pasang iklan
pasang iklan

Senin, 21 September 2015

ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang

Dewasa ini, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah diberlakukan atau di terapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam menangani kasus-kasus pornografi. Namun demikian penerpan Undang-undang Pornografi ini dirasa jauh dari pantauan publik, yang tentunya membawa dampak atas penerapan Undang-undang ini. karena dengan adanya pantauan dari publik ini, melikiki arti penting apakah Undang-undang Pornografi iniefektif atau tidak dalam penerapan atau implementasinya.
Mengengingat bahwa Undang-undang Pornografi ini disahkan dalam suasana yang kontroversial, maka dalam hal ini, undang-undang ini sangat berpotensi untuk tidak efektif dalam tataran penerapanya di masyarakat, khususnya di daerah-daerah tertentu yang selama ini menolak keberadaan Undang-undang Pornografi ini. sehingga Undang-undang Pornografi ini hanya sebgai norma yang tidak dapatdi tegakan di dalam masyarakat itu sendiri.
Mengingat akan berbagai uraian diatas, maka penting kiranya untuk ada kajian yang dapat mengevaluasi atau adanya analisis terhadap Undang-undang Pornografi ini, khsusnya terhadap efektifitas penerpan Undang-undang Pornografi ini.



B.            Perumusan Masalah

1.        Bagaiamana analisis konsiderans Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ?
2.        Apa dasar hukum Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ?
3.        Bagaimana Pokok Pikiran Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ?
4.        Bagaimana analisis isi Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi  dalam tinjauan Asas Hukum Perundang-undangan ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Konsiderans Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alas an pembentukan Peraturan Perundang–undangan Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuatunsurfilosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.[1]:
1.      Landasan filosofis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konsideran Undang-Undang PORNOGRAFI terdapat dalam poin menimbang a, yaitu:
“bahwa negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
2.      Landasan sosiologis
Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhny amenyangku tfakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Dalam konsideran UU PORNOGRAFI terdapat dalam poin menimbang b yaitu:
“Bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat Indonesia”

      3. Landasan yuridis

Menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hokum atau mengisi kekosongan hokum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hokum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan subtansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.
Beberapa persoalan hokum itu antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tumpang tindih, peraturan sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang belum ada sama sekali.
Dalam konsideran UU Porngrafi persoalan hukum yang muncul yaitu peraturan sudah ada tetapitidak memadai,
Dapat kita cermatidalam poin menimbang c, yaitu:
“bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hokum serta perkembangan masyarakat”.

B.        Dasar Hukum Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Dalam UU No. 44 Tahun 2008 Tentang pornografi, Dasar hukum diawali dengan kata “mengingat”. Dasar hukum memuat hal berikut :
1. Dasar kewenangan pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
2. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 20 UUD 1945 setelah amandemen menunjukkan kewenangan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar hukum yang menunjukkan bahwa pembentukan Undang-undang itu berasal usulan dari DPR. Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai HAM, jaminan terhadap perlindungan HAM tersebut melekat pada setiap warga negara Indonesia, termasuk jaminan bagi setiap orang untuk memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar hukum yang mengatur mengenai nilai agama dan nilai moral. Hal ini dicantumkan sebagai dasar mengingat maslah pornografi adalah masalah yang kompleks, melibatkan berbagai aspek.

C.           Pokok Pikiran Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai morl, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, bermain dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan,  penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembang luasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab-Kitab Undang Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta pertentangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan pornografi Undang-Undang  ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan; penyebarluasan, dan p   enguasaan pormografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan pengunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dan pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari  pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan pengunaan pornografi, yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang,, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hekuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang  ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik, dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.               
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan  kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta meghormati harkat dan martabat setiap warga negara. 

D.           Analisis Batang Tubuh  Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi memang masih menimbulkan banyak pro dan kontra, khususnya dalam tataran implementasi Undang-undang ini di masyarakat. hal ini tidak terlepas dari berbagai penolakan terhadap Undang-undang ini ketika sebelum di sahkannya dalam bentuk undang-undang. Berikut beberapa pasal yang menjadi pro dan kontra di dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
1.        Pasal-Pasal Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
a.      Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 1 UU Pornografi merupakan bagian dari Bab I tentang Ketentuan Umum dapat berisi:
1.     batasan pengertian atau definisi,
2.    singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan
3.    hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal)
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
Pada Pasal 1, sudah benar karena tertulis kalimat baku “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:”.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang a quo yang dirumuskan sebagai berikut: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Dalam Pedoman Nomor 81 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa ”Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”.
Dari definisi yang terdapat didalam Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat ketidakjelasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan frasa “yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Walaupun Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pihak Terkait yang mendukung berlakunya UU Pornografi menyatakan bahwa Undang-Undang a quo tidak diskriminatif atau mengatur hal-hal yang berhubungan dengan agama tertentu, namun rumusan “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” tidak mungkin dapat dipisahkan dengan norma adat dan norma agama yang berlaku dalam masyarakat.Dengan demikian penerapan UU Pornografi tersebut akan berlaku secara berbeda-beda dalam masyarakat. Ini dikhawatirkan jika diterapkan maka bisa terjadi adanya upaya main hakim sendiri di antara warga masyarakat karena adanya pemahaman yang berbeda terhadap pengertian “pornografi” di antara mereka. Dengan pengertian “pornografi” dalam Pasal 1 angka 1 terbuka kemungkinan setiap orang menafsirkan sesuai dengan “norma kesusilaan dalam masyarakat” yang diyakininya walaupun mereka tidak berada di tempat yang tepat.
Pada Pasal 3 huruf (c) yang berbunyi: “. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat.”
Perlu diingat bahwa masalah moral, kesusilaan, serta nilai-nilai etika adalah persoalan kultural yang sangat relatif-subyektif sifatnya. Ini bisa dilihat dari adanya keberagaman nilai-nilai etis moral dan kesusilaan yang ada di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sesungguhnya hal mengenai nilai-nilai etis moral dan kesusilaan merupakan domain kultural, maka bukan menjadi hak negara untuk berintervensi di dalamnya. Jika hal ini dilakukan oleh negara maka bisa terjadi penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Bagaimanapun, penanganan atas persoalan-persoalan kultural yang paling baik adalah melalui saluran kultural itu sendiri (semisal melalui pendekatan agama, pendidikan, dan semacamnya) dan bukan melalui campur tangan negara.
b.      Bab II Larangan dan Pembatasan
Dalam Bab Larangan dan Pembatasan dapat dilihat bahwa pada prinsipnya semua hal materi yang terbuka (telanjang sepenuhnya atau sebagaian) adalah pornografi. Dan semua itu juga pada prinsipnya dilarang, namun ada materi pornografi yang dibatasi penggunaannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 10 UU Pornografi sangat multitafsir. Pasal 13 menganggap semua hal yang terbuka adalah pornografi yang berarti cabul dan eksploitasi seksual yang melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Pornografi yang diperbolehkan. Tidak semua yang terbuka itu cabul dan eksploitasi seksual. Wajib berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan manakah yang dimaksud? Ketentuan ini semakin tidak jelas saat terdapat pasal dibawahnya yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 13 diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut sampai saat ini belum terealisasi. Pasal 14 disebutkan bahwa :
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari pasal tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa UU Pornografi telah memasukkan perlengkapan dan peralatan kesehatan serta materi dan alat ajar pendidikan sebagai materi pornografi. Tentu saja ini merupakan sesat pikir dalam UU Pornografi. Materi pornografi adalah materi yang mengandung kemesuman dan eksploitasi seksual, maka dengan adanya ketentuan pasal dapat disimpulkan bahwa perlengakapan dan peralatan kesehatan serta materi dan alat ajar dalam pendidikan adalah mengandung muatan kemesuman dan eksploitasi seksual. Nampaknya bahwa para perumus tersbut tidak tahu apa itu materi yang mengandung kemesuman dan eksploitasi seksual sehingga memasukkan hal-hal tersebut dalam pornografi yang diijinkan.
Bila kita memetakan pasal-pasal dalam UU Pornografi tentang materi pornografi, muatan pornografi, pelarangan dan pemidanaannya, serta pengaturan, maka:
1.        Materi pornografi dibagi menjadi dua, yakni materi pornografi yang memuat unsur-unsur eksplisit pada pasal 4 dan materi pornografi lainnya.
2.        Materi pornografi yang unsur-unsurnya secara eksplisit dan spesifik disebutkan dan dilarang pada pasal 4 juga dilarang pada pasal 5, 6, 7, dan 11. dengan ketentuan pidana seperti pada pasal 29, 30, 31, 32, dan 33.
3.        Materi pornografi selain pasal 4 diijinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau untuk kepentingan layanan kesehatan dan pendidikan melalui peraturan pemerintah.
4.        Sedangkan terdapat pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang pelarangan untuk materi pornografi lainnya (selain pasal 4), yakni dalam pasal 8, 9, dan 10 serta ketentuan pidananya pada pasal 34, 35, dan 36.
c.       Bab III Perlindungan Anak
UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi BAB III Perlindungan anak Pasal 15 dapat dikontruksikan pada Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “ Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi” Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak.
Pasal 16 dalam UU Pornografi yang melindungi perempuan dan anak korban pornografi. Pornografi adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam susbtansi dalam RUU APP dan RUU Pornografi justru mengkriminalkan perempuan. dalam JKP3 (Jaringan Kerja PROLEGNAS Pro Perempuan) melakukan advokasi legislasi dan intens, dan juga Melarang pornografi anak. Pornografi anak harus tegas dilarang dalam RUU Pornografi ini dan memberikan pemberatan bagi pelakunya.
Pelarangan ini meliputi pelarangan anak sebagai objek/model dan juga sebagai konsumen. Dan Menutup akses anak dan orang yang belum dewasa terhadap pornografi. Hal ini lebih ditujukan pada kematangan dalam berpikir dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka dari itu anak dan orang yang belum dewasa harus dipastikan tidak dapat mengakse smateri pornografi.
2. Analisis  Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi  
    Tinjauan Asas Hukum Perundang-undangan
Sebetulnya dalam pembahasan diatas sudah menggambarkan adanya kelebihan dan kekurangan di dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, namun dalam Sub Bab ini akan mengkaji lebih jauh bagimana kelebihan dan kekuarangan dengan di kaitkan dengan berbagai asas dalam hukum perundang-undangan sebagaiama di bawah ini.
a.      Asas Kejelasan Tujuan dan Asas Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
Pemenuhan terhadap kedua asas tersebut dalam pembentukan Undang-undang Pornografi dapat dihubungkan dengan konsideran huruf a dan dengan ketentuan di pasal 3 Undang-undang ini. Dimana terhadap alasan dan tujuan Undang-undang Pornografi yang dirumuskan dalam konsiderans memiliki beberapa kelemahan antara lain :
·      Untuk melaksanakan pasal 3 huruf a dan c tidaklah semudah membalikan telapak tangan, karena segala sesuatu mengenai etika, kepribadian, nilai-nilai ketuhanan Yang maha Esa, serta harkat dan martabat kemanusiaan bukanlah sesuatu yang dapat diatur dengan mudah diatur secara normatif dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena perlu adanya pembinaan, sedangkan dalam pasal ini hanya satu pasal yang mengatur pasal tentang pembinaan yaitu pada pasal 16, dan bahkan di dalam pasal 16 ini juga perlu adanya pengaturan yang lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, sehingga harus menunggu adanya peraturan pemerintah terlebih dahulu. Selain itu, dalam pasal 3 huruf b juga sulit bahkan tidak dapat dilaksanakan, karena “perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku” maka yang menjadi pertanyaan adalah undang-undang apa yang di maksud ?[2]

b.      Asas dapat dilaksanakan dan Asas Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Terhadap “asas dapat dilaksanakan” dan “asas kedayagunaan dan kehasil gunaan” yang menjadi pertimbangan ketika Rancangan Undang-undang tersebut diajukan, dan apakah suatu materi yang berupa nilai moral masyarakat selayaknya masuk dan dijadikan bahan rumusan suatu undang-undang, yang berpotensi mengundang kontroversi dalam penafsiranya dan bagaimana pula hukum merespon fakta adanya perbedaan nilai dan moral dalam masyarakat.
Menurut Prof. Soetandyo menyatakan sebagai berikut “dalam suatu kehidupan bernegara dan berbabangsa yang demokratik, dan berkonstitusi setiap hukum dan undang-undang yang dibentuk ataupun dibuat pada asasnya haruslah diwujudkan atas dasar konsensus....... [3] selanjutnya juga beliau mengatakan “.....makin besar kontroversi yang terjadi dalam pembentukan Undang-undang, makin besar kemungkinan kontroversi dan konflik sosial atau setidak-tidaknya akan terjadi apa yang disebut Civil disobedience.....” kontroversi dalam pembentukan undang-undang, khususnya undang-undang yang berasal dari nilai-nilai moral atau nilai-nilai sosial yang menurut faktanya dalam kehidupan negeri yang berkembang ini amat berbeda-beda dalam keragaman yang cukup besar.[4]
c.       Asas kejelasan rumusan
Pasal 1 angka 1 UU Pornografi merupakan bagian dari Bab I tentang Ketentuan Umum dapat berisi:
1.     batasan pengertian atau definisi,
2.    singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan
3.    hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal)
Pada Pasal 1, sudah benar karena tertulis kalimat baku “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:”.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang a quo yang dirumuskan sebagai berikut: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Dalam Pedoman Nomor 81 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa ”Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”.
Dari definisi yang terdapat didalam Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat ketidakjelasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan frasa “yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Walaupun Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pihak Terkait yang mendukung berlakunya UU Pornografi menyatakan bahwa Undang-Undang a quo tidak diskriminatif atau mengatur hal-hal yang berhubungan dengan agama tertentu, namun rumusan “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” tidak mungkin dapat dipisahkan dengan norma adat dan norma agama yang berlaku dalam masyarakat.Dengan demikian penerapan UU Pornografi tersebut akan berlaku secara berbeda-beda dalam masyarakat. Ini dikhawatirkan jika diterapkan maka bisa terjadi adanya upaya main hakim sendiri di antara warga masyarakat karena adanya pemahaman yang berbeda terhadap pengertian “pornografi” di antara mereka. Dengan pengertian “pornografi” dalam Pasal 1 angka 1 terbuka kemungkinan setiap orang menafsirkan sesuai dengan “norma kesusilaan dalam masyarakat” yang diyakininya walaupun mereka tidak berada di tempat yang tepat.

BAB III
KESIMPULAN

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.        Konsiderans dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dilandasi oleh alasan sosiologis, filosofis dan yuridis yang pada pokoknya adalah berdasarkan nilai nilai moral dan etika bangsa Indonesia sesuai Pancasila sebagai instrumen untuk menjawab permasalahan akan kebutuhan masyarakat untuk mengakal pornografi.
2.        Dasar Hukum adanya Undang-undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi adalah Pasal 20, 21, 28 B ayat (2), 28J ayat (2) dan pasal 29 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
3.        Pokok Pikiran Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi tertuang dalam Penjelasan Umum Undang-undang ini yang pada pokoknya untuk mejawab kebutuhan masyarakat pada era globalisasi atas mudahnya penyebarluasan dan penyalahgunaan pornografi dan untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi.
4.        Analisis terhadap isi Undang -undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi  lebih banyak mengenai kelemahan dan kekurangan dari undang-undang ini, dimana dalam undang-undang ini banyak melanggar beberapa asas Hukum Perundang-undangan antara lain aas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta asas kejelasan rumusan.



[1]Lampiran II Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan
[2] Risalah Putusan MK dalam disenting Opinion Hakim Anggota Maria Farida dalam Uji Materil Undang-undang No. 44 tahun 2008 Tentang Pornografi.
[3] Risalah Putusan MK dalam Pendapat Ahli Prof. Setandyo Wignjosebroto dalam Uji Materil Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
[4] Op cit, Risalah Putusan MK dalam disenting Opinion Hakim Anggota Maria Farida

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia