BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang mulai berlaku tanggal 1 Januari
1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985. Kemudian diubah dengan UU No. 12 Tahun
1998. PBB adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan
kepada daerah. Hal ini tidak terlepas dari PBB yang termasuk jenis pajak yang
penerimaanya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing). Imbangan pembagian
penerimaan PBB ini diatur dalam UU No. 12 Tahun 1994 serta PP No. 16 Tahun 2000
dan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 82/KMK.0412000.
Dalam
perkembanganya, banyak wacana yang muncul terkait dengan PBB untuk diserahkan
kewenanganya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah (PAD). Hal ini tidak lain karena diberlakukanya kebijakan
pemerintah tentang Otonomi Daerah yang diwujudkan dalam dua (2) Undang-Undang,
yaitu UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Namun, berbagai persoalan timbul dalam pada tingkatan daerah, terutama persoalan mengenai akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan serta belum terbentuknya sistem sempurna untuk memastikan dana PBB dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi malah sering disebut sebagai desentralisasi korupsi akibat berpindahnya locus penyelewengan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedang pada tingkat pemerintah pusat, orang telah sama-sama maklum tentang rivalitas yang sangat tinggi antar departemen dalam pengelolaan keuangan untuk daerah.[1]
Sehubungan
dengan hal-hal yang diuraikan diatas, maka perlu kajian yang menyangkut
kebijakan pembiayaan keuangan daerah yang adil dan tepat guna yang mendukung
program otonomi daerah. Kajian yang mendalam dan komperhensif sangat
diperlukan, serta perlu dilakukan adanya evaluasi yang berkelanjutan. Untuk
mendapatkan jawaban yang objektif tentang Pengalihan
PBB Oleh Pemerintah Pusat Pada Pemerintah Daerah Dalam Upaya Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah sangat penting kiranya untuk menjadi kajian dalam
penulisan makalah ini.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengalihan
PBB Oleh Pemerintah Pusat Pada Pemerintah Daerah Dalam Upaya Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Otonomi Daerah
Istilah otonomi atau “outonomy”
secara etimologis dari bahasa Yunani berasal dari kata “autos” yang
berarti sendiri dan “nomous” yang berarti undang-undang, hukum atau
peraturan dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving). Menurut encyclopedia
of cocial science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the
legal self sufficiency of social body and its actual independence.
Istilah
otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelftandigheid) tetapi
bukan kemerdekaan (onafharzkelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau
kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan. Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan
kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekedar subsistem
dari sistem kesatuan yang lebih besar. Otonomi adalah fenomena negara kesatuan.
Negara kesatuan merupakan landasan dari pengertian dan isi otonomi[2]
Konteks
otonomi sendiri adalah bahwa pemerintah daerah diberi keleluasaan
menyelenggarakan dan mengatur sendiri urusan rumah tangganya. Ketentuan Pasal 1
angka 5 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa
otonomi daerah adalah “Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan daerah otonom berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
adalah :
“Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Dengan
otonomi daerah, kewenangan daerah otonomi untukmengurus daerahnya sesuai dengan
keinginan masyarakatnya semakin tinggi. Jika sebelumnya daerah hanya sebagai
operator saja dalam pembangunan, maka kini peran daerah meluas menjadi iniciator,
planner, fund rising, supervisor ataupun evaluator. Dengan demikian,
paradigma “membangun daerah lebih difokuskan”, mempunyai arti bahwa
daerah harus punya inisiatif, prakarsa, kemandirian dalam menyusun,
merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerah. Asumsinya, daerah
lebih tahu tentang masalah dan potensi yang ada di daerahnya
masing-masing.[3]
·
Keuangan
Daerah
Secara sederhana, dalam kaitanya dengan
keuangan daerah maka otonomi daerah berkaitan dengan daerah membiayai sendiri
urusan pemerintahan di daerahnya tersebut. Bagir Manan[4]
menjelaskan,
dimanapun keuangan negara selalu ada dalam kekuasaan pemerintah pusat. Sumber
keuangan daerah berasal dari bagian-bagian yang diserahkan pusat kepada daerah
atau yang dibenarkan digali oleh daerah. Tanpa penyerahan atau pembenaran oleh
pusat, daerah tidak dapat menciptakan sendiri keuangan daerah seperti memungut,
meminjam apalagi mencetak uang. Inilah inti hubungan keuangan antara pusat
dengan daerah. Keuangan menyangkut kewajiban rakyat banyak, maka segala sesuatu
mengenai uang termasuk hubungan keuangan antara pusat dengan daerah harus
diatur dengan undang-undang.
Ketergantungan daerah kepada pusat oleh
Bagir Manan[5]
dikatakan
bahwa daerah secara keuangan makin tergantung pada pusat. Peningkatan
ketergantungan ini terjadi karena beberapa hal :
·
Urusan pelayanan yang harus dilaksanakan
pemerintah daerah makin luas sesuai dengan perkembangan tugas-tugas negara
untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan kecenderungan pusat untuk menyerahkan
urusan tersebut kepada daerah.
·
Sumber-sumber keuangan daerah terbatas. Di
Indonesia keterbatasan ini terjadi karena belum pernah ada pembaharuan yang
mendasarmengenai sumber pendapatan daerah. Berbagai sumber, karena berbagai
pengaruh, perkembangan dan keadaan daerah menjadi tidak efektif lagi.
·
Pemerintah Pusat lebih memilih
memberikan subsidi daripada menyerahkan sumber pendapatan. Dengan sistem
subsidi, daya kendali terhadap daerah dapat terlaksana lebih efektif.
·
Pendapatan
Asli Daerah
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
menyatakan bahwa sumber penerimaan daerah berasal dari 4 (empat) sumber yaitu :
a. Pendapatan Ash Daerah (PAD), antara
lain berasal dari :
1) Hasil pajak daerah.
2) Hasil retribusi daerah.
3) Hasil perusahaan milik daerah.
4) Hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan.
5)
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
yang sah.
Hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain bagian laba dari BUMD, dan jasa
kerja sama dengan pihak ketiga. Lain-lain PAD yang sah antara lain perencanaan
daerah di luar pajak dan retribusi seperti jasa giro, dan hasil penjualan asset
daerah.
b.
Dana Perimbangan, sesuai pasal 6 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah terdiri dari 3 (tiga) bagian yang
merupakan satu kesatuan elemen sumber pembiayaan untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan kewenangan oleh daerah, antara lain :
1)
Dana Alokasi Umum (DAU), yang
pendistribusiannya didasarkan pada suatu rumus, yang mempunyai tujuan
pemerataan dengan memperhatikan potensi dan kebutuhan penduduk, dan tingkat pendapatan
masyarakat di daerah (seperti luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk,
dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah) sehingga diharapkan perbedaan
antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.
2) Dana
Alokasi Khusus (DAK), yang dialokasikan untuk membiayai kebutuhan khusus daerah
dengan memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN.
3)
Bagian Daerah (Bagi Hasil) dari Penerimaan PBB, BPHTB, PPh Perseorangan dan
penerimaan Sumber Daya Alam (SDA), merupakan komponen dana perimbangan yang
pendistribusiannya dilakukan berdasarkan potensi daerah penghasil.
c.
Dana pinjaman daerah, yaitu dana yang dapat diperoleh dari pinjaman baik dalam
maupun luar negeri untuk membiayai sebagian anggaran pembangunan daerah.
d.
Lain-lain penerimaan yang sah. Lain-lain pendapatan yang sah antara lain hibah
atau dana darurat dari Pemerintah.
Dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Dana Perimbangan adalah Bagian daerah dari
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,
penerimaan sumber daya alam, dan dana alokasi umum serta dana alokasi khusus.[6]
·
Perimbangan
Keuangan
Dalam konteks Indonesia dewasa ini,
transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah adalah berbentuk Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU merupakan transfer dana yang
bersifat umum (block grant), sementara DAK merupakan transfer dana yang
bersifat spesifik, yaitu untuk tujuan-tujuan tertentu yang sudah digariskan (specific
grant). Dengan demikian transfer dana dimaksud tidak termasuk bagi hasil (revenue
sharing) antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menjelaskan :
“Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil”.
Meskipun tidak ada satu ukuran tertentu mengenai hubungan yang adil dan
selaras, prinsip ini menunjukkan bahwa daerah berhak memperoleh secara wajar
segala sumber daya untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang mandiri demi
kesejahteraan rakyat daerahnya. Karena itu harus ada pengaturan hubungan
keuangan dan hak-hak daerah memperoleh bagian dari hasil-hasil daerah serta
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari segala bentuk eksploitasi sumber
daya daerah.
Tujuan hubungan keuangan pusat-daerah
sendiri yang menyangkut pembagian menurut Kenneth Davey[7]
adalah
bahwa hubungan tersebut menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan
kegiatankegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan pembagian
sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan itu.
Tujuan utama hubungan ini ialah mencapai perimbangan antara berbagai
perimbangan agar antara potensi dan sumberdaya masingmasing daerah sesuai.
B.
Pajak
·
Pengertian Pajak
Pajak
adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat.
Jika tidak ada masyarakat, tidak akan ada pajak, karena di dalam masyarakat ada
kelangsungan hidup dari individu dan kelompok masyarakat tersebut sebagai suatu
kelangsungan hidup bernegara. Untuk menjaga kelangsungan hidup itu diperlukan
biaya. Di sinilah filosofi pajak yang sesungguhnya, bahwa pajak digunakan
sebagai alat untuk pembiayaan kelangsungan hidup bernegara yang
diambil
dengan mengurangi penghasilan rakyatnya.[8]
Pengertian pajak sendiri dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara RI Tahun 2007 Nomor 85 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4740) yang
tertuang dalam Pasal 1, sebagai berikut :
“Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
·
Pajak Negara dan Pajak Daerah
Timbulnya pajak negara dan pajak daerah
adalah tinjauan dari segi siapakah yang berwenang memungut pajak. Dalam hal
yang berhak memungut pajak adalah Pemerintah Pusat, jenis-jenis pajak dimaksud
digolongkan sebagai Pajak Negara atau Pajak Pusat. Sebaliknya jenis-jenis pajak
yang pemungutannya merupakan hak Pemerintah Daerah disebut dengan Pajak Daerah.
Pemerintah Pusat yang berhak memungut pajak adalah Departemen Keuangan, yang
jenis pajaknya terdiri dari :
1) Pajak Penghasilan(PPh)
2) Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), termasuk Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN BM)
3) Bea Materai
4) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
5) Cukai
6) Bea Masuk
7) Pajak Ekspor
c. Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam rangka pembaruan sistem pajak
nasional, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yang mulai berlaku
terhitung 1 Januari 1995 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan mencabut 7
undang-undang perpajakan yang berobyek-kan tanah dan bangunan dengan tujuan
untuk meniadakan pajak ganda dan merupakan dasar hukum yang kuat bagi pengenaan
pajak obyektif atas tanah dan/ atau bangunan, serta meningkatkan peran wajib
pajak dalam hal penyampaian data obyek dan subyek pajak dan pembayaran
pajaknya. Pajak Bumi dan Bangunan ini dimaksudkan untuk menggantikan
peraturan-peraturan pajak seperti tersebut dibawah ini :[9]
1. Pajak Rumah Tangga 1908 sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959, yang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang;
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923,
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Staatsblad 1931 Nomor
168;
3. Ordonansi Verponding 1928 sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959;
4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932,
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1967;
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Rechtspleging Oorlogsmisdrijven
Staatsblad 1946 Nomor 47;
6. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun
1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Pasal 14 huruf j, k, dan l, yang
dengan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi Undang-
Undang;
7. Perataran Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan sebagai Undang-Undang.
Sebagaimana
telah diketahui, PBB di Indonesia merupakan pajak pusat karena pengelolaannya
diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Pusat, walaupun hasil akhirnya yang
berupa penerimaan dikembalikan kepada daerah dengan prosentase yang besar.
Dalam APBD, penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagian
daerah dari bagi hasil pajak (revenue sharing) salah satu sumber utama
penerimaan daerah.
Imbangan
pembagian penerimaan PBB diatur melalui PP Nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret
2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
nomor 82/KMK.04/2000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta pasal 18 UU
Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
C.
Pengalihan PBB Oleh Pemerintah Pusat Pada Pemerintah Daerah
Dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Bahwa penyerahan PBB sebagai pajak
daerah oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, sebagai upaya untuk
mewujudkan desentralisasi fiskal sebenarnya dapat dilaksanakan tetapi
harus dilengkapi dengan adanya Undang-undang yang mengatur tentang
pelimpahan tersebut sehingga ada kejelasan hukum
Sehingga
tidak merugikan masyarakat sebagai pelaku pembayar pajak, dan seharusnya dengan
desentralisasi fiskal akan lebih banyak memberikan manfaat dengan lebih
memperhatikan faktor keadilan yang sama bagi semua subyek pajak. Dan
bahwa subsidi selama ini masih tetap menjadi sumber utama keuangan
daerah (melalui dana perimbangan) dan sumber PAD tidak menjamin
keleluasaan dan kemandirian daerah, sehingga daerah harus berupaya
untuk dapat menggali potensi daerah dalam peningkatan
PAD-nya tanpa harus mengorbankan rakyat. Kemungkinan Pemerintah
Daerah akan melaksanakan dan mengambil alih administrasi
pengelolaan PBB seperti yang telah berjalan selama ini,
Terdapat
kecenderungan bahwa pemerintah daerah merasa mampu untuk mengambil alih
administrasi PBB dengan segala konsekuensi
walaupun secara fakta kemampuan untuk mengenal tata cara administrasi PBB masih
rendah walaupun pemerintah daerah sudah menjadi mitra kerja PBB
sejak lama. Akan tetapi berbeda dengan para pengambil keputusan di
Kantor Dinas Pendapatan Daerah yang lebih cenderung berpikir
realistis bahwa untuk sementara PBB lebih baik sebagai pajak pusat
dari pada pajak daerah. Dengan berbagai pertimbangan tentunya,
seperti SDM, faktor teknologi dan biaya.
BAB III
KESIMPULAN DAN
SARAN
A.
Kesimpulan
Bahwa penyerahan PBB sebagai pajak daerah oleh
Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, sebagai upaya untuk
mewujudkan desentralisasi fiskal sejatinya dapat diwujudkan. Nmaun Persoalan timbul
dalam pada tingkatan daerah, terutama persoalan mengenai akuntabilitas dan responsibilitas dikarenakan
ketidak siapan daerah dalam tataran implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku
Devas, Nick, 1989, Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia (Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia :
Sebuah Tinjauan Umum), UI Press, Jakarta
Juanda,
2004, Hukum Pemerintah Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD
dan Kepala Daerah PT. Alumni Bandung
Bagir Manan, 2002,
Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas
Hukum UII Yogyakarta.
Syaukani.HR,
Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cetakan
I, Pustaka Pelajar.
Davey,
Kenneth, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indortesia (Hubungan Keuangan
Pusat - Daerah di Indonesia) UI Press, Jakarta
Soemitro,
Rochmat, 2001, Pajak Bumi dan Bangunan (Edisi Revisi), Refika Aditama.
2.
Makalah
dan Jurnal
Masyhuri, Dr,
Dkk, Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia : Kebijakan
Pengembangan Daerah Dalam Era Otonomi, Kajian Potensi dan Kendala
Pengembangan Ekonomi Daerah (P2ELIPI)
[1] Karim, Abdul Gaffar, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia
(Keuangan Pemerintah di Indonesia : Sebuah Tinjauan Umum), UI Press,
Jakarta Hlm. 14
[2] Juanda, 2004, Hukum Pemerintah Daerah, Pasang Surut
Huungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah PT Alumni Bandung, Hlm :
129
[3] Masyhuri, Dr,
Dkk, Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia : Kebijakan
Pengembangan Daerah Dalam Era Otonomi, Kajian Potensi dan Kendala
Pengembangan Ekonomi Daerah (P2E-LIPI)
[4]
Bagir
Manan, 2002, Menyongsong Fajar Otonomi
Daerah, Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII
Yogyakarta. Halaman : 144
[5]
Ibid, Bagir
Manan,. Halaman : 194,195
[6]
Syaukani.HR,
Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cetakan
I, Pustaka Pelajar.halaman : 202-203
Keuangan Pusat - Daerah di
Indonesia) UI Press, Jakarta. halaman : 179
[8] (Soemitro, 1992:1-2)
[9]
Rochmat
Soemitro, , , Pajak Bumi dan Bangunan (Edisi Revisi), 2001Refika Aditama.
Hlm 1-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar