Demokrasi
di Indonesia memang banyak mengalami perkembangan yang sangat pesat setelah
adanya reformasi. Namun, demokrasi yang berlangsung setelah reformasi hingga
sampai sekarang bukanya berjalan mulus-mulus saja. Namun, perkembangan
demokrasi ini memiliki tantangan dan hambatan tersendiri dalam penegakanya. Di
mulai dari masalah yang mendasar atau hakikat dari demokrasi itu sendiri.
Hal
yang menjadi tantangan demokrasi yang mendasar adalah ada beberapa kalangan
yang mempertanyakan apakah demokrasi itu baik ? jawaban yang sangat meyakinkan
dari pertanyaan tersebut sebetulnya sudah terjawab pada zaman yunani kuno,
yaitu pada abad 5 sebelum masehi. Hal itu di jawab oleh Plato dan Aristoteles
dengan jawaban “TIDAK”.[1]
Menurut filusuf Yunani tersebut ternyata mengungkapkan bahwa demokrasi bukanlah
pilihan yang tepat untuk dijadikan sebuah sistem politik dalam sebuah negara,
bahkan demokrasi di katakan berbahaya.
Ada
beberapa alasan yang dikemukakan oleh filusuf Yunani tersebut, yang pertama
adalah demokrasi itu menyesatkan, karena menyerahkan kepada rakyat untuk
menentukan pilihan haluan negara, padahal pada umumnya rakyat itu tidak tahu
apa-apa alias awam. Penyerahan pilihan itu menyesatkan karena pilihan rakyat
dapat bersifat buta. Kedua Aristoteles mengingatkan bahwa di dalam demokrasi
itu banyak demagog, yakni agigator yang pandai menipu rakyat dengan
pidato-pidato dan janji-janji bohong.[2]
Berkaiatan
dengan kaum demagog tersebut, rasanya ungkapan Aristoteles sudah sangat relevan
dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini, terutama dalam
masa-masa menjelang pemilu. Para calon legislatif atau yang lebih umum disebut
caleg, banyak yang mengobral janji-janji dan visi misinya di dalam masyarakat.
namun, ketika sudah terpilih sebagian besar melupakan janjiya untuk mensejahterakan
rakyat. Anggota dewan yang terhormat tersebut layaknya paduan suara saja,
seperti yang di nyanyikan oleh Iwan Fals[3].
Dari
berbagai permasalah yang timbul tersebut, memang menjadi kendala tersendiri
dalam penegakan demokrasi. Namun, permasalahan mengenai kaum demagog yang di
ungkapkan oleh Aristoteles menjadi hal yang sangat penting untuk di kaji secara
mendalam. Hal ini tidak terlepas dari realitas di masyarakat saat ini. Realitas
bahwa kaum demagog pada saat ini menguasai sebagian besar politik di negeri
ini. Ini terlihat dari sedikit banyaknya kasus korupsi yang ada di Indonesia
yang menyeret para elit politik di tingkat pusat maupun di daerah. Di tingkat
pusat kita tidak lupa dengan kasus hambalang, dimana sebagian besar yang
menjadi tersangka sebagian besar adalah anggota partai politik yang sedang
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat/DPR. Di tingkat daerah muncul kasus
dinasti politik di provinsi Banten.
Sungguh
akibat yang timbul dari adanya dominasi kaum demagog ini menjadikan negara yang
kita cintai ini, dalam kondisi yang berbahaya. Tidak hanya mengancam penegakan
demokrasi, melainkan lebih dari itu. Kaum demagog yang merajalela mampu merusak
dan bahkan dapat mengancam eksistensi negara.
Melihat
dari potensi ancaman kaum demagog ini dalam penegakan demokrasi, yang khususnya
dalam pemilu. Penting kiranya untuk mencegah dan memberantas kaum demagog.
Dimana, bila kita melihat asal munculnya kaum demagog dalam demokrasi di
Indonesia memang tidak terlepas dari partai politik. Hal ini, bisa kita melihat
dari salah satu fungsi partai politik. Yaitu, fungsi recruitment politic. Seperti yang di ungkapkan oleh Miriam
Budiardjo, Partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang
berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik (political recruetment). Dengan demikian partai turut memperluas
partisipasi politik. Caranya ialah melalui kontak pribadi persuasi dan
lain-lain. Juga diausahakan untuk menarik golongan muda untuk di didik menjadi
kader yang dimasa mendatang akan mengganti pimpinan lama (selection of leadhership).[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar