BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dewasa
ini, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah diberlakukan atau
di terapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam
menangani kasus-kasus pornografi. Namun demikian penerpan Undang-undang
Pornografi ini dirasa jauh dari pantauan publik, yang tentunya membawa dampak
atas penerapan Undang-undang ini. karena dengan adanya pantauan dari publik
ini, melikiki arti penting apakah Undang-undang Pornografi iniefektif atau
tidak dalam penerapan atau implementasinya.
Mengengingat
bahwa Undang-undang Pornografi ini disahkan dalam suasana yang kontroversial,
maka dalam hal ini, undang-undang ini sangat berpotensi untuk tidak efektif
dalam tataran penerapanya di masyarakat, khususnya di daerah-daerah tertentu
yang selama ini menolak keberadaan Undang-undang Pornografi ini. sehingga
Undang-undang Pornografi ini hanya sebgai norma yang tidak dapatdi tegakan di
dalam masyarakat itu sendiri.
Mengingat
akan berbagai uraian diatas, maka penting kiranya untuk ada kajian yang dapat
mengevaluasi atau adanya analisis terhadap Undang-undang Pornografi ini,
khsusnya terhadap efektifitas penerpan Undang-undang Pornografi ini.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaiamana analisis konsiderans
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ?
2.
Apa dasar hukum Undang-undang No.
44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ?
3.
Bagaimana Pokok Pikiran
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ?
4.
Bagaimana analisis isi
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dalam tinjauan Asas Hukum Perundang-undangan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsiderans
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Konsiderans diawali dengan
kata Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alas an pembentukan Peraturan Perundang–undangan Pokok pikiran
pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota memuatunsurfilosofis, sosiologis, dan yuridis yang
menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan
secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.[1]:
1. Landasan
filosofis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
konsideran Undang-Undang PORNOGRAFI terdapat dalam poin menimbang a, yaitu:
“bahwa negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;”
2. Landasan
sosiologis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan
sosiologis sesungguhny amenyangku tfakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Dalam konsideran UU PORNOGRAFI terdapat dalam
poin menimbang b yaitu:
“Bahwa pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah
masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat Indonesia”
3. Landasan yuridis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hokum atau mengisi kekosongan hokum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hokum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum
yang berkaitan dengan subtansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
peraturan perundang-undangan yang baru.
Beberapa persoalan hokum itu antara lain
peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tumpang tindih, peraturan
sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang belum ada sama sekali.
Dalam konsideran UU Porngrafi persoalan hukum
yang muncul yaitu peraturan sudah ada tetapitidak memadai,
Dapat
kita cermatidalam poin menimbang c, yaitu:
“bahwa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum
dapat memenuhi kebutuhan hokum serta perkembangan masyarakat”.
B. Dasar Hukum Undang-Undang No. 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi
Dalam UU
No. 44 Tahun 2008 Tentang pornografi, Dasar hukum diawali dengan kata
“mengingat”. Dasar hukum memuat hal berikut :
1. Dasar
kewenangan pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
2.
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 20
UUD 1945 setelah amandemen menunjukkan kewenangan DPR sebagai pembentuk
undang-undang. Sedangkan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan dasar hukum yang menunjukkan bahwa pembentukan
Undang-undang itu berasal usulan dari DPR. Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28J
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai HAM,
jaminan terhadap perlindungan HAM tersebut melekat pada setiap warga negara
Indonesia, termasuk jaminan bagi setiap orang untuk memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar hukum
yang mengatur mengenai nilai agama dan nilai moral. Hal ini dicantumkan sebagai
dasar mengingat maslah pornografi adalah masalah yang kompleks, melibatkan
berbagai aspek.
C.
Pokok
Pikiran Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai morl, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa,
bermain dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta melindungi harkat dan
martabat setiap warga negara.
Globalisasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi
dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang
memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia
sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Berkembang luasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan
meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Pengaturan
pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti
Kitab-Kitab Undang Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memadai dan belum
memenuhi kebutuhan hukum serta pertentangan masyarakat sehingga perlu dibuat
undang-undang yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan
pornografi Undang-Undang ini meliputi
(1) pelarangan dan pembatasan pembuatan; penyebarluasan, dan p enguasaan pormografi; (2) perlindungan anak
dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
pengunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dan pencegahan.
Undang-Undang
ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan
pengunaan pornografi, yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan, yakni berat, sedang,, dan ringan, serta memberikan pemberatan
terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga
diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan
melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hekuman tambahan.
Untuk
memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal
ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial,
kesehatan fisik, dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang pornografi diatur secara komprehensif
dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan
kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta meghormati harkat
dan martabat setiap warga negara.
D.
Analisis
Batang Tubuh Undang-undang No. 44 Tahun
2008 Tentang Pornografi
Dalam
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi memang masih menimbulkan
banyak pro dan kontra, khususnya dalam tataran implementasi Undang-undang ini
di masyarakat. hal ini tidak terlepas dari berbagai penolakan terhadap
Undang-undang ini ketika sebelum di sahkannya dalam bentuk undang-undang.
Berikut beberapa pasal yang menjadi pro dan kontra di dalam Undang-undang No.
44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
1.
Pasal-Pasal
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
a.
Bab
I Ketentuan Umum
Pasal 1
angka 1 UU Pornografi merupakan bagian dari Bab I tentang Ketentuan Umum dapat
berisi:
1. batasan
pengertian atau definisi,
2. singkatan
atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan
3. hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal)
berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
Pada
Pasal 1, sudah benar karena tertulis kalimat baku “Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan:”.
Pasal 1
angka 1 Undang-Undang a quo yang dirumuskan sebagai berikut: “Pornografi adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
Dalam
Pedoman Nomor 81 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa ”Karena batasan pengertian atau
definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata
atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim
tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”.
Dari
definisi yang terdapat didalam Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat
ketidakjelasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan frasa “yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat”. Walaupun Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pihak Terkait
yang mendukung berlakunya UU Pornografi menyatakan bahwa Undang-Undang a quo
tidak diskriminatif atau mengatur hal-hal yang berhubungan dengan agama
tertentu, namun rumusan “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” tidak
mungkin dapat dipisahkan dengan norma adat dan norma agama yang berlaku dalam
masyarakat.Dengan demikian penerapan UU Pornografi tersebut akan berlaku secara
berbeda-beda dalam masyarakat. Ini dikhawatirkan jika diterapkan maka bisa
terjadi adanya upaya main hakim sendiri di antara warga masyarakat karena
adanya pemahaman yang berbeda terhadap pengertian “pornografi” di antara
mereka. Dengan pengertian “pornografi” dalam Pasal 1 angka 1 terbuka
kemungkinan setiap orang menafsirkan sesuai dengan “norma kesusilaan dalam
masyarakat” yang diyakininya walaupun mereka tidak berada di tempat yang tepat.
Pada
Pasal 3 huruf (c) yang berbunyi: “. memberikan pembinaan dan pendidikan
terhadap moral dan akhlak masyarakat.”
Perlu
diingat bahwa masalah moral, kesusilaan, serta nilai-nilai etika adalah
persoalan kultural yang sangat relatif-subyektif sifatnya. Ini bisa dilihat
dari adanya keberagaman nilai-nilai etis moral dan kesusilaan yang ada di
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sesungguhnya hal mengenai nilai-nilai
etis moral dan kesusilaan merupakan domain kultural, maka bukan menjadi hak
negara untuk berintervensi di dalamnya. Jika hal ini dilakukan oleh negara maka
bisa terjadi penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Bagaimanapun,
penanganan atas persoalan-persoalan kultural yang paling baik adalah melalui
saluran kultural itu sendiri (semisal melalui pendekatan agama, pendidikan, dan
semacamnya) dan bukan melalui campur tangan negara.
b.
Bab
II Larangan dan Pembatasan
Dalam Bab Larangan dan Pembatasan dapat dilihat
bahwa pada prinsipnya semua hal materi yang terbuka (telanjang sepenuhnya atau
sebagaian) adalah pornografi. Dan semua itu juga pada prinsipnya dilarang,
namun ada materi pornografi yang dibatasi penggunaannya didasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 10 UU Pornografi sangat multitafsir.
Pasal 13 menganggap semua hal yang terbuka adalah pornografi yang berarti cabul
dan eksploitasi seksual yang melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Pornografi yang diperbolehkan. Tidak semua yang terbuka itu cabul dan
eksploitasi seksual. Wajib berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan manakah yang dimaksud? Ketentuan ini semakin tidak
jelas saat terdapat pasal dibawahnya yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 13
diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut sampai saat
ini belum terealisasi. Pasal 14 disebutkan bahwa :
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk
tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan
ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari pasal tersebut maka dapat kita simpulkan
bahwa UU Pornografi telah memasukkan perlengkapan dan peralatan kesehatan serta
materi dan alat ajar pendidikan sebagai materi pornografi. Tentu saja ini
merupakan sesat pikir dalam UU Pornografi. Materi pornografi adalah materi yang
mengandung kemesuman dan eksploitasi seksual, maka dengan adanya ketentuan
pasal dapat disimpulkan bahwa perlengakapan dan peralatan kesehatan serta
materi dan alat ajar dalam pendidikan adalah mengandung muatan kemesuman dan
eksploitasi seksual. Nampaknya bahwa para perumus tersbut tidak tahu apa itu
materi yang mengandung kemesuman dan eksploitasi seksual sehingga memasukkan
hal-hal tersebut dalam pornografi yang diijinkan.
Bila kita memetakan pasal-pasal dalam UU
Pornografi tentang materi pornografi, muatan pornografi, pelarangan dan
pemidanaannya, serta pengaturan, maka:
1.
Materi
pornografi dibagi menjadi dua, yakni materi pornografi yang memuat unsur-unsur
eksplisit pada pasal 4 dan materi pornografi lainnya.
2.
Materi
pornografi yang unsur-unsurnya secara eksplisit dan spesifik disebutkan dan
dilarang pada pasal 4 juga dilarang pada pasal 5, 6, 7, dan 11. dengan
ketentuan pidana seperti pada pasal 29, 30, 31, 32, dan 33.
3.
Materi
pornografi selain pasal 4 diijinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau untuk kepentingan layanan kesehatan dan pendidikan melalui
peraturan pemerintah.
4.
Sedangkan
terdapat pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang pelarangan untuk materi
pornografi lainnya (selain pasal 4), yakni dalam pasal 8, 9, dan 10 serta
ketentuan pidananya pada pasal 34, 35, dan 36.
c.
Bab
III Perlindungan Anak
UU Nomor
44 tahun 2008 tentang Pornografi BAB III Perlindungan anak Pasal 15 dapat
dikontruksikan pada Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
yang menyatakan “ Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi” Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan
ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak.
Pasal 16
dalam UU Pornografi yang melindungi perempuan dan
anak korban pornografi. Pornografi adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak
dalam susbtansi dalam RUU APP dan RUU Pornografi justru mengkriminalkan
perempuan. dalam JKP3 (Jaringan Kerja PROLEGNAS Pro Perempuan) melakukan
advokasi legislasi dan intens, dan juga Melarang pornografi anak. Pornografi
anak harus tegas dilarang dalam RUU Pornografi ini dan memberikan pemberatan
bagi pelakunya.
Pelarangan ini meliputi pelarangan anak sebagai objek/model dan
juga sebagai konsumen. Dan Menutup akses anak dan orang yang belum dewasa
terhadap pornografi. Hal ini lebih ditujukan pada kematangan dalam berpikir dan
bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka dari itu anak dan orang yang belum
dewasa harus dipastikan tidak dapat mengakse smateri pornografi.
2.
Analisis Undang-Undang No. 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi
Tinjauan Asas Hukum Perundang-undangan
Sebetulnya dalam
pembahasan diatas sudah menggambarkan adanya kelebihan dan kekurangan di dalam
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, namun dalam Sub Bab ini
akan mengkaji lebih jauh bagimana kelebihan dan kekuarangan dengan di kaitkan
dengan berbagai asas dalam hukum perundang-undangan sebagaiama di bawah ini.
a. Asas Kejelasan Tujuan dan Asas
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
Pemenuhan
terhadap kedua asas tersebut dalam pembentukan Undang-undang Pornografi dapat
dihubungkan dengan konsideran huruf a dan dengan ketentuan di pasal 3
Undang-undang ini. Dimana terhadap alasan dan tujuan Undang-undang Pornografi
yang dirumuskan dalam konsiderans memiliki beberapa kelemahan antara lain :
· Untuk
melaksanakan pasal 3 huruf a dan c tidaklah semudah membalikan telapak tangan,
karena segala sesuatu mengenai etika, kepribadian, nilai-nilai ketuhanan Yang
maha Esa, serta harkat dan martabat kemanusiaan bukanlah sesuatu yang dapat
diatur dengan mudah diatur secara normatif dalam suatu peraturan perundang-undangan,
karena perlu adanya pembinaan, sedangkan dalam pasal ini hanya satu pasal yang
mengatur pasal tentang pembinaan yaitu pada pasal 16, dan bahkan di dalam pasal
16 ini juga perlu adanya pengaturan yang lebih lanjut dalam peraturan pemerintah,
sehingga harus menunggu adanya peraturan pemerintah terlebih dahulu. Selain
itu, dalam pasal 3 huruf b juga sulit bahkan tidak dapat dilaksanakan, karena “perlindungan terhadap seni dan budaya yang
termasuk cagar budaya diatur berdasarkan
undang-undang yang berlaku” maka yang menjadi pertanyaan adalah
undang-undang apa yang di maksud ?[2]
b. Asas dapat dilaksanakan dan Asas
Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Terhadap
“asas dapat dilaksanakan” dan “asas kedayagunaan dan kehasil gunaan” yang
menjadi pertimbangan ketika Rancangan Undang-undang tersebut diajukan, dan
apakah suatu materi yang berupa nilai moral masyarakat selayaknya masuk dan
dijadikan bahan rumusan suatu undang-undang, yang berpotensi mengundang
kontroversi dalam penafsiranya dan bagaimana pula hukum merespon fakta adanya
perbedaan nilai dan moral dalam masyarakat.
Menurut
Prof. Soetandyo menyatakan sebagai berikut “dalam
suatu kehidupan bernegara dan berbabangsa yang demokratik, dan berkonstitusi
setiap hukum dan undang-undang yang dibentuk ataupun dibuat pada asasnya
haruslah diwujudkan atas dasar konsensus....... ”[3]
selanjutnya juga beliau mengatakan “.....makin
besar kontroversi yang terjadi dalam pembentukan Undang-undang, makin besar
kemungkinan kontroversi dan konflik sosial atau setidak-tidaknya akan terjadi
apa yang disebut Civil disobedience.....” kontroversi dalam pembentukan
undang-undang, khususnya undang-undang yang berasal dari nilai-nilai moral atau
nilai-nilai sosial yang menurut faktanya dalam kehidupan negeri yang berkembang
ini amat berbeda-beda dalam keragaman yang cukup besar.[4]
c. Asas kejelasan rumusan
Pasal 1
angka 1 UU Pornografi merupakan bagian dari Bab I tentang Ketentuan Umum dapat
berisi:
1. batasan
pengertian atau definisi,
2. singkatan
atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan
3. hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal)
Pada
Pasal 1, sudah benar karena tertulis kalimat baku “Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan:”.
Pasal 1
angka 1 Undang-Undang a quo yang dirumuskan sebagai berikut: “Pornografi adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
Dalam
Pedoman Nomor 81 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa ”Karena batasan pengertian atau
definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata
atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim
tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”.
Dari
definisi yang terdapat didalam Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat
ketidakjelasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan frasa “yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat”. Walaupun Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pihak Terkait
yang mendukung berlakunya UU Pornografi menyatakan bahwa Undang-Undang a quo
tidak diskriminatif atau mengatur hal-hal yang berhubungan dengan agama
tertentu, namun rumusan “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” tidak
mungkin dapat dipisahkan dengan norma adat dan norma agama yang berlaku dalam
masyarakat.Dengan demikian penerapan UU Pornografi tersebut akan berlaku secara
berbeda-beda dalam masyarakat. Ini dikhawatirkan jika diterapkan maka bisa
terjadi adanya upaya main hakim sendiri di antara warga masyarakat karena
adanya pemahaman yang berbeda terhadap pengertian “pornografi” di antara mereka.
Dengan pengertian “pornografi” dalam Pasal 1 angka 1 terbuka kemungkinan setiap
orang menafsirkan sesuai dengan “norma kesusilaan dalam masyarakat” yang
diyakininya walaupun mereka tidak berada di tempat yang tepat.
BAB III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Konsiderans dalam
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dilandasi oleh alasan
sosiologis, filosofis dan yuridis yang pada pokoknya adalah berdasarkan nilai
nilai moral dan etika bangsa Indonesia sesuai Pancasila sebagai instrumen untuk
menjawab permasalahan akan kebutuhan masyarakat untuk mengakal pornografi.
2.
Dasar Hukum adanya
Undang-undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi adalah Pasal 20, 21, 28 B
ayat (2), 28J ayat (2) dan pasal 29 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945.
3.
Pokok Pikiran
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi tertuang dalam Penjelasan
Umum Undang-undang ini yang pada pokoknya untuk mejawab kebutuhan masyarakat
pada era globalisasi atas mudahnya penyebarluasan dan penyalahgunaan pornografi
dan untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi.
4.
Analisis terhadap isi
Undang -undang
No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi lebih banyak mengenai kelemahan dan kekurangan
dari undang-undang ini, dimana dalam undang-undang ini banyak melanggar
beberapa asas Hukum Perundang-undangan antara lain aas kejelasan tujuan, asas
kesesuaian antara jenis dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan serta asas kejelasan rumusan.
[1]Lampiran II Undang–Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang–Undangan
[2] Risalah Putusan MK dalam
disenting Opinion Hakim Anggota Maria Farida dalam Uji Materil Undang-undang
No. 44 tahun 2008 Tentang Pornografi.
[3] Risalah Putusan MK dalam
Pendapat Ahli Prof. Setandyo Wignjosebroto dalam Uji Materil Undang-undang No.
44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar