Polemik Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Kepada Daerah (RUU Pilkada) seminggu ini menjadi pembahasan yang
menarik, terlabih setelah adanya Sidang Paripurna yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) beberapa waktu yang lalu untuk
mengesahkan Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang.
Dalam dinamika di Sidang Paripurna DPR
RI secara garis besar muncul dua kelompok yang mempunyai ide yang berbeda.
Kelompok pertama menginginkan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh
rakyat dalam pemilihan umum, dan kelompok yang kedua menginginkan pemilihan
kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jalannya
Sidang Paripurnanya sendiri pun berjalan
alot dan menegangkan, usaha untuk adanya musyawarah mufakat dengan dilakukan
lobi-lobi antar fraksi pun dilakukkan hingga memakan wajtu berjam-jam. Namun,
hal itu sia-sia belaka hingga pada akhirnya dilakukanlah voting untuk
menentukan pilihan apakah pemilihan Kepala Daerah akan dilakukan oleh DPRD atau
langsung dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum langsung. Setelah dilakukanya
voting, Sidang Paripurna pun berhasil membuat keputusan bahwa pemilihan Kepala
Daerah dilakukan oleh DPRD.
Namun, ketidak puasan masih dirasakan
oleh sebagian anggota DPR lain dan juga dirasakan oleh sebagian masyarakat
dengan berbagai elemenya. Kalangan yang tetap mendukung adanya pemilihan Kepala
Daerah oleh rakyat lewat pemilihan umum secara langsung pun berniat mengajukan
uji materiil atau “Judicial Review” ke
Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak konstitusional dan bertentangan
dengan prinsip-prisip demokrasi yang di junjung tinggi terutama setelah
reformasi pada tahun 1998.
Banyak kalangan lupa bahwa, hakikat
demokrasi dan pengertian konstitusional sehingga dirasa gegabah dan
tergesa-gesa serta mengedepankan emsosional sesaat dalam menghadapi polemik RUU
Pilkada ini, terutama para anggota DPR RI dan para elit politik nasional.
Bahwa, bila dilihat dari aspek Konstitusionalitasnya dalam pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa “ Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Dalam pasal tersebut dapat
dimaknai bahwa, baik pemilihan kepala daerah baik dipilih langsung oleh rakyat,
atau DPRD atau cara lainya diperbolehkan namun dengan cara-cara yang
demokratis.
Pengertian demokratis jangan dimaknai
secara sempit saja, karena hakikat demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Kita boleh ambil contoh, dalam menentukan Gubernur di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur, hal ini sudah disepakati secara
penuh kesadaran oleh rakyat Yogyakarta. Inilah cerminan demokrasi yang
sesungguhnya, bahwa khendak rakyat Yogyakarta menghendaki yang demikian bahwa
beberapa waktu yang lalu ketika ada polemik terkait bagaimana mekanisme
pemilihan Gubernur di Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta sepakat dengan mengadakan
referendum untuk menentukan mekanisme siapa yang menjadi Gubernur, yaitu Sri
Sultan lah yang otomatis mnjadi Gubernur Yogyakarta.
Maka, dapat kita simpulkan bahwa
pemilihan kepala daerah berdasarkan pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
membuka peluang bagaimana daerah menentukan mekanisme mana yang cocok sesuai
karakteristik dan kekhususan daerahnya dalam melakukan pemilihan kepala
daerahnya masing-masing. Sehingga, diharapkan Undang-Undang Pilkada kedepanya
mengakomodir hal yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama
dalam pasal 18 ayat (4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar