Keprihatinan
atas keseriusan masalah atas ancaman yang timbul akibat tindak pidana korupsi
terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga, dan nilai-nilai
keadilan, etika serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan
hukum, sungguh sangat besar dirasakan dewasa ini. kerihatinan ini bertambah
koruspi yang melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan sumber daya
penting bagi sebuah negara dalam upaya memakmurkan rakyatnya.[1]
Selain itu,
meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian perekonomian nasional tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
semakin luas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua, maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi
kejahatan yang luar biasa.[2]
Berbagai upaya telah dilakukan dalam
memberantas Korupsi tersebut, dengan adanya beberapa institusi penegak hukum
dewasa ini, sebut saja adanya Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi,
juga di bantu beberapa institusi atau lembaga seperti Pusat Pelaporan dan
Analisis Keuangan ( PPATK ) Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) dan lain
sebagainya, serta adanya peran serta dari masyarakat. namun demikian, bukan
berarti dalam pemberantasan korupsi berjalan dengan baik tanpa halangan dan
rintangan.
Dalam perkembangannya, munculah
beberapa persoalan atau masalah dalam pemberantasan Korupsi tersebut, yang
pertama adalah adanya gesekan antara aparat penegak hukum dalam hal siapa yang
berwenang dalam hal menangani sebuah kasus korupsi. Hal ini bisa tercermin
dalam beberapa contoh kasus seperti
dalam kasus korupsi terkait simulator SIM yang tersangkanya adalah Djoko Susilo
yang merupakan anggota Kepolisian. Kedua, kurangnya Indepedensi institusi
penegak hukum yang dipengaruhi berbagai faktor dan kepentingan pihak tertentu. Hal
ini dapat kita lihat, pada Kepolisian dan Kejaksaan karena secara langsung
kedua institusi tersebut berada di bawah pemerintah, serta di KPK yang dalam
pemilihan pemimpin KPK juga melalui tahap di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dalam hal Fit and Proper Test, maka terkesan ada faktor politis disana. Ketiga,
belum adanya integralisasi dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia.
Maka, dari pembahasan diatas, dapat
diambil kesimpulan bahwa belum adanya integralisasi dalam pemberantasan korupsi
antar institusi atau lembaga seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, serta
kurang adanya Indpendesi dalam institusi atau lembaga yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga perlu di kaji lebih mendalam bagaimana upaya mananggulangi
masalah tersebut.
[1] http://goresanpenahukum.blogspot.com/2014/12/tipologi-kejahatan-korupsi-dalam.html
( dikases pada tanggal 27/01/2015 )
[2] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar