Sistem
Pemerintahan sendiri merupakan gabungan dua istilah, yaitu “sistem” dan
“pemerintahan”. Sistem menurut Carl J. Frederich yang di kutip oleh Titik
Triwulan Tutik,[1] sistem
adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan
fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap
keseluruhanya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara
bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik
akan mempengaruhi keseluruhannya itu. Sedangkan pemerintahan sendiri memiliki
arti segala urusan yang dilakukan oleh Negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat dan kepentingan Negara.[2]
Sehingga dapat disimpulkan sistem pemerintahaan adalah keseluruhan yang terdiri
dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara
bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhanya yang bertujuan untuk
menyelenggarakan kesehateraan masyarakat dan kepentingan Negara. Dimana
hubungan fungsional ini, dalam
pengertian kenegaraan adalah adanya lembaga negara
yang saling berhubungan, khususnya
lembaga pemegang kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Namun, Sistem pemerintahaan sendiri menurut
beberapa ahli secara garis besar adalah hubungan pembagian kekuasaan serta
hubungan antar lembaga negara dalam menjalankan kekuasaanya. Misalkan saja
menurut pendapat prof. Mahfud MD yang di kutip oleh Abdul Ghofar S.Pd.I., SH.
MH. Dalam bukunya mengenai Perbandingan Kekuasaan
Presiden
di Indonesia Setelah Perubahaan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju[3]
mengatakan bahwa cara bekerja dan berhubungan ketiga poros kekuasaan, yaitu Eksekutif,
Legislatif
dan Yudisial dapat disebut sebagai Sistem
Pemerintahaan
Negara.
Secara
umum, sistem pemerintahaan dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem
pemerintahaan parlementer dan sistem presidensiil. Namun, menurut Jimly
Asshidiqie sistem pemerintahaan dibedakan menjadi tiga yaitu :[4]
1.
Sistem
Pemerintahaan
Presidensiil
2.
Sistem
Pemerintahaan Parlmenter
3.
Sistem
Campuran
Di
dalam sistem parlmenter maka tugas Presiden hanya sebagai Kepala
Negara
saja dan tidak termasuk kepala pemerintahaan,
sedangkan kepala pemerintahan di pegang oleh Perdana
Menteri
yang membawahi kabinet. Kabinet inilah yang menjalankan kekuasan eksekutif atau
pemerintahaan. Selain itu, karena kabinet di bentuk oleh parlemen maka dalam
hal pertanggung jawabanya kabinet dapat di berhentikan melalui mosi tidak
percaya. Adapun yang termasuk dalam ciri-ciri sitem parlemeter antara lain
dapat di perinci sebagai berikut:
1.
Ketua
Partai Politik
pemenang pemilu yang menduduki kursi mayoritas di parlemen ditunjuk sebagai pemebentuk
kabinet sekaligus sebagai Perdana Menteri,
serta Partai
Politik
yang kalah berlaku sebagai pihak oposisi. Dalam sistem banyak partai, formatur
kabinet harus membentuk kabinet secara koalisi, karena kabinet harus memperkuat
posisi untuk mendapat kepercayaan di parlemen. Kepala Negara
hanya sebagai simbol negara, sehingga
tidak dapat dimintai pertanggung jawaban
konstitusional apapun.
2.
Kepala
Negara
diberi wewenang untuk menunjuk formatur kabinet dan membubarkan kabinet dalam
keadaan negara
mengkhendaki.
3.
Eksekutif
(kabinet) bertanggung jawab kepada parlemen jika ada mosi tidak percaya dari
parlemen maka kabinet harus mengembalikan mandatnya kepada Kepala
Negara.
4.
Terdapat
hubungan yang erat antara Eksekutif dan Legislatif.
5.
Apabila
terjadi perselisihan antara kabinet dengan parlemen, dan Kepala
Negara
beranggapan bahwa kabinet dalam pihak yang benar, maka Kepala
Negara
akan membubarkan parlemen. Sebagai tanggung jawab kabinet, maka ia melaksanakan
pemilihan umum dalam tempo 30 hari setelah membubarkan parlemen. Sebagai
akibatnya, apabila partai politik yang menguasai parlemen menang dalam
pemilihan umum, maka kabinet akan terus memerintah. Sebaliknya apabila partai
oposisi yang menang dalam pemilihan umum, maka dengan sendirinya kabinet
mengembalikan mandatnya, dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet.[5]
Sehingga dapat di ambil kesimpulan bahwa di dalam sistem
pemerintahan parlementer ini ada kaitan yang erat antara hubungan eksekutif
dengan legislatif, dimana
kekuasaan legislatif dapat membentuk kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
eksekutif ini bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
Selain itu, sistem pemerintahaan parlementer juga dapat di bagi lagi
berdasarkan jumlah partai yang ada dalam sebuah negara.
Bila hanya ada dua partai maka dinamakan sistem parlemeter dwi partai tetapi
bila terdiri dari lebih dari dua partai adalah sistem parlementer multi partai.
Dalam sistem dua partai ketua partai politik yang memenangkan pemilihan umum, sekaligus ditunjuk sebagai formatur kabinet, dan langsung sebagai Perdana
Menteri.
Seluruh menteri dalam kabinet adalah mereka yang terpilih sebagai anggota
parlemen, dengan konsekuensi setelah diangkat menjadi menteri harus non
aktif dalam parlemen (kabinet
parlementer). Karena partai politik yang menguasai kabinet adalah sama dengan
partai politik yang memegang mayoritas di parlemen. Maka kedudukanya sangat
kuat, sehingga jarang dijatuhkan oleh parlemen sebelum dilaksanakan pemilihan umum berikutnya. Sedangkan sistem parlementer dengan multipartai ,
dalam partai di parlemen tidak satupun partai politik yang mampu menguasai
kursi secara mayoritas, maka pembentukan kabinet disini sering tidak lancar.
Kepala Negara akan menunjuk tokoh politik tertentu untuk bertindak sebagai
pembentuk kabinet/formatur, dalam hal ini si formatur harus mengingat
pertimbangan kekuatan di parlemen, seingga setip kabinet dibentuk merupakan
bentuk koalisi (gabungan dari berbagai partai politik).[6]
Adapun sistem presidensiil sendiri
adalah suatu pemerintahaan di mana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab
kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada di
luar pengawasan (langsung) parlemen.[7]
Adapun ciri pokok sistem pemerintahaan presidensiil menurut S.L. Witman dan
J.J. Wuest yang di kutip oleh Sulardi antara lain :
1.
It is based upon the sparation of power principles;
2.
The executive has no power to dissolve the legislator nor must he
resign when ho loses the supp of the majority of its memberiship;
3.
There is no mutual responsibility between the president and his
cabinet, the latter is, whooly responsibility to the chief executive;
4.
The executive is chosen by the electorate.[8]
Sedangkan
ada yang menyebutkan ciri-ciri sistem presidensiil sebagai berikut:
1.
Presiden
sebagai kepala eksekutif mengangkat
dan memberihentikan para menteri. Menteri-menteri tidak bertanggung jawab
kepada parlementer (legislatif) melainkan kepada presiden (eksekutif).
2.
Terdapat
pemisahaan yang tegas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif baik
mengenai fungsinya maupun institusinya.
3.
Kedudukan
eksekutif dan legislatif adalah sejajar/sederajat karena sama-sama dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan umum sehingga kedua lembaga ini tidak dapat saling
menjatuhkan dan keduanya bertanggung jawab kepada rakyat.
4.
Presiden
disamping sebagai Kepala Negara
juga sebagai kepala eksekutif.
5.
Presiden
dan Wakil
Presiden
tidak bertanggung jawab kepada parlemen melainkan bertanggung jawab kepada
rakyat, Presiden
dan Wakil
Presiden
hanya dapat diberhentikan dari jabatanya karena alasan pelanggaran hukum, hal
ini sesuai dengan pasal 7A UUD 1945
6.
Masa
jabatanya tertentu, misalnya 5 tahun, 6 tahun atau 7 tahun, sehingga Presiden
dan juga Wakil Presiden tidak
dapat diberhentikan di tengah masa jabatanya karena alasan politik.[9]
Hal
senada juga di ungkapkan oleh Jimly Asshidiqie,
yang di kutip oleh Sulardi yaitu:
Masa
jabatan tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun atau 7 tahun, sehingga
presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan ditengah masa jabatanya
karena alasan politik.
1.
Presiden
dan Wakil Presiden langsung bertanggung jawab kepada rakyat.
2.
Presiden
dan Wakil Presiden dipilih secara langsung, atau melalui perantara tertentu
yang tidak bersifat perwakilan permanen tertentu.
3.
Presiden
tidak tunduk pada parlemen sekaligus tidak dapat membubarkan parlemen.
Dari
berbagai ciri dan karakteristik dari sistem pemerintahan presidensial maka
dapat di ambil ide pokonya, bahwa Presiden
merangkap jabatan, yaitu selaku Kepala
Negara dan selaku kepala pemerintahan dan dalam pertanggung jawabanya presiden
langsung bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada parlemen, karena presiden
dan parlemen sama-sama di pilih oleh rakyat.
Pada
dasarnya, penyebab timbulnya perbedaan antara dua sistem pemerintahan tersebut
adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh masing-masing negara
itu berlainan. Secara umum perbedaan tersebut dapat dilihat pada table berikut[11]:
Perbedaan
sistem pemerintahan parlementer dan presidensial
Sistem
pemerintahan parlementer
|
Sistem
pemerintahan presidensial
|
a.
Latar
belakang timbulnya
Timbul
dari Negara monarchi yang kemudian
mendapat pengaruh dari pertanggung jawaban menteri. Sehingga fungsi raja
merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan
legislatif, misalnya kerajaan Inggris, Belanda dan Prancis
|
a.
Latar
belakang timbulnya
Timbul dari keinginan untuk melepaskan diri dari dominasi
kekuasaan raja, dengan mengikuti ajaran Montesque dengan ajaran trias
politika. Misalnya, Negara USA timbul sebagai kebencian atas raja George III
(Inggris)
|
b.
Keuntungan
Penyesuaian
antara pihak eksekutif dan legislatif
mudah dapat dicapai
|
b.
Keuntungan
Pemerintahan
untuk jangka waktu yang di tentukan itu stabil
|
c. Kelemahaan
1.
Pertentangan
antara eksekutif dan legislatif
bias sewaktu-waktu terjadi menyebabkan kabinet harus mengundurkan diri, dan
akibatnya pemerintahan tidak stabil
2.
Sebaiknya,
seorang presiden dapat pula membubarkan legislatif
3.
Pada
sistem parlemen dengan multi partai (kabinet koalisi) apabila terjadi mosi
tidak percaya dari berbagai partai politik, sehingga sering pertukaran
(pergantian) kabinet.
|
d. Kelemahan
1.
Kemungkinan
apa yang terjadi bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan Negara menurut
eksekutif bias berbeda dari pendapat legislatif
2.
Untuk
memilih presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga
perbedaan-perbedaan yang timbul pada para pemilih dapat memengaruhi sikap
deadpan lembaga itu berlainan.
|
Terlepas
dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahaan presidensil,
masih ada satu lagi sistem pemerintahaan, yaitu sistem pemerintahaan campuran.
Sistem pemerintahan campuran ini, pada intinya adalah gabungan dari kedua sistem
pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Karena
dipengaruhi sistem pemerintahan parlementer dan presidensiil maka dalam
pelaksanaan sistem campuran ini ada dua kecendrungan, yaitu lebih condong pada
sistem presidensiil atau sitem parlementer. Sehingga dalam penyebutan sistem
campuran ini ada yang menyatakan quasi sistem pemerintahaan presidensiil atau
quasi sistem pemerintahan parlementer, tergantung sistem mana yang menjadi
dominan dalam pelaksanaanya.
[1]
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesian Pasca Amandemen
UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010, hlm.
147.
[3]
Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden di Indonesia setelah Perubanhan
UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 48.
[4]
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer, 2007,hlm. 311.
[5]
Arsyad Mawardi, Pengawasan dan Keseimbangan antara DPR dan Presiden Dalam
Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarat: Rasail
Media Group, 2013, hlm. 35-37.
[6]
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm. 150.
[7]
Titik Triwulan Tutik, Ibid, hlm. 151.
[9]
Arsyad Mawardi, Op. Cit., hlm. 35-37.
[10]
Sulardi, Op.Cit., hlm. 2.
[11]
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hlm.
151-153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar