Pada negara yang
berdasarkan atas hukum, maka semua aturan harus didasarkan pada huku yang
berlau. Demikian juga setiap jenis peraturan harus dirancang, dikonsep, dan
diundangkan secara benar serta berdasarkan prosedur atau tata cara yang sah.
Berkaitan dengan
norma hukum dan tata urutan atau hirarkinya, Hans Kelsen mengemukakan mengenai
teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufenbautheorie)
yakni :
“norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam satu hirarki tata susunan dimana
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar
(groundnorm).:”[1]
Teori yang dikemukakan
oleh Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang merupakan
murid Hans Kelsen. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum
dalam suatu negara itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yang terdiri
dari :
Kelompok I : Staats fundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II : Staatsgrundsgezetz (aturan dasar / pokok negara)
Kelompok III : Formell Gezetz (undang-undang formal).
Kelompok IV : Verordnting & Autonome Satzung ( aturan
pelaksana & aturan otonom )[2]
Kemudian menurut
Wolfgang Friedman membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu
dalam arti organized public power dan rule of law dalam arti materil
yaitu the rule of just law. Pembedaan ini dimaksud untuk menegaskan
bahwa dalam konsep negara hukum itu, keadilan tidak sertamerta akan
terwujud secara substanstif, terutama karena pengertian orang mengenai
hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil
dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran piiran hukum materiil.[3] Dimana,
kata perundang-undangan mengandung 2 (dua) arti yakni :
1.
Proses pembentukan perundang-undangan
negara dan jenis yang tertinggi yaitu Undang-Undang (wet, gesetz , statute)
sampai yang terendah yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan
perundang-undangan (wetgevende macht, gesetzgebunde gewalt, legislatif power).
2.
Keseluruhan produk peraturan-peraturan
negara tersebut.[4]
Marida Farida Indrati
Soeprapto menyatakan bahwa istilah perundang-undangan (legislation,
wetgeving atauy gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda
yaitu :
1.
Perundang-undangan merupakan proses
pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara,baik di tingkat
pusat maupun daerah .
2.
Perundang-undangan adalah segala
peraturan negara , yangmerupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di
tingkat pusat maupun daerah[5]
Istilah
perundang-undangan mempunyai 2(dua) pengertian yang
berbeda
yakni :
1.
Teori perundang-undangan yang bersifat
kognitif berorientasi kepada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman, khususnya
pemahaman yang bersifat dasar di bidang perundangan
2.
Ilmu perundang-undangan yang bersifat normatif
berorientasi kepada melakukan perbuatan pengaturan,terdiri dari tiga macam
yakni proses perundang-undangan, metode perundang-undangan dan tehnik
perundang-undangan.[6]
A.Hamid
S. Attamimi berpendapat bahwa pengetahuan perundangundangan adalah ilmu
pengetahuan interdisipliner tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
yang membagi ilmu perundang-undangan menjadi dua bagian yakni :
1.
Teori perundang-undangan yang bersifat
kognitif berorientasi kepada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman, khususnya
pemahaman yang bersifat dasar di bidang perundangan.
2.
Ilmu perundang-undangan yang bersifat normatif
berorientasi kepada melakukan perbuatan pengaturan,terdiri dari tiga macam
yakni proses perundang-undangan, metode perundang-undangan dan tehnik
perundang-undangan.[7]
Sedangkan Bagir Manan
yang mengutip pendapat P.J.P Tak tentang wet in materiele zin melukiskan
pengertian perundang-undangan daam arti material yang esensinya sebagai berikut
:
1.
Peraturan Perundang-undangan yang
berbentuk tertulis.Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan
perundangundangan sebagai kaidah hukum lazim disebut sebagai hukum tertulis (geschrevenrecht,
written law).
2.
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai yang
berwenang membuat peraturan yang berlaku mengikat umum (aglemeen).
3.
Peraturan perundang-undangan yang
bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua
orang.Mengikat umumhanya menunjukkan bahwa peristiwa perundang-undangan yang
tidak berlaku terhadap peristiwa kongkret atau individu tertentu. [8]
[1]
Abdul
Rahman, Ilmu Hukum tata Negara, Teori Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan,iCitara
Aditya Bakti, Bandung 1995, Hlm 12
[2] Brata Kusuma
& Solihin, Otonomi Daerah Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Gramedia
utama, Jakarta 2002, Hlm.17
[4] Maria Farida Indrati.S, Ilmu perundang-undangan, Dasar dan
Pembentukannya,,Kanisius Yogyakarta, 1998. Hlm 32.
[7]
A.Hamid.S
Attamimi “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara – Suatu studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I – Pelita
IV ( Disertasi Dokter UI Jakarta, 1990), Hlm. 301.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar