BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada setiap sistem politik Negara-negara dunia, akan selalu dijumpai
adanya struktur politik. Struktur politik di dalam suatu negara adalah
pelembagaan hubungan organisasi antara komponen-komponen yang membentuk bangunan
politik. stuktur politik sebagai bagian dari struktur yang pada umumnya selalu
berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoratif, yaitu yang
dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan.
Permasalahan politik menurut Alfian, dapat dikaji melalui berbagai
pendekatan, yaitu didekati dari sudut kekuasaan, struktur politik, komunikasi
politik, konstitusi, pendidikan dan sosialisasi politik, pemikiran dan
kebudayaan politik. Sistem politik yang pada umumnya berlaku di setiap negara meliputi
dua struktur kehidupan politik, yakni, infrastrukur politik dan suprastruktur
politik[1].
Dalam hal ini infrastruktur politik
yaitu suasana kehidupan politik rakyat yang berhubungan dengan kehidupan
lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam kegiatannya dapat memengaruhi baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadapa kebijakan lembaga-lembaga kenegaraan
dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masing. Untuk menyalurkan
aspirasi dan kepentingan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Infrastruktur politik mempunyai 6 unsur diantaranya yaitu Partai Politik, Kelompok
Kepentingan, Kelompok Penekan, Media Komunikasi Politik, Organisasi Masyarakat,
Tokoh Politik.
Dalam
kainnya dengan partai politik di Indonesia mempunyai kedudukan yang vital dalam
ketatanegaraan Indonesia. Sebelumnya
menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 1
ayat (1) partai politik yaitu organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompokwarga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa fungsi partai politik dalam ketatanegaraan RI ?
2. Bagaimana pengaruh eksistensi partai politik dalam
parlemen Indonesia ?
3.Bagaimana pengaruh eksistensi partai politik dalam
kabinet pemerintahan Indonesia ?
1.3 Metode yang Digunakan dalam Mengangkat Isu Masalah
Metode yang digunakan dalam
pengangkatan makalah ini adalah pengumpulan teori-teori dan fakta-fakta
melalui pencarian buku-buku di perpustakaan dan juga berita-berita seputar partai politik dan ketatanegaraan RI di
internet.
Subjek
dalam pembahasan masalah ini partai politik, sedangkan objek yang kami angkat adalah
eksistensi parpol dalam ketatanegaraan RI
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fungsi Parpol dalam Ketatanegaraan
RI
Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan mengenai
fungsi partai politik dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, perlu di
awali dengan hal yang paling mendasar. Suatu yang menjadi tolak ukur kita dalam
menentukan pembahasan kita yaitu definisi dari partai politik. Dengan adanya
definisi dari partai politik, kita akan mampu membahas suatu hal dengan
sistematis dan mempunyai batasan-batasan yang jelas.
Adapun definisi parpol antara lain :
·
Carl J. Friderich : partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut kekuasaan dan mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
·
R.H. Soltau : partai politik
adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak
sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk
memilih, bertujuan menguasai pemerintahaanya dal melaksanakan kebijaksanaan
umum mereka[2]
·
Lalu menurut Undang-undang
parpol no. 2 tahun 2011 Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3]
Dari ke tiga definisi di atas terlihat mempunyai definisi
yang hampir serupa, namun dalam pembahasan dalam makalah ini akan lebih
mendasarkan pada definisi menurut UU NO. 2 Tahun 2011. Karena secara dalam
kehidupan bernegara yang digunakan adalah UU karena memiliki kekuatan yuridis
formal. Selain itu definisi menurut Carl J. Frederich dan R.H. Soltau masih
merupakan definisi yang lebih universal di bandingkan definisi menurut UU NO. 2
Tahun 2011 yang lebih menekankan partai politik dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Berangkat dari definisi partai politik, terutama dalam
definisi menurut UU No. 2 Tahun 2011 terlihat bahwa partai politik mempunya
fungsi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Dari fungsi-fungsi partai
politik ini secara normatif maka akan terlihat apa tugas pokok dari partai politik tersebut. Sehingga kita
mampu dalam menganalisis sampai sejauh mana peran atau eksistensi parati
politik dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Menurut UU No 2 Tahun 2008 pasal 11 ayat 1 dan 2 adalah
sebagai berikut :
(1) Partai Politik berfungsi sebagai
sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota
dan masyarakat luas agar menjadi warga negara
Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif
bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan
penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara
Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses
pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
(2) Fungsi Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara
konstitusional.[4]
Dari
fungsi partai politik di atas sangatlah jelas bahwa paratai politik mempunyai
fungsi dalam ketatanegraan Republik Indonesia terutama dalam aspek demokrasi.
Dimana dalam aspek demokrasi ini menekankan masyarakat suapaya sadar akan hak
dan kewajibanya sebagai warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Lalu
fungsi yang kedua adalah yaitu menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesehateraan masyarakat. disini terlihat
bhawa partai politik memiliki peran untuk menjaga kesetabilan iklim yang
kondusif, dimana masyarakat akan merasa nyaman dalam kehidupanya berbangsa dan
bernegara. Iklim yang kondusif ini yang akan melahirkan kesatuan dan persatuan
di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan kesatuan dan persatuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara maka akan mudah menciptakan tujuan bangsa,
yaitu mensejahterakan masyarakat.
Fungsi
yang ke tiga adalah penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Dari fungsi yang ke tiga
mempunyai ide pokok paratai politik adalah sarana aspirasi politik bagi
masyarakat untuk ikut merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Misalkan saja
dalam pembentukan Undang-Undang. Undang-Undang yang baik adalah mencakup
nilai-nilai filosofis dan sosiologis, Sehingga akan mudah dalam penerapanya
dalam masyarakat karena Undang-Undang tersebut sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Fungsi yang ke empat ini sebetulnya
tidak jauh berbeda dengan fungsi partai politik yang ke tiga yaitu partisipasi
politik warga negara Indonesia. Paratai politik yang menjadi sarana untuk
memperuangkan kepentingan politik warga negara Indonesia sendiri. Perwujudan
partisipasi iniliah yang mempunyai cara yang berbeda-beda, yang anatara lain
adalah bagi warga negara yang ingin menjadi pelayan masyarakat atau ingin
menjadi pejabat, maka dengan sarana partai politik hal tersebut akan bisa
terwujud. Karena fungsi yang ke lima adalah rekrutmen politik dalam proses
pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender.
Lalu fungsi-fungsi itu dilakukan
dengan cara-cara yang konstiusional. Dalam pengertian ini adalah cara-cara yang
digunakan partai politik haruslah mempunyai pengaturan sehingga tidak
menyimpang dengan UUD 1945 amandemen IV.
2.2 Pengaruh Eksistensi Parpol dalam Parlemen Indonesia
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa usaha-usaha
untuk menggunakan sistem pemilihan umum (pemilu) mayoritarian (atau secara
salah kaprah dikenal dengan sistem distrik) untuk memilih anggota parlemen atau
DPR, selalu tidak membuahkan hasil. Selanjutnya, kepastian hukum untuk terus
menggunkan sistem pemilu proporsional (proportional representative – PR) dijamin
oleh Perubahan Ketiga UUD Pasal 22E ayat (3), yang menyatakan “Peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”[5] Dengan
ketentuan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai
politik, maka dengan sendirinya konstitusi menegaskan bahwa sistem pemilu yang
digunakannya adalah sistem pemilu proporsional.
Dalam sistem pemilu
proporsional, keterwakilan politik menjadi misi utama. Bekerjanya sistem ini
diharapkan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mencerminkan kondisi
masyarakat, baik secara gender, ideologi, agama, bahasa, etnis, dan lain-lain.
Namun karena tujuan lain dari setiap pemilu adalah membentuk pemerintahan
efektif, maka sistem pemilu proporsional pun berusaha mengurangi fragmentasi
politik di parlemen yang dianggap sebagai biang ketidakefektifan pemerintahan
Pada Pemilu 1999 dan
Pemilu 2004, orientasi pembangunan sistem pemilu fokus pada keterwakilan
politik. Hal ini sejalan dengan tingginya tuntutan berbagai kelompok masyarakat
untuk berpartisipasi politik dan mengakses kekuasaan, setelah sekian lama
dibelenggu oleh otoriterisme Orde Baru. Namun ketika dua kali pemilu demokratis
itu berhasil menampung semua kelompok politik yang dipercaya rakyat di
parlemen, masalah efektivitas pemerintahan timbul. Banyaknya partai politik
yang masuk di DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota, dianggap tidak
hanya menyulitkan pengambilan keputusan yang kemudian berdampak pada
efektivitas pemerintahan, tetapi juga menyuburkan korupsi. Meskipun
sesungguhnya hal itu juga tidak terlepas dari model penyelenggaraan pemilu
eksekutif yang dijalankan secara terpisah dari pemilu legislatif.
Itulah yang
melatarbelakangi munculnya gagasan ambang batas perwakilan atau parliamentary
threshold menjelang Pemilu 2009, setelah apa yang disebut dengan electoral
threshold gagal membatasi jumlah partai peserta pemilu. UU No. 10/2008
mengatur bahwa partai politik harus meraih suara sedikitnya 2,5% dari suara sah
nasional agar bisa mengirimkan wakil ke DPR. Ketentuan ini ternyata efektif
mengurangi jumlah partai politik di parlemen, sebagaimana ditunjukkan oleh
Pemilu 2009 yang menghasilkan 9 partai politik di DPR. Bandingkan dengan dua
pemilu sebelumnya yang tidak menerapkan ketentuan ambang batas perwakilan
pemilu DPR: Pemilu 2004 menghasilkan 16 partai politik di DPR, sedang Pemilu
1999 menghasilkan 21 partai politik.
Benarkah berkurangnya
jumlah partai politik di DPR meningkatkan efektivitas pemerintahan? Jika efektivitas
pemerintahan itu diukur berdasarkan produk legislasi, pengawasan eksekutif dan
penyusunan anggaran, maka jawabannya adalah tidak. Dari sinilah tampak, bahwa
perdebatan meningkatkan angka ambang batas perwakilan pemilu DPR, lebih
diwarnai oleh kepentingan beberapa partai politik untuk memperbesar kekuasaan
daripada meningkatkan efektivitas pemerintahan. Sebab, di mana-mana di dunia ini
tidak terdapat hubungan antara besarnya angka ambang batas perwakilan dengan
efektivitas pemerintahan.
Efektivitas pemerintahan
memang dipengaruhi oleh tingkat fragmentasi politik di parlemen. Namun
rendahnya fragmentasi politik parlemen tidak identik dengan sedikitnya jumlah
partai di parlemen. Sebab fragmentasi partai lebih dipengaruhi oleh seberapa
banyak jumlah partai yang mendominasi parlemen, bukan seberapa banyak jumlah
partai di parlemen. Sebagai contoh, parlemen yang hanya terdiri dari 4 partai
politik tapi kekuatannya menyebar, katakanlah masing-masing memiliki kursi 25%,
maka pengambilan keputusan tetap sulit dilakukan. Sebaliknya belasan partai
bisa saja masuk parlemen, tetapi fragmentasinya rendah apabila hanya satu atau
dua partai dominan; dalam artian satu atau dua partai itu dapat mengambil
keputusan sendiri karena menguasai lebih dari 50% kursi.
Pengedepanan kepentingan
partai politik dalam perdebatan ambang batas perwakilan itu semakin jelas
ketika DPR – yang terdiri atas 9 partai politik yang lolos ambang batas Pemilu
2009 – memaksakan ketentuan ambang batas pemilu DPR untuk pemilu DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota, sebagaimana termuat dalam RUU Perubahan UU No. 10/2008
yang disusun oleh Badan Legislasi DPR, dan disahkan DPR pada 19 Juli 2011.
Jika ketentuan itu
disahkan, maka Pemilu 2014 nanti, katakanlah ada 8 partai politik yang lolos
ambang batas pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, maka ke-8 partai itu
jugalah yang akan lolos masuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota seluruh
Indonesia. Artinya sebesar apapun perolehan suara partai politik dalam pemilu
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, apabila tidak lolos ambang batas
perwakilan pemilu DPR, maka partai tersebut tidak mendapatkan kursi. Padahal
ketika pemungutan suara, pemilih tetap menggunakan tiga surat suara yang
berbeda (yaitu surat suara memilih anggota DPR, surat suara memilih anggota
DPRD provinsi, dan surat suara memilih anggota DPRD kabupaten/kota). Tetapi
mengapa keterpilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota ditentukan oleh
ambang batas pemilu DPR?
Jelas sekali, ketentuan
ini tidak hanya tidak logis dan merusak akal sehat, tetapi juga melanggar hak
konstitusional warga negara karena keaslian suara pemilih dalam memilih anggota
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dihilangkan. Jumlah suara yang hilang
tentu harus menjadi pertimbangan, karena salah satu prinsip pokok sistem pemilu
proporsional adalah menekan sesedikit mungkin suara yang tidak bisa dikonversi
menjadi kursi. Selain itu, rumusan ketentuan seperti itu juga berpotensi
menimbulkan konflik politik pada tingkat lokal, karena partai politik yang
mendapat dukungan di tingkat lokal tidak mendapatkan haknya untuk menduduki
kursi parlemen lokal. Para pembuat undang-undang hendaknya belajar dari sejarah
politik nasional, usaha-usaha penyeragaman politik yang dilakukan oleh elit
politik Jakarta, justru menjadi biang permasalahan integrasi nasional
1. Formula penghitungan perolehan kursi partai Politik.
Semua
sistem pemilu proporsional (Proportional Representation, PR) memanfaatkan
formula matematika untuk mendistribusikan perolehan kursi kepada setiap partai
politik yang memenuhi syarat ambang batas (threshold). Ada sejumlah metode atau
formula yang sah dan demokratis, di antaranya: metode kuota “sisa suara
terbanyak” (Droop dan Hare) dan metode “rata-rata tertinggi” atau divisor
(D’Hondt dan Saint-Laguё). Pada Pemilu 2009, Indonesia mengadaptasi metode sisa
suara terbanyak (kuota Hare). Untuk penghitungan kursi DPR pada tingkat
nasional, partai politik harus memenangkan setidaknya 0,5% dari kuota (50%
Bilangan Pembagi Pemilih) sebagai syarat untuk mendapatkan alokasi kursi pada
tahap II, dan syarat lainnya pada penghitungan kursi tahap III. Persyaratan
serupa tidak berlaku pada penghitungan kursi DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota.
Dalam
proses penyelenggaraan Pemilu 2009, terjadi sengketa berkenaan dengan dua unsur
dari formula pembagian sisa kursi tersebut: Pertama, dalam hal perolehan kursi
yang tidak memenuhi kuota, apakah ketentuan 0,5% kuota atau (50% BPP) dihitung
hanya berdasarkan suara total partai politik yang telah memenangakan kursi di
setiap daerah pemilihan, atau juga berlaku baik untuk suara total dan “sisa
suara”? Kedua, dalam hal penghitungan kursi tahap III pada tingkat propinsi,
apakah melibatkan suara partai politik dari seluruh daerah pemilihan, atau
hanya suara partai politik dari setiap daerah pemilihan yang memiliki sisa
kursi?
Setelah melalui sengketa hukum di Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, KPU akhirnya menerapkan penghitungan perolehan kursi partai politik
pada tahap II atau 50% BPP dengan melibatkan sisa suara. Sementara untuk penghitungan
perolehan kursi tahap III melibatkan sisa suara dari seluruh daerah pemilihan
yang ada pada setiap provinsi.
Berdasarkan berbagai perbandingan, tampak bahwa metode kuota “sisa
suara terbanyak” sedikit menguntungkan partai-partai besar, sementara metode
rata-rata tertinggi atau divisor memberikan sedikit keuntungan kepada partai
yang lebih kecil. Namun secara keseluruhan, perbedaan dari dua metode tersebut
dalam alokasi kursi tidaklah signifikan.
2.
Formula Alokasi Kursi DPR RI ke Provinsi.
Ketentuan
yang mengatur jumlah kursi DPR bagi masing-masing provinsi masih menjadi
perdebatan. Praktik internasional terbaik dari alokasi kursi berpegang pada
tiga prinsip: pertama, harus ada dasar logis yang jelas untuk menentukan jumlah
kursi yang akan dialokasikan pada wilayah geografis tertentu, dan kriteria
tersebut harus jelas secara hukum dan transparan; kedua, data kependudukan
terkini atau data pemilih terkini hendaknya digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan, meskipun beberapa persyaratan khusus perlu dilibatkan
(seperti pertimbangan faktor geografis), dan; ketiga, kewenangan pengalokasian
kursi dibebaskan dari pertimbangan dan kelompok partisan, serta dilakukan oleh
sebuah badan independen.
3.
Ambang Batas Perwakilan – Persentase dan Level Penerapannya.
Ambang
batas perwakilan (threshold representation) sangat bervariasi dari 10% (Turki,
Seychelles) hingga tidak ada batas yang dikenakan di atas dan di luar jumlah
suara yang diperlukan untuk memenangkan kursi di daerah pemilihan tertentu. Ambang
batas hampir selalu diterapkan pada tingkat nasional untuk pemilu legislatif,
tetapi tidak selalu dikaitkan dengan tingkat efektivitas pemerintahan. Meskipun
ada beberapa negara yang menggunakan angka lebih tinggi dari 5%, namun
mayoritas negara demokrasi menggunakan ambang 3% atau lebih rendah.
Komparasi Ambang Batas Pemilu dan Ukuran Parlemen[6]
Data komparatif pada table
tersebut menggambarkan, bahwa seiring dengan meningkatnya angka ambang batas,
jumlah partai di parlemen berkurang dan tingkat disproporsionalitas meningkat.
Pada Pemilu 1999 dan 2004 ambang batas untuk DPR adalah 3%, partai diizinkan
untuk mempertahankan kursi yang diperoleh untuk siklus pemilihan tersebut
tetapi kemudian harus membubarkan diri. Pada Pemilu 2009 ambang batas tersebut
dikurangi menjadi 2,5%, tetapi diterapkan pada semua partai (namun partai yang
tidak memenangkan kursi tidak perlu membubarkankan diri).
Pada
Pemilu 1999, sebanyak 3,7 juta suara (3,5%) diberikan kepada partai yang gagal
untuk memenangkan kursi, pada Pemilu 2004, angka tersebut naik menjadi 5,2 juta
(5%) dan pada Pemilu 2009, angka tersebut naik empat kali lipat menjadi 19 juta
(18%) secara keseluruhan.
Jawaban
atas pertanyaan mengenai besaran ambang pemilu DPR yang paling tepat haruslah
didasarkan pada apa yang ingin dicapai dengan ambang batas tersebut. Jika
sebagaian besar orang percaya bahwa partai-partai dengan perolehan suara antara
4 hingga 5 juta tidak perlu terwakili sama sekali, maka ambang batas 5% adalah
pilihan yang tepat. Jika diyakini bahwa suatu partai yang berbasis pada satu
provinsi tertentu tidak perlu terwakili secara nasional maka angka 3% sudah
cukup.
Apakah
jumlah partai di parlemen sekarang ini terlalu banyak? Apakah pemerintahan
koalisi yang ada tidak stabil? Memang benar bahwa pasca-Pemilu 2009 Indonesia
dipimpin oleh suatu koalisi yang ‘canggung’, tapi di sisi lain koalisi tersebut
telah mampu bertahan. Mungkin benar bahwa terlalu tingginya ambang batas bisa
menjadi kontra-produktif karena akan mengesampingkan suara dari golongan
ideologis dan etnis minoritas: Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Bulan
Bintang (PBB) terkena dampaknya.
Satu
usulan terakhir dan sangat penting, adalah mengenai penerapan ambang batas
nasional untuk DPR terhadap boleh tidaknya partai-partai mendapatkan kursi
perwakilan DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota. Tidak ada preseden untuk hal
ini di seluruh dunia, dan untuk negara sebesar Indonesia sebagian besar
pengamat menganggap usulan seperti itu sangat tidak demokratis. Tentu saja hal
ini sangat berbahaya karena di beberapa negara kebijakan seperti itu dapat
menciptakan konflik dan pemisahan wilayah.
4.
Penyertaan Gender (dalam Sistem Daftar Calon Terbuka).
Jumlah
perempuan di DPR telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Hasil
Pemilu 1999 menunjukkan jumlah perempuan di DPR tercatat 9%, lalu meningkat
11,5% pada Pemilu 2004, dan menjadi 18% pada Pemilu 2009. Angka terakhir tepat
berada pada tingkat rata-rata untuk keterwakilan perempuan baik secara global
maupun Asia. Sebelum Pemilu 2009, undang-undang yang mengamandemen sistem
daftar tertutup disahkan, dan mengamanatkan bahwa partai politik harus
mencantumkan setidaknya satu dari tiga calon di satu daerah pemilihanharus
perempuan. Namun, pada akhir 2008 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa sistem
daftar tertutup itu tidak konstitusional, dan membuka daftar calon ke pemilih
(membuat sistem daftar ‘terbuka’)[7].
Hal ini sangat melemahkan etos dan tujuan dari ketentuan kuota pencalonan
perempuan.
Jika tidak ada mekanisme penyertaan gender pada pencalonan, sangat
mungkin bahwa jumlah anggota DPR perempuan terpilih akan menurun pada Pemilu
2014. Pada Pemilu 2009 daftar nama calon yang diurutkan tercetak pada surat
suara, tetap dipergunakan (meskipun pada kenyataannya peringkat tersebut tdak
berarti apa-apa), tetapi pemilih masih banyak memilih dua atau tiga kandidat
teratas dalam daftar calon yang disusun oleh partai tersebut. Dengan pemungutan
suara yang diformat ulang dan kesadaran masyarakat yang lebih besar terhadap
sistem daftar calon terbuka, pada Pemilu 2014 kesempatan perempuan untuk
terpilih cenderung menurun atau kurang baik.
Lebih
dari 100 negara menggunakan semacam mekanisme kuota untuk memastikan
keterwakilan perempuan pada tingkat nasional. Mekanisme dimaksud bisa dalam
bentuk kursi di parlemen yang memang dicadangkan khusus untuk perempuan (yang
mungkin ditunjuk atau dipilih), kuota legal (di mana partai harus menominasikan
sejumlah perempuan menurut proporsi tertentu dalam daftar mereka, seperti di
Indonesia), atau kuota partai (yang biasanya diadopsi oleh partai politik
secara sukarela). Kebijakan untuk menggunakan daftar calon terbuka dan usulan
pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan (lihat di bawah) akan membatasi
peluang keterpilihan perempuan. Cara utama untuk mengoreksi ketidakseimbangan
ini adalah dengan menerapkan kuota bagi keterwakilan perempuan baik di tingkat
nasional atau daerah pemilihan.
Sebagai
contoh, Undang-undang Pemilu Afghanistan memandatkan antara satu hingga
sembilan perempuan harus terpilih dari masing-masing 34 provinsi (dimana setiap
wilayah memperoleh wakil antara dua hingga 33 anggota). Hal ini menghasilkan 68
perempuan di parlemen Afghanistan. Calon yang memenangkan kursi adalah
perempuan dengan perolehan suara tertinggi di wilayah tersebut (meskipun mereka
menerima suara lebih sedikit dari calon laki-laki yang tidak terpilih).
Alternatif lainnya, pada tingkat nasional sejumlah kursi minimum bisa
dicadangkan khusus untuk perempuan, dan apabila pemilu secara alami tidak
menghasilkan jumlah yang diperlukan untuk perempuan, maka perempuan dengan
perolehan suara tertinggi bisa dipilih untuk mengisi kursi yang hilang
tersebut, baik dengan cara menggantikan politisi laki-laki atau dengan
memperbesar jumlah kursi di parlemen. Pilihan ketiga adalah dengan meminta
partai mencantumkan daftar calon seimbang 50/50 di setiap daerah pemilihan. Hal
ini akan meningkatkan kesempatan lebih banyak bagi perempuan untuk terpilih,
tapi hal ini sangat tergantung pada perilaku pemilih.
5.
Besaran Daerah Pemilihan – Haruskah Diperkecil?
Jumlah
anggota terpilih atau kursi daerah pemilihan memainkan peran penting dalam
menentukan peluang perolehan kursi partai politik dan pembentukan pemerintahan.
Pada
Pemilu 1999, besaran daerah pemilihan terdiri antara 3 sampai dengan 82 kursi,
tingkat disproporsionalitas pada saat itu rendah (3.5), dan 21 partai terwakili
di DPR. Pada Pemilu 2004 jumlah maksimum anggota DPR terpilih dari setiap
daerah pemilihan 12, dan dan turun lagi menjadi 10 pada Pemilu 2009. Usulan
terkait pengurangan alokasi kursi tiap daerah pemilihan yang saat ini muncul
lagi antara 2-6 dan 3-8 kursi.
Setiap
pengurangan besaran daerah pemilihan cenderung akan mengurangi jumlah partai
politik di parlemen dan meningkatkan ketidakproporsionalan antara suara yang
diberikan (votes cast) dan kursi yang dimenangkan. Hal ini juga bisa secara
bertahap meningkatkan hubungan antara anggota DPR dengan konstituen mereka.
Daerah pemilihan terbesar berdasarkan jumlah pemilih terdaftar pada Pemilu 2009
adalah Jawa Barat II dengan 10 calon dan 3.069.574 pemilih terdaftar dan
1.858.214 suara sah[9].
Dengan berkurangnya jumlah kursi yang dipilih dari daerah pemilihan ini, maka
jumlah suara untuk partai /calon yang tidak memenangkan kursi akan jauh lebih
tinggi. Hal yang sama mungkin terjadi terhadap jumlah calon perempuan terpilih
jika alokasi kursi daerah pemilihan dikurangi.
Dalam
satu daerah pemilihan dengan 10 kursi, beberapa partai memenangkan 3 kursi, dan
banyak lagi yang hanya memenangkan 2 kursi. Para calon perempuan sering
merupakan kandidat kedua atau ketiga untuk dipilih dari daftar partai. Namun di
daerah pemilihan dengan 8 kursi, kemungkinan satu partai tunggal memenangkan 3
kursi akan berkurang secara drastis hampir seluruh Indonesia, dan jumlah partai
yang mampu memperoleh 2 kursi di daerah pemilihan akan semakin sedikit. Dengan
demikian, ruang untuk keterpilihan anggota legislatif perempuan akan semakin
terbatas.
6.
Ukuran Parlemen atau Jumlah Anggota DPR.
Perdebatan
apakah ukuran DPR saat ini sudah cukup atau terlalu besar bagi Indonesia sering
terjadi. Pada masa Suharto, aturan praktis adalah satu wakil untuk setiap
450.000 penduduk. Jumlah keanggotaan DPR terus meningkat dalam tiga pemilu
terakhir. Pada Pemilu 1999 beranggota 500 (462+38 militer), pada Pemilu 2004
menjadi 550, dan pada Pemilu 2009 menjadi 560. Terdapat tiga model yang dapat
dipergunakan untuk memprediksi ukuran atau jumlah DPR berdasarkan pada
kombinasi dari populasi, tingkat melek huruf dan angkatan kerja[10] . Kedua
formula yang murni berdasarkan populasi memprediksi jumlah anggota dewan antara
605 dan 619 anggota. Jika tingkat melek huruf dan penduduk usia kerja
dilibatkan dalam perhitungan, maka akan menjadi 480 anggota[11].
Indonesia : Perolehan suara dan jumlah kursi partai
politik 2009[12]
2.3
Pengaruh eksistensi partai politik dalam kabinet pemerintahan Indonesia
Seperti kita ketahui bahwa dalam teori system menurut
David Easton, terdapat tiga proses yang menjadi saluran bagi terselenggaranya
sebuah system, yaitu input,
process dan output. Input terdiri dari tuntutan dan dukungan
yang datang dari masyarakat, process yang tidak lain adalah proses
pembuatan kebijakan, dan output yang berhubungan dengan proses
pelaksanaan kebijakan.
Gabriel Almond dalam teori sistemnya menjelaskan bahwa ada
unsur-unsur yang melingkupinya, yaitu adanya kelompok
kepentingan (interest group), partai politik, badan legislative, badan
eksekutif, brokrasi dan badan yudikatif. Unsur-unsur tersebut melekat pada
fungsi input dan output. Fungsi input dalam system ini meliputi berbagai hal,
seperti artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik,
komunikasi politik, dan rekruitmen politik. Sedangkan pada fungsi output,
terdapat unsur-unsur seperti pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan
ajudikasi kebijakan.
Jika kita mencermati lebih lanjut, hal-hal yang terdapat pada fungsi
input, seperti artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi
politik, komunikasi politik, dan rekruitmen politik, hal-hal demikian juga
melekat pada fungsi utama partai politik.
Hal itulah yang membuat partai politik merupakan elemen
yang begitu penting dalam berjalannya suatu system politik di suatu Negara, tak
terkecuali Indonesia. Lebih lanjut lagi, Gabriel Almond juga mengemukakan bahwa
ada dua elemen penting dalam proses pembuatan dan penerapan kebijakan, yaitu
kelompok kepentingan dan partai politik. Hal itu semakin mempertegas akan
besarnya peranan partai politik dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan di Indonesia yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Dalam proses pembuatan kebijakan
Dalam proses pembuatan kebijakan, partai politik tentu
memegang peranan yang sangat besar. Seperti kita ketahui, presiden sebagai
kepala pemerintahan dan kepala Negara di Indonesia pada saat ini dipilih secara
langsung oleh rakyat dan pastinya diusung oleh suatu partai politik. Oleh sebab
itu pastilah presiden dalam menjalankan perintahnya sedikit atau banyak
dipengaruhi oleh kebijakan partai politik yang mengusungnya, karena dalam hal
ini eksekutif adalah implementasi dari partai politik yang mengusungnya. Di Indonesia
sendiri seperti yang tertuang pada Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 5 ayat
1, diatur bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan dalam pasal 20 ayat 4 disebutkan Presiden
mengesah rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang. Hal itulah yang secara tidak langsung membuat partai
politik dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan melalui badan eksekutif.
Melalui badan legislatif, partai politik juga dapat
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Hampir sama seperti penjelasan
sebelumnya, orang-orang yang duduk dalam parlemen pastilah juga diusung oleh
partai politik pada saat pemilihan umum berlangsung. Seperti halnya presiden,
legislatif yang ada di Indonesia yaitu DPR juga mempunyai pengaruh dalam proses
pembuatan kebijakan, hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
amandemen pertama dalam pasal 20 ayat 1 yang menyebutkan Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Undang-undang tersebut
menegaskan bahwa proses pembuatan kebijakan yang dilakukan DPR kaitannya dengan
pembentukan undang-undang dikuasai penuh oleh DPR yang didalamnya adalah partai
politik.
Selain melalui badan eksekutif dan legislatif seperti
pada dua penjelasan sebelumnya, partai politik juga dapat mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan dengan melalui mekanisme yang ada pada tubuh partai politik
itu sendiri, yaitu menyampaikan aspirasi-aspirasinya kepada pihak yang
berwenang dengan cara “lobby”[13]
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam penulisan karya
tulis ini, penulis dapat membuat kesimpulan mengenai Eksistensi Partai Politik
dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia antara lain :
1.
Partai politik mempunyai fungsi yang bersifat
penting dalam proses ketatanegaraan Indonesia.
2.
Didalam parlemen Indonesia partai politk memiliki
pengaruh eksistensinya seperti dipengaruhi oleh formula penghitungan perolehan
kursi partai politik, Formula Alokasi Kursi DPR RI ke
Provinsi, Ambang Batas Perwakilan – Persentase dan Level Penerapannya,
Penyertaan Gender (dalam Sistem Daftar Calon Terbuka), Besaran Daerah
Pemilihan, Ukuran Parlemen atau Jumlah Anggota DPR.
3.
Eksistensi partai politik dalam
pemerintahan Indonesia besarnya berpengaruh dalam proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan di Indonesia.
3.2 Saran-Saran
Adapun saran
dari makalah ini ialah
1.
Memperdalam
memahami arti penting dari eksistensi partai politik dalam ketatanegraan
Indonesia.
2.
Mempertimbangkan
dalam memilih wakil rakyat dari segi kepentingan apa yang nantinya akan diperjuangkan.
3.
Melakukan
pengawasan dari setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
4.
Mengikuti
perkembangan pembuatan Undang-undang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiarjo, Miriam.
2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
2. UU no. 2 tahun
2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang
partai politik.
3. Undang-undang
Republik Indonesia nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik
4.
Undang-undang dasar negara Republik Indonesia TAHUN 1945.2010.
Jakarta: Sekretariat Jenderaal MPR RI.
5.
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008
6.
Drs. Haryanto. 1984. Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum.
Yogyakarta: Liberty. Hlm. 41
7.
Hasil dari perolehan kursi partai diambil dari Buku Pemilu
2009 Dalam Angka “Satu Suara untuk Masa De¬pan”, KPU, Januari 2010, Hal. 30
8.
Menurut sensus Indonesia 2010, total populasi penduduk adalah
237.476.363 orang dengan tingkat melek huruf 92,58% dan usia pekerja 50,28%
(10)
Rein Taagepera,
Limiting Frames of Political Games: Logical Quantitative Models of Size, Growth
and Distribution, Center for the Study of Democracy (University of California,
Irvine), Tahun 2002 Paper 02-04, page 5. Lihat juga, Reilly, Ben dan Reynolds,
Andrew, “Election Systems”, ACE Pro
9.
Menurut lampiran UU No. 10 tahun 2008, Pembagian Daerah
Pemilihan Anggota DPR RI
INTERNET :
1. http://amanahtp.wordpress.com/2012/01/28/infrastruktur-dan-suprastruktur-politik-di-indonesia/
diakses pada tanggal 15 September 2013
2. http://www.idea.int/esd/type.cfm?electoralSystem=List%20PR
3.
http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=103:kebijakan-peningkatan-keterwakilan-perempuan-pemilu-2004-dan-
2009 - & catid = 22: Perempuan-dan-Politik-&Itemid = 79d=103:kebijakan-peningkatan-keterwakilan-perempuan-pemilu-2004-dan-
2009 - & catid = 22: Perempuan-dan-Politik-&Itemid = 79
[1]http://amanahtp.wordpress.com/2012/01/28/infrastruktur-dan-suprastruktur-politik-di-indonesia/
diakses pada tanggal 15 September 2013
[2] Budiarjo Miriam, Dasar-dasar ilmu politik, PT GRAMEDIA 1982 Jakarta
[3] UU no. 2 tahun 2011 te PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG
PARTAI POLITIK
[4] UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANGPARTAI POLITIK
[5] UDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.2010.
Jakarta: SEKRETARIAT JENDERAL MPR RI.
[6] http://www.idea.int/esd/type.cfm?electoralSystem=List%20PR
Indeks
pemilu, indeks ini awalnya diuraikan dalam Markku Laakso dan Rein Taagepera,
Jumlah “Efektif” partai: ukuran dengan aplikasi di Eropa Barat, Studi Politik
Komparatif 12:1 (1979), hlm 3-27 (jumlah efektif partai), dan Michael
Gallagher, ‘Proporsionalitas, disproporsionalitas dan sistem elektoral’, Studi
pemilihan 10:1 (1991), hlm33-51 (indeks kuadrat terkecil). Terakhir
diperbaharui 7 September 2010 .
[8] Komposisi
anggota parlemen berdasarkan gender pada tahun 1999 Pemilu http:
//www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=103:kebijakan-peningkatan-keterwakilan-perempuan-pemilu-2004-dan-
2009 - & catid = 22: Perempuan-dan-Politik-&Itemid = 79 Komposisi
Gender di parlemen melalui pemilihan2004 dan 2009 melihat Almanak Anggota
Parlemen RI 2009-2014, CETRO-Hanns Seidel Foundation, halaman. 30
[9] Menurut lampiran UU No. 10 tahun 2008,
Pembagian Daerah Pemilihan Anggota DPR RI
[10] Menurut
sensus Indonesia 2010, total populasi penduduk adalah 237.476.363 orang dengan
tingkat melek huruf 92,58% dan usia pekerja 50,28%
[11] Rein
Taagepera, Limiting Frames of Political Games: Logical Quantitative Models of
Size, Growth and Distribution, Center for the Study of Democracy (University of
California, Irvine), Tahun 2002 Paper 02-04, page 5. Lihat juga, Reilly, Ben
dan Reynolds, Andrew, “Election Systems”, ACE Pro
[12] Hasil dari perolehan kursi partai diambil dari Buku Pemilu 2009
Dalam Angka “Satu Suara untuk Masa Depan”, KPU, Januari 2010, Hal. 30
[13] Drs. Haryanto. 1984. Partai Politik:
Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 41
oleh :
Muhammad Shubhi F
Felix Aldi Anggoro Jati
Dwiky Agil Ramadhan
Fitrah Akbar C
Darian Ismunizar
Giyats Tegar Fauzi
Baha’
Mirfaqa
Reza
Kunarto
Akbar Wisnu Pratama
Rizky Jasti Andani P.A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar