LATAR
BELAKANG
Keprihatinan atas keseriusan masalah atas
ancaman yang timbul akibat tindak pidana korupsi terhadap stabilitas dan
keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga, dan nilai-nilai keadilan,
etika serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum,
sungguh sangat besar dirasakan dewasa ini. kerihatinan ini bertambah koruspi
yang melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan sumber daya penting
bagi sebuah negara dalam upaya memakmurkan rakyatnya.
Selain itu, meninkatnya tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap
kehidupan perekonomian perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang semakin luas
dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi kejahatan yang luar
biasa.
Dalam perkembanganya, upaya pemberantasan
korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menememui beberapa persoalan dalam
upayanya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Masih segar dalam ingatan
kita mengenai adanya dugaan kriminalisasi terhadap para pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam kasus Bambang Widjojayanto. Seiring dengan
perkembangan kasus tersebut munculah wacana mengenai pemberian hak imunitas
bagi para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Wacana tersebut menimbulkan pro dan
kontra dalam ranah diskusi dalam berbagai kesempatan. Sebagian kelompok
menginginkan pemberian hak imunitas kepada pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan maksud supaya dalam melakukan tugas sebagai pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak terganggu dan dapat fokus dalam menjalankan
tugasnya. Namun, sebagian pihak lain keberatan, dengan alasan hak imunitas
bertentangan dengan asas persamaan di
hadapan hukum atau lebih dikenal dengan equality
before the law. Maka timbulah pertanyaan, bagaimana hak imunitas dalam
tinjauan konstitusionalitasnya ? hal inilah yang perlu dikaji secara mendalam
untuk mendapat gambaran yang jelas mengenai hak imunitas ini.
KERANGKA TEORI
A.
Hak Imunitas
Hak imunitas atau hak kekebalan
secara garis besar adalah hak kekebalan atas yuridiksi hukum yang diberikan
kepada pihak-pihak tertentu. Kita mengenal ada beberapa hak imunitas, antara
lain :
1. Imunitas
diplomatik yaitu imunitas yang diberikan kepada perwakilan diplomatik suatu
negara ketika sedang menjalankan tugasnya di negara penerima.[1] Biasanya
hak ini diberikan kepada para perwakilan diplomatik seperti, Duta Besar,
Konsulat dan perwakilan diplomatik lainya.
2. Imunitas
kepala negara adalah imunitas yang diberikan kepada kepala negara atas tugas
dan fungsinya sebagai seorang kepala negara.[2] Imunitas
negara diberikan kepada kepala negara karena kepala negara merupakan
perpanjangan dari negara. Kepala negara merupakan simbol dari kedaulatan negara
tempat ia memerintah atau dengan kata lain, kepala negara dianggap sebagai
negara itu sendiri.[3]
3. Imunitas ratione personae adalah imunitas yang diberikan negara kepada seseorang
berdasarkan kedudukan atau jabatan yang diembannya dalam negara.[4]
Dari
beberapa hak imunitas diatas, wacana yang berkembang adalah pemberian hak
imunitas bagi pimpinan Komisi Pemberantasn Korupsi, dimana hak imunitas yang
dimaksud adalah hak imunitas
ratione personae.
B. KONSTITUSI
Istilah konstitusi secara umum adalah suatu pernyataan untuk
membentuk, menyusun suatu negara dan konstisi dalam pengertian hukum sering
dipersamakan dengan Undang-Undang Dasar. Konstitusi dikenal atau digunakan juga
beberapa istilah lain, seperti UUD dan hukum dasar. Dalam perkembangannya
istilah konstitusi mempunyai dua pengertian yaitu pengertian secara sempit dan
pengertian yang luas. Konstitusi dalam
arti sempit adalah konstitusi dalam pengertian Undang-Undang Dasar dan
konstitusi dalam arti luas adalah konstitusi yang menyebutkan seluruh aturan
hukum serta ketentuan-ketentuan hukum tentang sistem ketatanegaran suatu
Negara.[5]
Dengan adanya konstitusi
dimaksudkan hanya untuk mengatur dan membatasi wewenang penguasa, menjamin hak
asasi manusia, dan mengatur pemerintahan, maka dengan kebangkitan paham
kebangsaan dan demokrasi pada zaman modern, konstitusi juga menjadi alat untuk
mengkonsolidasikan kedudukan hukum dan politik dengan mengatur kehidupan
bersama untuk mencapai cita-cita. Oleh karena itu, konstitusi modern saat ini
tidak hanya memuat aturan-aturan hukum saja. Melainkan juga merumuskan
prinsip-prinsip hukum, hukum negara dan pedoman kebijakan hukum yang secara keseluruhan
mengikat penguasa dan rakyat.[6]
PEMBAHASAN
Sebagaimana telah
disebutkan diatas, hak imunitas adalah hak kekebalan atas yuridiksi hukum yang
diberikan kepada pihak-pihak tertentu. Wacana yang bergulir seiring dengan
adanya polemik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia
adalah pemberian hak imunitas kepada para pimpinan KPK. Hal ini menimbulkan
pertanyaaan, apakah pemberian hak imunitas ini dapat di benarkan dalam sistem
hukum nasional kita ? untuk menjawab hal tersebut dapat kita lihat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi Konstitusi kita.
Di
dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama dalam Bab I, Pasal 1 ayat (3) yang
berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Dalam konteks ini, maka
Indonesia menjunjung kedaulatan hukum. Artinya, hukum mejadi pedoman dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. selain itu, dalam pasal 28D ayat (1) yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama diahadapan hukum.” Dalam pasal
tersebut menerangkan bahwa, adanya kedudukan rakyat Indonesia di hadapan hukum,
tidak terbatas pada lapisan atau golongan tertentu saja.
Bahkan,
seorang Presiden Republik Indonesia juga tidak memiliki kekebalan hukum, hal
ini tercerim dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa dengan alasan hukum Presiden
dapat di Impeachment atau dimkasdulkan. Hal ini mengacu pada pasal 7A yang
berbunyi “ Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatanya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat, baik
apabila terbulti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela
maupun apabila tidak terbukti lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.”
KESIMPULAN
Bahwa
hak imunitas dalam sistem hukum Indonesia tidaklah dianut, hal ini tercermin
dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita menganut asas equality before the law atau adanya persamaan kedudukan setiap warga negara
di hadapan hukum. Hal ini didasarkan
pada pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama diahadapan hukum.”
SARAN
Dalam
upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya dalam
upaya pemberantasan korupsi, hak imunitas sebaiknya tidak diberikan kepada
aparat penegak hukum itu sendiri, karena dalam Konstitusi kita mengedepankan
asas persamaan di depan hukum. Selain itu, pemberian hak imunitas juga membuka
peluang untuk oknum dapat melakukan tindak kejahatan bahkan korupsi dan
berlindung sebagai aparat penegak hukum.
[1] Article 31, The
Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961. “The person of a diplomatic agent
shall be inviolable; that he shall not be liable to any form of arrest or
detention; and that the receiving State shall take alpropriate steps to prevent
any attack on his person, freedom or dignity.”
[2] Sir Arthur
Whats, The Legal Position in International Law of Head of Sate, Head of
Giverment and Foreign Ministers, Receucil des Cours de I’Academie de droit
international de la Haye, Vol 247. Hlm. 102-103.
[3] Dapo Akande and
Sangeeta Shah, 2011, Immunity of State Officials, International Crimes, and
Foreign Domestic Courts, The European Journal of
International Law Vol. 21 no. 4 EJIL 2011, hlm. 824.
[4] Dapo Akande and Sangeeta Shah,
ibid. hlm. 818
[5] Hardjono,
Legitimasi Perubahan Konstitusi kajian terhadap perubahan UUD 1945, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 11.
[6] Hardjono,Ibid,
hlm. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar