Kalau kita mempelajari hukum, kita berhadapan dengan
anggapan-anggapan, yang sedikit atau banyak mengikat perbuatan seseorang dalam
masyarakat atau suatu kelompok dalam masyarakat. Anggapan-anggapan ini memberi
petunjuk bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat. Anggapan
ini lazim disebut norma atau kaidah. Jadi norma adalah anggapan bagaimana
seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat.
Supaya norma dipatuhi maka masyarakat mengadakan sanksi atau
penguat. Sanksi bisa bersifat negatif
bagi mereka yang menyimpang dari norma, akan tetapi yang bersifat
positif bagi mereka yang menaatinya. Sanksi yang bersifat negatif misalnya
pidana, sedang sanksi yang positif misalnya hadiah.
Sebagian dari norma adalah norma hukum. Suatu norma
disebut norma hukum apabila masyarakat dengan alat perlengkapannya dapat
memaksakan berlakunya. Norma hukum ini akan menjadi aturan hukum apabila
berbentuk rumusan tertentu.
Perumusan aturan hukum yang tertulis kita sebut
peraturan.[1]
Walaupun definisi hukum dari para sarjana masih banyak diperdebatkan, tetapi
pada intinya semua sarjana tidak jauh berbeda dalam menafsirkan hukum. Menurut Utrecht,
hukum adalah himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan)
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk
hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah. Sedangkan
menurut C.S.T. Kansil, hukum itu
mengadakan ketata-tertiban dalam pergaulan manusia, sebagai keamanan dan
ketertiban terpelihara. Dengan mengacu pada kedua definisi diatas dapat
dikerucutkan apa tujuan adanya hukum.
Hukum
pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan
keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.[2]
Konsep ini boleh dikatakan tingkatan hukum yang primitif.
Hukum
bertugas memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan umum, menurut
pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam
pengertian ini dinamakan ketertiban hukum, sedangkan kebutuhan masyarakat tidak
diperhatikan atau dikorbankan demi kepentingan ketertiban hukum. Sedangkan
menurut Van Apeldorn tujuan hukum itu mengatur pergaulan hidup secara damai.[3]
Selanjutnya dikatakan tujuan hukum menurut Utrecht adalah bahwa hukum bertugas
menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia menurutnya hukum
menjamin kepastian bagi setiap pihak.[4]
Hukum memberikan jaminannya itu kepada semua orang,
sesuai dengan asas hukum yaitu equality
before the law, yang berarti semua
tidak memandang jenis kelamin, stratifikasi sosial, atau bahkan umur
sekalipun.
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).[5]
Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Indonesia
sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan
warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana.
Hukum pidana menurut Moeljanto adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana
yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal
apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
[6]
Pengertian
nomor satu dan dua adalah hukum pidana materiil, sedangkan pengertian nomor
tiga adalah hukum hukum acara pidana.
Sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum
publik tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi
kepentingan–kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari
perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang
dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai
kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman,
ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.[7]
Berdasarkan tujuan pidana diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pidana adalah
untuk mengobati penyakit, yaitu memberikan efek jera.
Berdasarkan
Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah:
“Untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan”.
Berdasarkan
konsideren KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi:
”Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disingkat dengan HAM) serta yang menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”[8]
Hukum
acara pidana yang disebut juga hukum pidana formal mengatur cara pemerintah
menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil.[9] KUHAP
tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, yang ada hanyalah
berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum acara pidana,
misalnya pengertian penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, dan
lain-lain. Untuk mengetahui pengertian tentang acara pidana, maka didasarkan
pada pendapat (doktrin) dari para sarjana.
Menurut
Moeljatno seperti yang dikutip oleh Sutomo mengatakan bahwa:
“Hukum acara pidana
adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang berisikan
dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa
ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan,
bagaimana cara dan prosedur dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang
telah melakukan delik tersebut.”[10]
Menurut
Wirjono Projodikoro seperti yang dikutip oleh sutomo juga mengatakan bahwa:
“Hukum acara pidana
erat hubungannya dengan hukum pidana. Hukum acara pidana merupakan suatu
rangkaian peraturan yang memuat cara, bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa
yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai
tujuan negara yang mengadakan hukum pidana.”[11]
Simons
mendefinisikan hukum acara pidana yaitu:
“Mengatur
bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya
menghukum dan menjatuhkan hukuman (memidana).[12]
Berdasarkan
definisi-definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, hukum acara
pidana itu adalah hukum yang digunakan untuk menjalankan hukum pidana. Hukum
acara pidana berkedudukan sebagai hukum formil atau pelaksananya sedangkan
hukum pidana adalah sebagai hukum materiilnya. Dapat disimpulkan apabila hukum
material tidak ditunjang oleh hukum formal (hukum acara) jadilah hukum material
itu mati.[13]
Tegasnya pengertian Hukum Acara Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana adalah
Hukum yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum pidana Materiil dalam proses
penegakan hukum pidana itu sendiri.[14]
[1] Sudarto. 1991. Hukum Pidana Jilid I. Fakultas Hukum
Universitas Negeri Jenderal Soedirman. Purwokerto. hlm. 3.
[2] Soerjono
Soekanto .2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Penerbit PT RajaGrafindo
Persada. Cetakan Pertama. Jakarta. hlm. 179.
[3] Iswanto. 2008. Viktimologi. Fakultas Hukum
Universitas Negeri Jenderal Soedirman, Purwokerto. hlm. 49.
[4] Ibid. hlm. 52.
[5] C.S.T Kansil.
1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia. Penerbit Balai Pustaka. Cetakan Kedelapan. Jakarta. hlm.
346.
[7] M. Abdul Kholiq. 2000. Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum UII. Yogyakarta. hlm. 15.
[8] Yahya Harahap.
2008. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Penyidikan dan Penuntutan.
Penerbit Sinar Grafika. Edisi Kedua, Cetakan Kesepuluh. Jakarta. hlm. 36.
[9] R. Abdoel
Djamal. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. Penerbit PT
RajaGrafindo Persada. Jakarta. hlm. 199
[10] Sutomo. 2008. Handout Hukum Acara Pidana. Surabaya. hlm.1
[11] Ibid. hlm. 2
[12] Ibid, hlm. 3
[13] Bismar Siregar.
1983. Hukum Acara Pidana. Cetakan Pertama. Penerbit Bina Cipta. Jakarta.
hlm. 46
[14] M. Sofyan
Lubis. 2003. Pelanggaran Miranda Rule Dalam Praktik Peradilan. Cetakan
Pertama. Penerbit Liberty Yogyakarta. Yogyakarta. hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar