KEWENANGAN PENGUJIAN TAP MPR DALAM
PRESPEKTIF HUKUM PERUNDANG UNDANGAN
(Tinjauan terhadap Undang-Undang No. 12 Tahun 2011)
Oleh
: Dwiky Agil Ramadhan[1]
Dewasa
ini, perkembangan hukum perundang-undangan di Indonesia berkembang dengan
dinamis, terutama dalam bentuk dan hirarki peraturan perundang-undangan.
Perkembangan yang sangat terlihat adalah bagaimana kedudukan TAP MPR yang dalam
perkembangan hukum di Indonesia hilir masuk dalam hirarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 pada
pasal 7 ayat (1) TAP MPR masuk lagi
dalam hirarki perturan perundang-undangan. Namun, yang menjadi permasalah setelah
masuknya TAP MPR dalam sistem peraturan perundang-undangan adalah bagaimana
status pengujian TAP MPR yang ada, khususnya bilamana TAP MPR itu bertentangan
dengan Konstitusi. Lembaga mana yang berhak atau berwenang menguji TAP MPR ?
maka,berangkat dari permasalahan tersebut, dalam tulisan ini berusaha menjawab
siapa lembaga yang berwenang dalam menguji TAP MPR.
II. PEMBAHASAN
A. Hukum Perundang-undangan
Pada negara yang berdasarkan atas hukum, maka semua aturan harus didasarkan
pada huku yang berlau. Demikian juga setiap jenis peraturan harus dirancang,
dikonsep, dan diundangkan secara benar serta berdasarkan prosedur atau tata
cara yang sah.
Berkaitan dengan norma hukum dan tata urutan atau hirarkinya, Hans Kelsen
mengemukakan mengenai teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufenbautheorie) yakni :
“norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam satu hirarki tata susunan dimana
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma
dasar (groundnorm).:”[2]
Teori
yang dikemukakan oleh Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang
merupakan murid Hans Kelsen. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma
hukum dalam suatu negara itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yang terdiri
dari :
Kelompok
I : Staats fundamentalnorm (norma
fundamental negara)
Kelompok
II : Staatsgrundsgezetz (aturan
dasar / pokok negara)
Kelompok
III : Formell Gezetz (undang-undang
formal).
Kelompok
IV :
Verordnting & Autonome Satzung ( aturan pelaksana & aturan
otonom )[3]
Kemudian
menurut Wolfgang Friedman membedakan antara rule of law dalam arti
formil yaitu dalam arti organized public power dan rule of law dalam
arti materil yaitu the rule of just law. Pembedaan ini dimaksud untuk
menegaskan bahwa dalam konsep negara hukum itu, keadilan tidak sertamerta
akan terwujud secara substanstif, terutama karena pengertian orang mengenai
hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil
dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran piiran hukum materiil.[4]
Dimana, kata perundang-undangan mengandung 2 (dua) arti yakni :
1. Proses
pembentukan perundang-undangan negara dan jenis yang tertinggi yaitu
Undang-Undang (wet, gesetz , statute) sampai yang terendah yang
dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan (wetgevende
macht, gesetzgebunde gewalt, legislatif power).
2. Keseluruhan
produk peraturan-peraturan negara tersebut.[5]
Marida
Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa istilah perundang-undangan (legislation,
wetgeving atauy gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda
yaitu :
1. Perundang-undangan
merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan
negara,baik di tingkat pusat maupun daerah .
2. Perundang-undangan
adalah segala peraturan negara , yangmerupakan hasil pembentukan
peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah[6]
Istilah perundang-undangan mempunyai
2(dua) pengertian yang
berbeda
yakni :
1. Teori
perundang-undangan yang bersifat kognitif berorientasi kepada menjelaskan dan
menjernihkan pemahaman, khususnya pemahaman yang bersifat dasar di bidang
perundangan
2. Ilmu perundang-undangan yang bersifat normatif
berorientasi kepada melakukan perbuatan pengaturan,terdiri dari tiga macam
yakni proses perundang-undangan, metode perundang-undangan dan tehnik
perundang-undangan.[7]
A.Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa
pengetahuan perundangundangan adalah ilmu pengetahuan interdisipliner tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan yang membagi ilmu perundang-undangan
menjadi dua bagian yakni :
1. Teori
perundang-undangan yang bersifat kognitif berorientasi kepada menjelaskan dan
menjernihkan pemahaman, khususnya pemahaman yang bersifat dasar di bidang
perundangan.
2. Ilmu perundang-undangan yang bersifat normatif
berorientasi kepada melakukan perbuatan pengaturan,terdiri dari tiga macam
yakni proses perundang-undangan, metode perundang-undangan dan tehnik
perundang-undangan.[8]
Sedangkan
Bagir Manan yang mengutip pendapat P.J.P Tak tentang wet in materiele zin melukiskan
pengertian perundang-undangan daam arti material yang esensinya sebagai berikut
:
1. Peraturan
Perundang-undangan yang berbentuk tertulis.Karena merupakan keputusan tertulis,
maka peraturan perundangundangan sebagai kaidah hukum lazim disebut sebagai
hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
2. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai yang
berwenang membuat peraturan yang berlaku mengikat umum (aglemeen).
3. Peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu
mengikat semua orang.Mengikat umumhanya menunjukkan bahwa peristiwa
perundang-undangan yang tidak berlaku terhadap peristiwa kongkret atau individu
tertentu.
B. Judicial Riview
a)
Semangat
Pembentukan MK
Gagasan tentang pembentukan MK sangat berkaitan erat
dengan ide untuk mengembangkan fungsi
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang dikaitkan dengan kewenangan MA
dalam sejarah awal pembentukan negara kita. Ide tersebut merupakan gagasan yang
telah diusulkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang-sidang Badan Pekerja Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Dia berpendapat bahwa
MA juga diberikan kewenangan untuk membandingkan undang-undang. Istilah “membandingkan
undang-undang” tersebut tidak lain sama dengan ide pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945.[9]
Namun, ide Muhammad Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo
dengan alasan bahwa konsepsi dalam UUD 1945 adalah menganut pembagian kekuasaan
(distribution of power) bukan
pemisahan kekuasaan (separation of power).
Konsepsi awal trias politica adalah pemisahan kekuasaan (separation of power) sebagaimana yang dikembangkan oleh John Lokce
dan Montesquieu, bahwa setiap cabang kekuasaan harus terpisah dengan cabang
keuasaan lainnya. Atas dasar inilah maka pengujian undang-undang tersebut tidak
bisa dilakukan oleh MA karena juga terkait dengan supremasi MPR , dimana MPR
merupakan lembaga tertinggi negara yang mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikan persoalan ketatanegaran. Selain itu, pengujian undang-undang oleh MA dianggap
“tabu” karena hakim tidak boleh menilai dan menguji undang-undang produk
legislatif. Tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menilai dan menguji
undang-undang.[10]
Pendapat Soepomo tersebut sebenarnya di pengaruhi oleh
doktrin dalam sistem hukum Belanda bahwa undang-undang tidak dapat diganggu
gugat. Sehingga pendapat Muhammad Yamin tersebut ditolak. Namun, Muhammad Yamin
belum menyebutkan perlunya dibentuk lembaga baru yang punya kewenangan untuk
melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945.Pendapat Yamin ini sama dengan pandangan George Jellineck
pada akhir abad ke-19 yang mengusulkan agar MA Austria diberi wewenang menguji
undang-undang seperti konsepsi yang diterapkan oleh Amerika Serikat sejak John
Marshall menjadi Ketua MA. Namun George Jellineck juga belum memikirkan
mengenai lembaga yang berdiri sendiri untuk melakukan kewenangan pengujian
undang-undang tersebut di luar MA.[11]
Meskipun demikian, baik Muhammad Yamin maupun Soepomo
sebenarnya telah tahu tentang perkembangan MK di beberapa Negara. Hal ini
terlihat di dalam perdebatan dalam rapat BPUPKI. Memang jika dilihat di dalam
rumusan UUD 1945, pembentukan MK di dalam sistem kekuasan Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan terkait dengan adanya konsepsi hukum
tentang pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan.
Ide tentang kewenangan menguji undang-undang oleh MA
kembali marak sekitar tahun 1980-an. Hal ini sebagaimana disuarakan oleh PERADI
(Persatuan Advokat Indonesia). Namun ide tersebut kembali tidak dapat diterima
karena memang struktur paradigma berfikir UUD 1945 saat itu tidak memungkinkan.[12]
Baru kemudian sejak terjadinya rentetan reformasi,
revolusi dan perubahan-perubahan besar di beberapa negara bekas komunis yang
berkaitan dengan krisis konstitusional yang terjadi tahun 1980-an dan tahun
1990-an serta gencarnya beberapa diskursus tentang perubahan I Afrika Selatan
dan bahkan akhir tahun 1998 hingga awal tahun 1990 di Korea Selatan, serta
tahun 1997 sampai 1998 ketika Thailan mendirikan Mahkamah Konstitusi terjadi
semacam efek bola salju atas ide pembentukan MK tersebut. Sehingga ketika
Indonesia menghadapi krisis konstitusonal lalu juga dimaknai sebagai suatu
keniscayaan untuk membentuk MK dengan melakukan Amandemen terhadap UUD 1945.[13]
Perubahan UUD 1945 kembali menjadi sorotan yang sangat
tajam dengan munculnya ide untuk membentuk komisi konstitusi yang diberi
wewenang untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Pro kontra sekitar
pembentukan komisi konstitusi tersebut banyak mendapat sorotan dari beberapa
pakar hukum. Di antaranya oleh Moh. Mahfud MD. yang cenderung menyetujui
pembentukan komisi konstistusi dengan kewenangan untuk melakukan perubahan
terhadap UUD 1945 dimana anggotanya terdiri dari para pakar, utamanya pakar
konstitusi dan pakar politik.[14]
Dari beberapa perdebatan panjang tersebut, akhirnya MPR berhasil menetapkan Amandemen yang pertama UUD
1945 pada tanggal 19 Oktober 1999, Amandemen kedua UUD 1945 pada tanggal 18
Agustus 2000, Amandemen ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001, dan
Amandemen keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002.
Meskipun kesepakatan pembentukan MK mulai ditetapkan
sejak Amandemen ketiga UUD 1945 pada tahuan 2003, namun tahapan pembentukan MK
tersebut sebenarnya sudah mulai terjadi sejak tahun 2000, apalagi ketika para aktivis LSM juga mulai membuat
gerakan-gerakan, merumuskan ide-ide
tentang Amandemen bahkan konstitusi baru, sehingga wacana tentang
pembentukan MK semakin mengerucut. Termasuk ketika para angora DPR di Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR
melakukan studi banding ke beberapa negara. Namun demikian, masih banyak
kalangan yang menolak terhadap pembentukan MK. Menurut Jimly Ash Shiddiqie,
kalangan yang menolak terhadap pembentukan MK karena mereka didasari oleh 2
(dua) basis pemikiran. Pertama, menolak MK sebagai lembaga dan cenderung untuk
menambahkan fungsi MK ke MA. Pandapat ini dipengaruhi oleh pendapat montesqieu
yang membagi kekuasaan negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Kedua, penolakan pada lembaga dan fungsinya. Pendapat ini
dipengaruhi oleh doktrin dalam sistem hukum Belanda bahwa UUD 1945 tidak dapat
diubah dan diganggu gugat. Penolakan terhadap Amandemen UUD 1945 secata tidak
langsung juga menolak terhadap wacana pembentukan MK.[15]
Berdasarkan paparan di atas, maka sangat jelas bahwa
semangat awal dari pembentukan MK adalah untuk melindungi hak-hak
konstitusional dari berlakukanya undang-undang yang bertentangan dengan UUD
1945. Pembentukan MK atas dasar pemikiran
bahwa UUD 1945 yang merupakan dasar
negara (stategroundgesetz) harus
dijaga dan dikawal secara konsisten. Keberadaan MK dalam struktur ketatangaraan
Indonesia adalah berfungsi sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution). Di
samping itu keberadaan MK juga dimaksudkan untuk menjamain check and balances yang menempatkan semua lembaga negara sejajar
dan seimbang.
b)
Kewenangan
MK dalam Pengujian TAP MPR
Munculnya pengaturan
dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 yang mengkategorikan bahwa Tap MPR
maerupakan bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
bersifat regeling (mengatur secara
umum) dan berada di bawah UUD 1945 adalah akibat masih berlakunya beberapa Tap
MPR berdasarkan Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Dalam Tap
MPR ini mengelompokkan 139 Tap MPRS dan Tap MPR yang sudah ada ke dalam enam
kelompok status baru, yaitu:
1. Yang
di cabut dan dinyatakan tidak berlaku selama 8 Tap;
2. Yang
dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu sebanyak 3 Tap;
3. Yang
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
sebanyak 8 Tap;
4. Yang
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang sebanyak 11
Tap;
5. Yang
dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru
oleh MPR hasil pemilu tahun 2004 sebanyak 5 Tap;
6. Yang
dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena
bersifat final (einmalig), telah di
cabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak 104 Tap.
Meskipun Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengkategorikan
Tap MPR termasuk bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,
namun tidak berarti MPR masih mempunyai wewenang untuk membentuk Tap MPR yang
baru pasca amanndemen UUD 1945, karena yang dimaksud dengan Tap MPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut hanya terhadap
beberapa Tap MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan Tap MPR Nomor
1/MPR/2003. Dengan demikian, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
ini hanya untuk mengakomudir terhadap beberapa Tap MPR yang masih dinyatakan
berlaku dan bersifat regeling. Hal
ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12
Tahun 2011, bahwa :
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang PeninjauanTerhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003
Meskipun MPR tidak akan
membentuk Tap MPR lagi yang mengatur secara umum (regeling), akan tetapi tidak akan menutup kemungkinan bahwa akan
terdapat permohonan pengujian Tap MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan
Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 oleh warga Negara yang mempunyai legal standing dimana
hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh berlakuknya Tap MPR yang masih berlaku
tersebut.
Untuk menyelesaikan
kasus ini, Penulis lebih menetikberatkan pada semangat dibentuknya MK sejak
tahun 2003, bahwa semangat dibentuknya MK adalah untuk melindungi hak-hak
konstitusional yang dilanggar oleh negara, sehingga keberadaan MK di Indonesia
tidak lain adalah sebagai
pengawal UUD 1945 (the quardian of the
constitution) dan penafsir UUD 1945 (the
interpreter of the constitution).
Terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional yang dinilai karena
berlakunya Tap MPR yang masih tetap dinyatakan berlaku akan banyak merugikan
masyarakat sebagai warga negara, sehingga apabila pengujian Tap MPR itu masih
menunggu sidang tahunan MPR, maka hal ini akan membutuhkan waktu dan proses
yang lama dan akan semakin menambah volume kerugian bagi masyarakat.
Lahirnya MK di Indonesia sejak tahun 2003 telah melahirkan beberapa
terobosan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengujian terhadap Tap
MPR ini tidak diatur secara jelas di dalam UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya, sehingga hal ini akan terjadi kekosongan hukum,
apakah pengujian Tap MPR ini merupakan wewenang MK atau diserahkan pada MPR
dengan konsekwensi masyarakat banyak dirugikan karena harus menunggu waktu dan
proses yang sangat lama.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 bahwa MK hanya
mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional, yaitu :
(1). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2). Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Konsep mengenai wewenang menguji untuk menjaga kesucian konstitusi oleh
lembaga yudisial ini dapat melihat beberapa putusan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Di
dalam memberikan putusan, MA dapat berdasarkan pada peraturan yang dibuat oleh
Kongres maupun pada doktrin. Sebagian besar kasus yang ditangani MA merupakan
hasil interpretasi hukum dalam menentukan apakah suatu peraturan atau pejabat
berjalan sesuai dengan konstitusi atau tidak. Wewenang MA ini tidak disebutkan
secara khusus dalam konstitusi AS, akan tetapi didasarkan pada doktrin yang
disimpulkan oleh MA berdasarkan naskah konstitusi dan telah dinyatakan secara
gamblang dalam kasus penting yaitu Marbury vs. Madison tahun 1803. Dalam
putusannya MA dengan hakim Marshall menyatakan bahwa “...tindakan legislatif yang
bertentangan dengan Konstitusi
bukanlah Hukum...”, dan lebih lanjut menambahkan bahwa ”adalah
wewenang dan tugas dan wewenang dari lembaga peradilan untuk menyatakan apakah hukum itu”. Atas dasar
inilah, maka MA mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian (yudicial review) terhadap undang-undang
yang dianggap bertentangan dengan konstitusi AS.[16]
Tradisi AS inilah yang kemudian menjadi tonggak bagi lahirnya ajaran
supremasi konstitusional dalam pengujian peraturan perundang-undangan. Menurut
Smith Baily (Inggris), bahwa yudicial
review didirikan atas dasar doktrin Ultra Vires (ultra vires doctrin) yang digunakan dalam sistem hukum di Inggris.
Berdasarkan doktrin tersebut kekuasan yudikatif diberikan hak dan kewenangan
untuk[17] :
a.
mengawasi
batas kewenangan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan (statutory authority) sesuai dengan batas
yurisdiksi atau kawasan kekuasaannya.
b.
kekuasaan
yudikatif diberikan hak, fungsi dan kewenangan untuk melakukan pengawasan
terhadap penguasa pusat maupun daerah dan local untuk tidak melakukan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
melampaui batas-batas yurisdiksinya.
c.
Apa-apa
yang tidak didelegasikan undang-undang kepada penguasa, atau membuat peraturan
perundang-undangan yang jauh lebih luas dari apa yang telah didelegasikan,
harus dinyatakan sebagai tindakan yang tidak berdasar hukum (unlawful), karena dianggap sebagai
tindakan yang illegal.
Secara analisis
ketatanegaraan bahwa MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi Negara seperti
sebelum amandemen UUD 1945. MPR sekarang sudah berkedudukan sejajar dengan
lembaga-lembaga Negara lainnya, sehingga terhadap produk hukumnya-pun dapat
dilakukan peninjauan atau pengujian oleh lembaga Negara lain, yakni oleh MK
demi untuk menjaga kesucian nilai-nilai dan semangat dari pada UUD 1945.
Jika kita melihat
fungsi MA dalam sistem peradilan di Amerika serikat bahwa MA pada dasarnya
mempunyai wewenang untuk menguji segala produk hukum lembaga Negara yang
melanggar atau bertentangan dengan konstitusi dan melihat kedudukan dari pada
MPR pasca amandemen UUD 1945, maka menurut penulis lembaga Negara yang berwenang
untuk menguji Tap MPR sebelum dirubah dalam rapat tahunan MPR adalah MK, karena
semangat pembentukan MK adalah sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of
the constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution).
C. Legislative Riview
Legislative review adalah
upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan
legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang
keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah undang-undang
tertentu.[18]
Dalam legislative review,
setiap orang dapat meminta agar lembaga legislasi melakukan revisi terhadap
produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya peraturan perundang-undangan
itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat dengannya.[19]
Dengan demikian, produk hukum yang lama tidak berlaku lagi apabila telah
dikeluarkannya produk hukum yang baru melalui revisi yang dilakukan oleh
lembaga legislatif.
Dikaitkan dengan
kewenangan pengujian Tap MPR maka MPR sebagai lembaga yang membuat TAP MPR juga
mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan melakukan perubahan terhadap
TAP MPR RI bila dirasa ketetapan MPR tersebut sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan yang ada di masyarakat atau bila bertentangan dengan Konstitusi / UUD
1945.
Dalam legislative
riview ini, juga MPR RI dalam praktik ketatanegaraan Republik Indonesia sudah
pernah melakukannya, yaitu berdasarkan
Pasal 1 Aturan Peralihan amandemen keempat UUD 1945 yang berbunyi : “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil
putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”.,
maka dalam sidang tahunan MPR tahun 2003, MPR mengeluarkan Tap MPR Nomor
1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS
dan Ketetapan MPR RI tahun 1966 sampai dengan tahun 2002. Dalam Tap ini
mengelompokkan 139 Tap MPRS dan Tap MPR yang sudah ada ke dalam enam kelompok
status baru, yaitu:
1. Yang
di cabut dan dinyatakan tidak berlaku selama 8 Tap;
2. Yang
dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu sebanyak 3 Tap;
3. Yang
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu
sebanyak 8 Tap;
4. Yang
dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang sebanyak 11 Tap;
5. Yang
dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru
oleh MPR hasil pemilu tahun 2004 sebanyak 5 Tap;
6. Yang
dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena
bersifat final (einmalig), telah di
cabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak 104 Tap.
Oleh karena itu, maka
secara konstitusional MPR juga dapat berwenang untuk melakukan pengujian
kembali, dengan alasan bahwa tindakan MPR sebelumnya dapat dijadikan sebuah
Konvensi/kebiasaan yang juga tidak terlepas sebagai bagian dari Konstitusi atau
lebih tepatnya konstitusi yang tidak tertulis.
III.
KESIMPULAN
Kewenangan
pengujian TAP MPR dapat dilakukan oleh MK melalui Judicial Riview dan melalui
MPR RI, lewat Lagislative Riview, tergantung bagaimana prosesnya, dimana bila melalui
Judicial Review adalah pengujian secara pasif artinya MK menunggu adanya pengaduan,
sedangkan melalui MPR itu sifatnya aktif karena MPR melakukan pengujian berdasarkan
hasil dari kajian yang komperhensif.
[1] Mahasiswa aktif Fakultas
Hukum Unsoed, Angkatan2012, Ketua Divisi Penelitian LKHS FH Unsoed dan Ketua
LSO Forum Studi Hukum Islam (Foshi) FH Unsoed
[2] Abdul Rahman, Ilmu
Hukum tata Negara, Teori Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan,iCitara Aditya
Bakti, Bandung 1995, Hlm 12
[3] Brata Kusuma
& Solihin, Otonomi Daerah Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Gramedia
utama, Jakarta 2002, Hlm.17
[5] Maria Farida Indrati.S, Ilmu perundang-undangan, Dasar dan
Pembentukannya,,Kanisius Yogyakarta, 1998. Hlm 32.
[8] A.Hamid.S
Attamimi “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara – Suatu studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I – Pelita
IV ( Disertasi Dokter UI Jakarta, 1990), Hlm. 301.
[9]Refly Harun, Zainal A.M. Husein, Bisariyah, Menjaga
Denyut Konstitusi : Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Konstitusi Press, 2004), hlm. 4
[14]Moh. Mahfud MD.,
Amandemen UUD 1945 dalam Perspektif
Demokrasi dan Civil Society, Civility : Untuk Demokrasi dan Civil Society,
II, November 2001, hlm. 26
[15]Refly
Harun, Zainal A.M. Husein, Bisariyah, op.
cit., hlm. 8 – 9
[16]Richard C.
Schroeder, Garis Besar Pemerinhan Amerika Serikat, (Kantor Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat, 2000), hlm.96 – 101
[17] M. Yahya
Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai
Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta :Citra Aditya Bhakti,
1997), hlm. 44 – 45
[18] Hukumonline.com, Praktik Legislative Review dan Judicial Review di
Indonesia, 2012. Diakses Pada tanggal 07 April
2015 dari situs: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-revie%20w-dan-judicial-review-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar