudah waktunya untuk meningkatkan remunerasi para hakim ke taraf yang layak, sehingga mereka berada pada posisi terhormat, dihargai dan menjadi penjaga keadilan dengan hidup tenang tanpa harus memikirkan beban tekanan ekonomi yang tidak bisa diatasi dengan remunerasi sekarang. Atau sesungguhnya para pekerja reformasi punya alasan yang kuat untuk menunda ini, dan mungkin ini juga sikap eksekutif yang selama ini menunda pengucuran anggaran untuk yudikatif.
Mereka pada prinsipnya menyimpulkan bahwa reformasi yang dijalankan oleh yudikatif masih setengah jalan, setengah hati dan jauh dari selesai. Administrasi sistem peradilan masih belum tertata baik, terutama dari segi akuntabilitas finansial. Keputusan hakim masih banyak yang menunjukkan pengingkaran terhadap reformasi, belum lagi kualitas yang masih dianggap tidak memadai. Kelemahan legislasi kita menjadikan keputusan pengadilan sebagai hukum. Keputusan hakim yang buruk jelas akan menghasilkan kaidah hukum dan penerapan hukum yang buruk juga. Korupsi masih tinggi, dan dari waktu ke waktu kita menyaksikan oknum hakim dan panitera tertangkap tangan karena menjual hukum dan keadilan.
Kalau reformasi yang serba tanggung ini diganjar dengan sistem remunerasi yang memadai, maka beban negara pastinya akan semakin berat. Anggaran besar untuk penggajian ini masih akan menyisakan kita sebagai negara yang korup sistem peradilannya. Terjemahan bebasnya, kita akan mendapat rating rendah dalam governance, dan ini pada gilirannya akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, utamanya dari alur masuk investasi asing, baik investasi langsung mapun lewat pasar modal.
Hal ini akan tetap menekan Rupiah, dan menjadikan pinjaman bank tetap mahal, yang kemudian akan mempengaruhi indikator makro ekonomi kita secara negatif. Barang dan jasa tetap mahal, dan berapapun remunerasi diberikan, kebutuhan konsumtif yang terlanjur tinggi tidak akan pernah mencukupi. Akhirnya ketamakan bisa mendorong kembali mereka yang mau menjadi bersih untuk terjun kembali ke alam pikiran lama, yaitu mencari jalan pintas untuk tetap hidup layak dalam ekonomi biaya tinggi, sekalipun harus menjual hukum dan keadilan.
Para reformis menghendaki perbaikan sistem remunerasi diterapkan secara bertahap, yang dilakukan dengan memberlakukan semacam “score cards”, artinya setiap perbaikan sistem remunerasi dikaitkan dengan perbaikan pada sistem peradilan. Setiap kecil perbaikan akan diganjar dengan perbaikan kecil remunerasi. Setiap perbaikan sistem peradilan secara substansial akan diganjar dengan perbakian remunerasi yang substansial juga. Sistem rekrutmen dan promosi yang berbasis prestasi dan kinerja, serta sistem training yang tepat- guna akan mengubah minat rendah orang-orang terbaik untuk mengembangkan karier di dunia peradilan.
Sistem akuntabiltas keuangan yang transparan akan menghasilkan penghematan yang akan berakibat positif untuk ikut meningkatkan kesejahteraan jajaran yudisial. Sistem informasi yang terbuka, termasuk transparansi proses dan keputusan pengadilan, yang bisa diakses secara mudah oleh pencari keadilan bisa menjamin kebersihan pengurusan perkara, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa perkaranya akan diselesaikan dengan dasar fakta dan hukum, bukan oleh pengaruh kekuasaan, tekanan politik atau uang. Hakim yang makin profesional, berintegritas tinggi dan dihargai dengan baik seyogyanya akan memberikan keputusan bermutu yang bisa dijadikan “hukum” yang selalu dinamis dan mengikuti perkembangan masyarakat modern.
Para reformis juga menduga bahwa hakim yang menyimpulkan mereka telah menjalankan program reformasi secara terstruktur, efektif dan merata di setiap tingkat badan peradian, dan telah membersihkan peradilan dari praktik korup, dianggap terlalu gegabah dan cepat-cepat mengambil kesimpulan yang dini. Itu sebabnya sistem remunerasi yang baru belum diterapkan secara penuh, karena memang “score cards” belum terisi dengan hasil reformasi yang diprogramkan.
Di tengah dilema yang sulit ini, ujung penyelesaian yang ideal hampir dipastikan tidak akan adil dan efektif untuk tujuan reformasi, yaitu bersihnya, efektifnya dan tingginya kualitas dunia peradilan kita. Biaya yang mahal untuk meningkatkan remunerasi hakim harus diimbangi dengan reformasi menyeluruh. Sekali lagi, dibutuhkan pemimpin yang tegas di jajaran sistem peradilan dan eksekutif (sebagai pengelola anggaran) agar program reformasi berhasil dengan baik, dan kita bisa mulai lagi mendudukkan para hakim ditempat terhormat dengan antara lain memperbaiki tingkat hidup dan kesejahteraan mereka. Usul-usul lama mungkin harus dihidupkan kembali dan dilaksanakan dengan tegas dan konsisten dalam 2-3 tahun ke depan.
Pertama, suatu fit and proper test atas seluruh hakim perlu dilaksanakan, untuk menguji kelayakan mereka sebagai hakim peradilan di berbagai tingkatan. Ini pasti mengundang kontroversi dan protes keras banyak kalangan, utamanya para hakim tersebut. Hampir pasti sulit dilaksanakan, tetapi perlu kalau kita mau tingkat keberhasilan yang tinggi. Mereka yang tidak lulus fit & proper test bisa mengikuti pelatihan khusus untuk dialihkan profesinya menjadi dosen universitas negeri, pejabat pemerintah pusat atau daerah, mengisi jajaran biro hukum di kementerian dan lembaga pemerintah atau badan usaha milik negara, menjadi ahli hukum militer, menjadi advokat atau ahli hukum di perusahaan swasta asing atau nasional atau bahkan menjadi anggota parlemen pusat atau daerah. Anggaran yang semula ditujukan untuk membiayai mereka dialihkan ke peningkatan remunerasi para hakim yang memenuhi kelayakan untuk meneruskan profesinya karena lulus fit and proper test.
Kedua, program reformasi peradilan secara masif dan cepat dilaksanakan, termasuk transparansi anggaran, penerapan sistem kamar untuk meningkatkan mutu keputusan, penerapan transparansi proses peradilan dan anggaran, sistem rekrutmen dan promosi berbasis kemampuan dan kinerja, perbaikan sistem pelatihan, proses pemilihan yurisprudensi terbaik yang patut diikuti, penerapan sistem eksaminasi keputusan internal dan eksternal, pembentukan pedoman keputusan hakim, pengadaan sistem pengawasan internal, perbaikan infra struktur peradilan termasuk penggunaan teknologi tinggi dalam proses riset dalam pembuatan keputusan dan persidangan, transparansi keputusan, uji tuntas untuk pemenuhan kebutuhan setiap pengadilan atas jumlah hakim dan personil lain, dan lain-lain program yang selama ini menjadi fokus perhatian para reformis di pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat.
Ketiga, setelah semua perbaikan tersebut tersusun dan terselenggara dengan baik, barulah pemenuhan perbaikan sistem remunerasi sepenuhnya dilaksanakan. Kita tentu ingin menyaksikan bahwa hakim kita pada saat itu menerima penghasilan dan jaminan sosial yang setinggi-tingginya. Kita ingin mendengar bahwa hakim kita menerima paket remunerasi dan jaminan sosial yang paling tidak menyamai menteri dan presiden kita atau para petinggi perusahaan milik negara atau swasta. Kemakmuran negara kita yang meningkat karena pertumbuhan ekonomi yang membaik harus direfleksikan pada kesejahteraan para hakim kita juga.
Jadi Bapak dan Ibu hakim, berhentilah untuk berpikir mogok kerja. Sekali lagi, justice delayed, justice denied.
Bethesda, April 22, 2012
www.hukumonline.com
INFO PENTING !!!, ada investasi yang memberi anda kemudahaan dan bermodal murah, saya selaku bloger DWIKY AGIL RAMADHAN sudah mendapat manfaatnya, silahkan kunjungi http://KomisiVirtual.com/?id=DWIKY, dan ikuti dan rasakan manfaatnya !!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar