Kewajiban
Mahkamah Kosntitusi dalam hal memutus pendapat DPR terhadap dugaan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan jika keduanya
tidak memenuhi syarat menjadi Presiden dan/atau wakil Presiden, dalam proses
pemberhentian atau Impeachment di
dasarkan pada pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Dasar
1945 juncto
pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Namun,
pengaturan lebih jauh mengenai proses beracara di Mahkamah Konstitusi tidak
dijelaskan lebih lanjut di dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkan diatur
lebih khusus di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan
Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[1]
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi pada pasal 2 ayat (2) tersebut, pihak yang
memohon putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat Dewan Perwakilan rakyat (DPR)
adalah DPR yang diwakili oeh pimpina DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya,
serta permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia, 12 rangkap yang ditanda tangani
oleh pimpinan DPR atau kuasa hukumnya (pasal 3 ayat (2) dan (3)).
Dalam hal pendapat DPR berkaitan dengan
dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu dan tempat
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Begitupun dengan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945.[2]
Selain itu, DPR juga wajib melampirkan dalam permohonannya alat bukti berupa[3]
:
a. Risalah dan/atau berita acara proses
pengambilan keputusan DPR yang didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna dan dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR;
b. Dokumen hasil fungsi pengawasan oleh DPR
yang berkaitan langsung dengan materi permohonan;
c. Risalah dan/atau berita acara rapat DPR;
d. Alat-alat bukti mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menjadi dasar pendapat
DPR.
Panitera
Mahkamah Konstitusi memeriksa kelengkapan dan persaratan permohonan. Permohonan
yang belum lengkap dan/atau belum memenuhi syarat, diberitahukan kepada DPR
untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi dalam jangka waktu paling lama 3 hari
kerja. Penitera mencatat permohonan yang sudang lengkap dalam Buku Register
Perkara Mahkamah Konstitusi (BRPK). Kemudian panitera mengirimkan satu berkas
permohonan yang sudah diregistrasi kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam jangka waktu paling lambat 3 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam
BRPK disertai permintaan tanggapan tertulis atas permohonan dimaksud.[4]
Tanggapan tertulis Presiden dan/atau Wakil Presiden dibuat dalam rangkap 12 dan
sudah diterima panitera paling lambat 1 hari sebelum sidang pertama di mulai.[5]
Mahkamah
Konstitusi menetapkan hari sidengan pertama paling lambat 7 hari kerja sejak
permohonan diregistrasi oleh panitera. Penetapan hari sidang pertama
diberitahukan kepada pihak-pihak dan diumumkan kepada masyarakat melaluo
penempelan salinan pemberitahunan di papan pengumuman Mahkamah yang khusu
digunakan untuk itu.[6]
Namun, dalam kebiasaanya di Mahkamah Kosntitusi pemberitahuan kepada khalayak
ramai atau masyarakat di umumkan juga pada situs website resmi Mahkamah
Konstitusi.
Persidangan
dilakukan oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya oleh 7 orang Hakim
Konstitusi. Sidang pleno dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan bersidat
terbuka untuk umum.[7]
Persidangan
berlangsung dalam 6 tahapan yaitu sebagai berikut [8]:
Tahap I :
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Tahap II :
Tanggapan Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Tahap III :
pembuktian Oleh DPR
Tahap IV :
Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Tahap V :
Kesimpulan
Tahap VI :
Putusan
Sidang pemeriksaan pendahuluan wajib
dihadiri oleh pimpinan DPR dan kuasa hukumnya. Presiden dan/atau Wakil Presiden
berhak untuk tidak dapat menghadiri sidang, Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diwakili oleh kuasa hukumnya.[9]
Dalam pemeriksaan pendahuluan, Mahkamah
Konstitusi melakukan pemeriksaan atas kelengkaan dan kejelasan materi
permohonan. Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada pimpinan DPR
dan/atau kuasa hukumnya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan
seketika itu juga.[10]
Setelah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Mahkamah Konstitusi memerintahkan
pimpinan DPR untuk membacakan dan/atau menjelaskan permohonanya. Setelah
pembacaan dan/atau penjelasan permohonan, Ketua Sidang memberikan kesempatan
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden atau kuasa hukumnya yang mewakili untuk
mengajukan pertanyaan dalam rangka kejelasan materi permohonan.[11]
Dalam persidangan tahap II, Presiden
dan/atau Wakil Presiden wajib hadir dan dapat di dampingi oleh kuasa hukumnya
untuk menyampaikan tanggapan terhadap pendapat DPR yang diajukan ke Mahkamah.[12]
Selain itu, Mahkamah juga memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau
kuasa hukumnya untuk memberikan tanggapan balil. Ketua Sidang memberikan
kesempatan kepada hakim untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden.[13]
Dalam persidangan tahap III, DPR wajib
membuktikan dalil-dalilnya dengan alat bukti [14]:
a) Surat;
b) Keterangan saksi;
c) Keterangan ahli;
d) Petunjuk;
e) Alat bukti lainya, seperti alat bukti yang
diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau serupa dengan itu.
Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan
terhadap alat bukti yang urutanya dilakukan sesuai kebutuhan. Dalam pemeriksaan
alat bukti yang diajukan DPR, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada
Presiden dan/atau Wakil Presiden dan/atau kuasa hukumnya untuk mengajukan
pertanyaan dan/atau menelitinya.[15]
Dalam persidangan tahap IV, Presiden
dan/atau Wakil Presiden berhak memberikan bantahan terhadap alat bukti yang
diajukan oleh DPR dan melakukan pembuktian yang sebaliknya dengan alat bukti
yang pada dasarnya sama dengan alat bukti yang diajukan oleh DPR.[16]
Serta Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada DPR dan/atau kuasa
hukumnya untuk mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan,dan meneliti alat
bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[17]
Setelah sidang pembuktian oleh Mahkamah
dinyatakan cukup, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada DPR mauapun
Presiden dan/atau wakil Presiden untuk menyampaikan kesimpulan akhir dalam
jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya sidang. Kesimpulan
disampaikan secara lisan dan/atau tertulis dalam persidangan pada tahap ke V.[18]
Dalam hal manakala Presiden dan/atau Wakil
Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi,
proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh
Mahkamah Konstitusi. Pernyataan penghentian pemeriksaan dan gugurnya permohonan
dituangkan dalam Ketetapan Mahkamah yang diucapakan dalam sidang Pleno terbuka
untuk umum.[19]
Setelah pemeriksaan persidangan oleh Ketua
Mahkamah Konstitso dipandang cukup, maka dilakukan Rapat Permusyawaratan Hakim
(RPH) untuk mengambil keputusan. RPH dilakukan secara tertutup dengan
sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim Konstitusi. Pengambilan
keputusan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat, apabila musyawarah tidak
mencapai mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila ada hakim
konstitusi yang ingin menyampaikan pendapat berbeda, maka pendapat tersebut
dimuat di dalam putusan.[20]
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
pendapat DPR wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari sejak
permohonan dicatat dalam BRPK, Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan
dalam RPH dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Amar putusan Mahkamah Konstitusi dapat
menyatakan :
a) Permohonan tidak dapat diterima apabila
tidak memenuhi syarat;
b) Membenarkan pendapat DPR apabilah Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945;
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c) Permohonan ditolak apabila pendapat DPR
tidak terbukti.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR
selaku pihak yang mengajukan permohonan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang
menolak pendapat DPR menyebabkan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden terhenti, tidak berlanjut ke MPR.[21]
Apabila Mahkamah Konstitusi memutus bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum,
perbuatan tercela, dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian kepada MPR untuk selanjutnya diproses secara politik.
[1] M.Laica Marzuki, Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut UUD 1945 (w-Jurnal
Konstitusi Vol7),(Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010
Hal 21
[2] Yuli Andreansyah Arba’i, Mekanisme Pembuktian Dalam Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi dan Pengaturan proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, Hal
46
[3] Pasa7 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden
[4] Ibid Hal 47
[5] Lihat pasal 7 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[6] Lihat pasal 8 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[7] Lihat pasal 9 ayat (1) dan (2) PMK No.21
Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden
[8] Op Cit, Yuli Andreansyah Arba’i Hal 48
[9] Lihat pasal 10 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[10] Op Cit Yuli Andreansyah Arba’i Hal 49
[11] Ibid, Yuli Andreansyah Arba’i Hal 49
[12] Lhat pasal 12 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[13] Lihat pasal 13 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[14] Op Cit Yuli Andreansyah Arba’i Hal 49
[15] Lihat pasal 14 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[16] Op Cit Yuli Andreansyah Arba’i Hal 50
[17] Lihat Pasal 15 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[18] Lihat pasal 16 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[19] Lihat pasal 17 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[20] Lihat pasall 19 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
[21] Lihat pasal 19 PMK No.21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar