pasang iklan
pasang iklan

Senin, 15 Agustus 2016

Peranan Dewan Pengawas Syariah Dalam Mewujudkan Good Corporate Governance Pada Perbankan Syariah

DPS sebagai pengawas memiliki kesamaan dengan fungsi komisaris. Bedanya, kepentingan komisaris dalam melakukan fungsinya adalah memastikan bank agar bank tersebut selalu menghasilkan keuntungan. Namun kepentingan DPS adalah menjaga kemurnian syariah (ajaran Islam) dalam kegiatan operasional perbankan. Oleh karena itu, kedudukan komisaris dan DPS mempunyai potensi untuk melahirkan konflik, sebab DPS harus berpihak pada kemurnian syariah sedangkan komisaris harus berpihak pada keuntungan yang lebih condong mengarah pada penyimpangan syariah.
Jadi DPS merupakan lembaga yang khas yang hanya dimiliki oleh lembaga keuangan yang berbasis syariah. Tugasnya sangat berat yaitu sebagai pengawas kegiatan usaha bank agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah. Dalam menjalankan tugas tersebut maka DPS perlu dibekali dengan wewenang yang cukup dan harus membuat aturan yang rinci mengenai kedudukannya. Hal tersebut akan membuat prinsip GCG lebih mudah diterapkan dalam DPS.[1]

Kamis, 11 Agustus 2016

Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia




berminat beli bukunya ??

Seiring dengan berkembangnya industri pasar modal di suatu Negara, maka semakin dibuthkan juga ketersediaan manusia dengan pemahaman sekaligus keahlian yang memadai untuk menopang laju pertumbuhan industry tersebut dimasa datang. Di Negara manapun perkembangan pasar modal tidak terlepas dari tindak kejahatan. Oleh karena itu sector hokum unutk pasar modal senantiasa diharapkan berkembang pesat dan mampu mempersempit peluang kejahatan. Pada dasaranya peraturan mengenai perundangan psar modal mengatur keterbukaan informasi materiil, mencegah pemberian informasi yang meyesatkan sertab melarang adanya kejahatan yang bersifat penipuan atau kecurangan dalam transaksi perdagangan efek. 
berminat beli bukunya ??

Keberadaan dan Kedudukan DPS dalam Perbankan Syariah

Salah satu perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah kewajiban memposisikan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam perbankan syariah. DPS adalah lembaga independen atau juris khusus dalam bidang fiqih muamalat. Namun DPS juga bisa beranggotakan diluar ahli fiqih tetapi harus memiliki keahlian dalam bidang lembaga keuangan Islam dan fiqih muamalat.[1]
 Fiqih artinya faham atau pengertian, jadi ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam didalam kitab-kitab hadis.[2]
 Muamalat dalam pengertian luas, yakni ketetapan yang diberikan oleh Tuhan yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia, terbatas pada yang pokok-pokok saja.[3]
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dinyatakan bahwa dalam suatu perbankan Islam harus dibentuk DPS.[4] Begitu juga dalam Undang-undang tentang Perbankan Syariah dinyatakan bahwa DPS wajib dibentuk di Bank Syariah dan bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah.[5]

Rabu, 10 Agustus 2016

RESENSI BUKU “NEGARA HUKUM”



Dalam kaitannya dengan negara hukum, Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, S.H memusatkan obyek penelitiannya tentang negara hukum yang dalam bahasa belanda disebut rechtsstaat. Ada dua aspek penting yang disoroti melalui kajian ini yaitu prinsip-prinsip negara hukum dilihat dari segi hukum islam danimplementasinya selama masa Rasulullah dan khulafa Rasyidin serta pada masa kini. Beliau melihat mencoba melihat praktik bernegara pada masa Rasulullas dan masa khulafa Rasyidin, kemudian mencoba memasukkan dan memaparkannya bagimana islam mengatur tentang bentuk negara hukum.  Beliau sepakat dengan pandangan Louis Gardet sebagaimana yang dikutip oleh H.M rasjidi bahwa konsep negara dalam hukum islam adalah suatu negara yag penguasa-penguasanya adalah orang-orang biasa yaitu tidak merupakan lembaga kekuasaan rohani, dengan satu ciri yang sangat menonjol adalah “egaitaire” yaitu persamaan hak antara penduduk, baik yang biasa maupun yang alim mengetahui agama. Baik yang beragama islam maupun yang bukan islam.  Beluai juga mengitup rumusan Majid Khadduri tentang nomokrasi yang dikutipnya dari the oxford dictionary, “Nomokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang didasarkan paa suatu kode hukum rule of law dalam suatu masyarakat”. Beliau menilai, rumusan nomokrasi disini masih mengandung atau merupakan genus begrip. Karena itu dalam kaitannya dengan konsep negara menurut islam beliau berpendapat nomokrasi islam adalah predikat yang tepat untuk sebuah pemerintahan dalam islam.  Nomokrasi islam adalah suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum islam. Ia merupakan the rule of islamic law. Nomokrasi islam memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam al-qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Dengan kata lain, meminjam pendapat Dosen Yusdani, M.Ag dalam perkuliahan bahwa apabila islam (al-qur’an dan sunnah) mengatur tentang bentuk sebuah negara, maka hal itu akan tidak relevan dengan perkembangan jaman ini. Sehingga memang pada kenyataannya al-qur’an dan sunnah hanya menentukan prinsip-prinsip umumnya saja dan tidak tertarik untuk membicaraka bentuk pemerintahan atau negaranya. Dalam kaitannya dengan negara indonesia, berdasarkan penelitiannya sendiri, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut : 1. Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; 2. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; 3. Kebebasan beragama dalam arti positip; 4. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; 5. Asas kekeluargaan dan kerukunan. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara. menurut Muhammad Tahir Azhary konsep rechtsstaat yang dianut Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum sendiri yaitu Negara Hukum Pancasila, dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; (2) Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) Kebebasan beragama dalam arti positip; (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5) Asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun unsur-unsur pokok Negara Hukum RI adalah: (1) Pancasila; (2) MPR; (3) Sistem konstitusi; (4) Persamaan; dan (5) Peradilan bebas.  sumber : Prof. Dr. Tahir Azhary bukunya berjudul Negara Hukum

Hasil gambar untuk resensi buku Negara Hukum oleh Prof.Dr.H.Muhammad Tahir Azhary,S.H
minat beli bukunya klik link berikut : disini 
penulis adalah mahasiswa Fak IAI jurusan Hukum Islam

Sumber : http://hukumislam-uii.blogspot.co.id/2009/03/negara-hukum-resensi.html


Hak Penguasaan Atas Tanah


a)   Pengertian hak penguasaan atas tanah
Pengertian hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. “sesuatu” yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat tersebu merupakan tolak pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah negara yang bersangkutan.[1]
Jadi hak penguasaan atas tanah yaitu hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan tanah yang dikuasainya. Wewenang tersebut berisi kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang harus di perhatikan oleh pemegang haknya.
Kewajiban pemegang hak penguasaan atas tanah adalah dengan memperhatikan asas dari hak atas tanah yaitu[2] :

Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi


Kewajiban Mahkamah Kosntitusi dalam hal memutus pendapat DPR terhadap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan jika keduanya tidak memenuhi syarat menjadi Presiden dan/atau wakil Presiden, dalam proses pemberhentian atau Impeachment di dasarkan pada pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Dasar 1945  juncto pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, pengaturan lebih jauh mengenai proses beracara di Mahkamah Konstitusi tidak dijelaskan lebih lanjut di dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkan diatur lebih khusus di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[1]
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi  pada pasal 2 ayat (2) tersebut, pihak yang memohon putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat Dewan Perwakilan rakyat (DPR) adalah DPR yang diwakili oeh pimpina DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya, serta permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia, 12 rangkap yang ditanda tangani oleh pimpinan DPR atau kuasa hukumnya (pasal 3 ayat (2) dan (3)).

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia