pasang iklan
pasang iklan

Minggu, 27 Oktober 2013

REFLEKSI SUMPAH PEMUDA DAN BAHASA "ALAY", "VIKINISASI"

Menilik kembali ke masa lampau, pada tanggal 28 oktober 1928 adalah tanggal yang istimewa bagi pemuda Indonesia. Karena pada tanggal itu terjadi peristiwa yang sangat penting bagi bangsa ini "Sumpah Pemuda", Sumpah Pemuda ini di latar belakangi pemuda Indonesia pada waktu itu mempunyai keinginan untuk bersatu, berkumbul, bertekad untuk memajukan bangsa Indonesia.

Latar belakang lahirnya sumpah pemuda yang sangat mulia ini menjadi dasar perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Dalam perjalanan sejarah di Indonesia pemuda sangat memberikan kontribusi yang sangat penting, mulai dari perjuangan merebut kemerdekaan yang di pelopori dan di gerakan oleh kaum muda, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sampai reformasi pada tahun 1998.

Namun, kebesaran pemuda Indonesia sepertinya pupus begitu saja ketika kita melihat realitas pemuda Indonesia saat ini. banyak para pemuda kita yang lupa akan jati dirinya sebagai generasi penerus bangsa. banyak pemuda Indonesia yang malah memuja-muja budaya luar Indonesia yang kurang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. terutamanya dalam berbahasa.

Ada yang sangat menarik untuk ditelisik dan dikaji mengenai bahasa dalam sumpah pemuda dengan bahasa yang digunakan sebagian besar pemuda Indonesia saat ini. Dalam sumpah pemuda ada ikrar bagi pemuda Indonesia yaitu "kami poetra dan poetri indonesia, mendjoenjoeng bahasa persatoen, bahasa Indonesia", dahulu pemuda kita berikrar untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Mereka bangga dengan bahasa Indonesia. dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bentuk persatuan pemuda dari berbagai suku bangsa di Indonesia demi terciptanya persatuan Indonesia.

Namun, menjadi ironi pada saat ini, ketika banyak pemuda menggunakan bahasa-bahasa "alay" dan bahasa-bahasa "vikinisasi". Yang menjadi pertanyaan penulis adalah, apakah pemuda saat ini tidak bangga dengan bahasa persatua kita, bahasa Indonesia. Kita pasti ingat seorang pemuda yang bernama Viki menggunakan bahasa yang sangat sulit di pahamami bagi orang lain. Ada istilah "konspirasi ekomomi" "harmonisasi cinta" dan lain sebagainya. masih lebih baik menggunakan bahasa daerah dalam rangka menjaga kelestarian bahasa daerah.

Dengan ironi yang demikian, apakah penggunaan bahasa bisa menjadi indikator dalam menjujung nilai-nilai persatuan bangsa ? ini menjadi refleksi pribadi masing-masing dalam berbahasa. semoga ikrar yang dikumandangkan pemuda-pemuda indonesia pada saat Soempah Pemoeda masih kita ingat dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari, aamiin......

do'a penulis untuk pemuda Indonesia

KONSEP HUKUM PERBURUHAN DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Dalam kepustakaan hukum pada saat ini, masih ada beberapa kalangan yang menyatakan hukum perburuhan dan hukum ketenagakerjaan adalah sama. Namun, sebetulunya istilah buruh dan ketenagakerjaan ini berbeda sehingga dari perbedaan ini juga akan mempunyai dampak yang berbeda pula. Karena dengan istilah ini akan mempunyai dampak mengenai ruang lingkup kajianya, terutama dalam hukum perburuhan dan ketenagakerjaan.

Lalu, sebelum kita mengkaji lebih jauh, kita akan mengkaji bagaimana konsep hukum perburuhan dan ketenagakerjaan itu sendiri. Hukum perburuhan itu sendiri menurut Imam Soepomo (1982 : 2) disebutkan mengenai definisi hukum perburuhan antara lain menurut Moelnnar yakni hukum perburuhan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, buruh dengan buruh, dan antara buruh dengan penguasa, lalu menurut Soepomo (Lalu Husni : 22) memberi pengertian hukum perburuhan sebagai himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerpima upah.

Mengkaji pengertian dari Imam Soepomo, maka dapat kita simpulkan bahwa, hukum perburuhan hanya mengatur hubungan keperdataan antara orang yang bekerja (buruh) dengan orang lain (majikan).

Sedangkan hukum ketenagakerjaan sendiri mempunyai pengertian yang berbeda dengan hukum perburuhan, menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan menurut Undang-undang tersebut adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja.

Jadi pengertian dan konsep mengenai hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan. hal ini di dasarkan pada ruang lingkup kajian yang ada, yang dilandasi dari pengertian hukum perburuhan dan ketenagakerjaan.

Kamis, 24 Oktober 2013

LEMABAGA NEGARA DAN TEORI PERWAKILAN LEMBAGA NEGARA




                               I.            PENEGRTIAN LEMBAGA NEGARA

secara sederhana lembaga negara adalah badan-badan yang membentuk sistem
dan menjalankan pemerintahan negara.[1]
Atau, lembaga negara adalah lembaga pemerintahan atau "civilizated organization" dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara , dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara itu sendiri[2]

                            II.            TEORI-TEORI LEMBAGA PERWAKILAN

Teori Mandat

Seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion. Teori mandat ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok pendapat :

1.      Mandat Imperatif, menurut teori ini bahwa seorang wakil yang bertindak di lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang tidak terdapat dalam perintah tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang diwakilinya. Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas.
2.      Mandat Bebas, teori ini berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada perintah (intruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil adalah merupakan orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori Mandat Representatif.

3.      Mandat Representative, teori ini mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk minta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga perwakilan kepada rakyat pemilihnya.

Teori Organ

Ajaran ini lahir di Prancis sebagai rasa ketidakpuasan terhadap ajaran teori mandat. Para sarjana mencari dan membuat ajaran/teori baru dalam hal hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya. Teori Organ diungkapkan oleh Von Gierke (Jerman), bahwa negara merupakan satu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapannya seperti : eksekutif, parlemen dan rakyat, yang semuanya itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri namun antara satu dengan lainnya saling berkepentingan.

Dengan demikian maka setelah rakyat memilih lembaga perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga ini bebas menjalankan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

Teori Sosiologi

Ajaran ini menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis, akan tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Para pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dianggap benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan yang akan bersungguh-sungguh membela kepentingan para pemilih. Sehingga lembaga perwakilan yang terbentuk itu terdiri dari golongan-golongan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Artinya bahwa lembaga perwakilan itu tercermin dari lapisan masyarakat yang ada. Yang membahas teori ini dipelopori oleh Rieker.

Teori Hukum Obyektif

Leon Duguit mengatakan bahwa hubungan antara rakyat dan parlemen dasarnya adalah solidaritas. Wakil-wakil rakyat dapat melaksanakan dan menjalankan tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas kenegaraannya tanpa memberikan dukungan kepada wakil-wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintah. Dengan demikian ada pembagian kerja antara rakyat dan parlemen (Badan Perwakilan Rakyat). Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas adalah merupakan dasar dari hukum dan bukan hak-hak yang diberikan kepada mandataris yang membentuk lembaga perwakilan tersebut.[3]




[1] http://iwansukmanuricht.blogspot.com/201
[2] http://po-box2000.blogspot.com/2010/11/lembaga-lembaga-negara-di-indonesia.html
[3] http://www.bisosial.com/2012/05/teori-teori-lembaga-perwakilan.html

Selasa, 22 Oktober 2013

SEKILAS TENTANG POGING



PENGERTIAN POGING

Dalam hukum pidana dikenal istilah poging atau percobaan. Poging sendiri memiliki pengertian yang menurut Memorie van Teolichting yaitu sebuah kalimat yang berbunyi “poging tot misdrif is dan de bengonnen maar niet voltooide uitveoring van het misdrif, of wel door een begin van uitveoring geopenbaarde wil om een bepaald misdrif te plegen” . yang artinya : “dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan.[1] Tapi, yang perlu di ketahui dalam poging, bukan definisi poging tetapi unsur poging yang menjadi batas percobaan yang dipidana[2] dan poging di atur dalam pasal 53 KUHP.

SIFAT POGING

Dilihat dari sifat poging, timbulah pertanyaan “ Apakah poging merupakan delik berdiri sendiri (delictum sui generis) atau delik yang tidak sempurna ?” maka dari pertanyaan tersebut ada dua pandangan mengenai jawaban dari pertanyaan di atas, yaitu Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat dipidanannya orang ) dan tatbestandausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan).[3]
Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat dipidanannya orang). Menurut pandangan ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu delik meskipun tidak memenuhi semua unsur delik, tetap dapat dipidana apabila telah memenuhi semua rumusan pasal 53. Jadi sifat percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang, bukan memperluas rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini, percobaan tidaklah dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvrom). Termasuk dalam pandangan ini Hazewinkel-Suringa dan Oemar Seno Adji.[4]
Percobaan dipandang sebagai tatbestandausdehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan). Menurut pandangan ini, percobaan melakukan suatu delik merupakan suatu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna tetapi merupakan delik yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus. Jadi merupakan suatu delik tersendiri (delictum sui generis). Termasuk dalam pandangan ini Pompe dan Moeljatno.


Alasan Prof. Moeljatno, memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri ialah :
  1. pada dasarnya orang dipidana itu karena melakukan suatu delik.
  2. Dalam konsepsi ”perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya perbuatan itu sendiri bagi keselamatan masyarakat.
  3. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang tidak sempurna, yang ada hanya delik selesai.
  4. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun pelaksanaan dari perbuataan itu sebenarnya belum selesai, jadi merupakan percobaan percobaan. Misalnya delik-delik makar dalam pasal 104, 106, 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof. Moeljatno terakhir ini, dapat pula misalnya dikemukakan contoh adanya pasal 163. Menurut pasal ini suatu percobaan untuk melakukan penganjuran (poging tot uitlokking) atau biasa disebut dengan penganjuran yang gagal tetap dapat dipidana, jadi dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri.
Mengenai adanya dua pandangan diatas, Prof Moeljatno berpendapat bahwa pandangan yang pertama sesuai dengan masyarakat individual karena yang diutamakan adalah ”dapat dipidananya orang” sedangkan yang kedua sesuai dengan alam masyarakat kita sekarang yang diutamakan adalah ”perbuatan yang tidak boleh dilakukan”.[5]

DASAR PATUT DIPIDANANYA POGING

Mengenai dasar patut tidaknya poging dalam pemidanaanya ada beberapa teori yang mengaturnya, antara lain :
1.      Teori subjektif : mendasarkan pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari pelaku (al Van Hamel)
2.      Teori objektif : mendasarkan pada sifat berbahayanya perbuatan. Dalam teori ini di bagi lagi menjadi teori objektif formil yaitu sifat berbahayanya perbuatan terhadap tata hukum ( al Duynste ) danteori objektif materil yaitu sifat berbahayanya perbuatan terhadap kepentingan hukum ( al Simons ).
3.      Teori campuran yaitu : dasar patut dipidanya poging selain mendasarkan pada sifat berbahayanya pelaku juga perbuatan ( al Moeljatno )[6]

UNSUR-UNSUR POGING DALAM PASAL 53 KUHP

Menurut pasal 53 KUHP ada beberapa unsur dalam poging, yaitu :
·         Adanya niat dari pelaku
·         Diwujudkan dengan perbuatan pelaksanaan
·         Pelaksanaan tidak selesai bukan semata mata karena kehendak sendiri[7]

A.    Niat
Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa niat itu sama dengan kesengajaan dengan segala coraknya, kecuali VOS yang mengartikan secara sempit yaitu niat sama dengan kesengajaan dengan segala maksud.
Contoh kasus :
                                            Arrest Hoge Raad
Seorang polisi lalu lintas menghentikan kendaraan bermotor untuk sebuah operasi, tetapi sopirnya tidak menurut dan berjalan terus, sehingga jika petugas tidak menghindar akan tertabrak dan mati. Maka putusan HR. Percobaan Pembunuhan (tidak mengikuti pendapat VOS).[8]

B.     PERMULAAN PELAKSANAAN

Unsur kedua ini merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan.
Bertolak dari pandangan atau teroi percobaan yang subjektif, van Hammel berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternayat adanya kepastian nit untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh van Hammel adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat .
Bertolak dari pandangan teori percobaan yang objektif materil, Simons berpendapat bahwa :
  1. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik.
  2. Pada delik materil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh UU tanpa memerlukan perbuatan lain.
Menurut pendapat Prof.Moeljatno yang dapatdigolongkan penganut teori campuran. Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksaan dalam delik percobaan, beliau berpendapat yang harus diperhatikan :
  1. Sifat atau inti dari delik percobaan;
  2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya.
Mengingat kedua faktor tersbut, maka perbuatan pelaksaan harus memenuhi 3 syarat, yaitu :
  1. Secara objektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang ditujukan atau harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
  2. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan pada delik yang tertentu tadi.
  3. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Dengan demikian menurut beliau, diakatak ada perbuatan pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan :
  1. yang secara objektif mendekatkan pada suatu kejahatan tertentu;
  2. Secara subjektif tidak ada keraguan lagi delik mana yang diniatkan;
  3. Perbuatan itu sendiri bersifat melawan hukum.
Untuk menentukan apakah perbuatannya itu bersifat melwan hukum, Prof Moeljatno berpendapat bahwa segi subjektif dan objektif bersama-sama mempunyai pengaruh timbal balik menurut keadaan tiap-tiap perkara. Ada kalanya perbuatan lahir yang sepintas lalu merupakan perbuatan pelaksaan dari suatu kejahatan, tetapi karena jelas tak adanya niat untuk melakukan kejahatan itu, harus tidak dikualifisir sebagai melawan hukum.
Sebaliknya adakalanya juga bahwa perbuatan lahir yang tampaknya tidak jahat sama sekali, tetapi karena jelas didorong oleh niat untuk melakukan kejahatan maka harus ditentukan sebagai melwan hukum.[9]

C.     PELAKSANAAN TIDAK SELESAI

Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal sbb:
  1. Adanya penghalang fisik
  2. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
  3. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri secara sukarela. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan :
  1. Pengunduran diri secara sukarela (rucktriit) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik tersebut.
  2. Tindakan penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksaan sudah diselesaikan tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.
Maksud dicantumkannya unsur pengunduran diri dalam Pasal 53 KUHP :
  1. Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengurungkan kejahatan yang ia telah mulai tetapi belum terlaksana tidak dipidana.
  2. Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas) bahwa usaha yang paling tepat untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidana orang yang telah mulai melakukan kejahatan tetapi dengan sukarela mengurungkan pelaksanannya.
Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan :
  1. Alasan penghapusan pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe)
  2. Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji)
  3. Alasan penghapusan penuntutan (Vos, Moeljatno)
Mengenai konsekuensi adanya unsur ketiga dalam Pasal 53 KUHP,ada dua pendapat :
  1. Mempunyai konsekuensi materiil, artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melakat pada percobaan, jadi bersifat accesoir (tidak berdiri sendiri). Dengan kata lain untuk adanya percobaan unsur ketiga ini (tidak selesainya pelaksaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela maka tidak ada percobaan.
  2. Mempunyai konsekuensi formil artinya karena unsur ketiga ini dicantumkan dalam pasal 53 maka unsur tersebut harus disebutkan dalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ketiga tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accesoir, ia merupaka unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada.[10]







[1] http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com/2010/11/percobaan-pidana.html
[2] Bahan kuliah hukum pidana dan pemidanaan, Kuat Puji Prayitno
[3] Ibid hlm 4
[6] Bahan kuliah hukum pidana dan pemidanaan, Kuat Puji Prayitno, hlm 4
[7] Ibid, hlm 5
[8] Ibid, hlm 7

Kamis, 10 Oktober 2013

PERAN KOMISI HUKUM NASIONAL DALAM REFORMASI HUKUM DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, mengalami perubahan yang sangat besar semenjak adanya reformasi. Reformasi yang digadang-gadang untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih demokratis. Selain reformasi yang menuntut adanya demokratisasi juga menuntut adanya reformasi di bidang hukum.
Reformasi di bidang hukum ini memiliki tujuan untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supermasi hukum dan hak-hak asasi manuisa berdasarkan keadilan, dan kebenaran. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam Keputusan presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2000 Tentang Komisi Hukum Nasional.

Minggu, 06 Oktober 2013

"PERPU" LANGKAH PENYELAMATAN MK ( TEPAT/TIDAK TEPAT )

Berawal dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Konstitusi, Presiden Republik Indonesi Susilo Bambang Yudhoyono berencana mengeluarkan perpu atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang ditujukan dalam rangka penyelamatan krisis di Mahkamah Konstitusi.

Dari rencana itu, ada sebuah kontroversi terkait rencana penerbitan perpu dalam rangka penyelamatan Mahkamh Konstitusi. Menurut Jimly, perpu itu inkonstitusional.

"Itu adalah langkah inkonstitusional dan tidak menyelesaikan masalah," kata Jimly saat dihubungi, Sabtu (6/10/2013).

Menurut Jimly, langkah presiden tidak tepat. Rencana membuat Perpu dinilai emosional.

"Antara masalah yang dihadapi dengan tindakan yang dilakukan sama sekali tidak nyambung. Kalau soal masyarakat marah tentu harus dimaklumi, tapi kita tidak boleh jadikan emosi sesaat sebagai sumber referensi dalam membuat keputusan seperti dengan ujug-ujug membuat Perpu," tutur Jimly.

Namun, di satu sisi Mahfud MD. menilai langkah yang akan dilakukan Susilo Bambanng Yudhoyono sudah tepat, dan beliau mendukung penuh. begitu juga dengan Yuzril Iza Mahendra mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengatakan rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tepat. Hal ini untuk mengatasi krisis di MK paska ditangkapnya Akil Mochtar oleh KPK.

"Langkah Presiden SBY untuk mengeluarkan perpu untuk mengubah Undang-Undang (UU) MK adalah langkah yang tepat untuk atasi krisis yang melanda MK," ujar Yusril seperti dikutip dari Antara, Sabtu (5/10).

Menurut dia, mustahil jika ada lembaga negara tanpa ada yang mengawasi. Yusril mengusulkan agar Komisi Yudisial (KY) kembali diberi wewenang mengawasi hakim MK seperti yang telah diatur UU, namun dibatalkan oleh MK sendiri.

"MK memang berwenang menguji UU apa saja, termasuk menguji UU yang mengatur dirinya. Namun, MK harus menahan diri dan menjunjung tinggi etika agar tidak menguji UU yang berkaitan dengan MK sendiri. Tindakan seperti itu tidak etis," lanjut dia.

Yusril menambahkan ada kesan kuat MK ingin menjadi superior. Hal tersebut terjadi sejak zaman kepemimpinan Jimly, sehingga setiap UU yang membatasi MK mau mereka batalkan.

"Termasuk kewenangan KY untuk mengawasi hakim MK," terang Yusril.

Perpu tersebut, lanjut Yusril, hendaknya mengatur pencabutan kewenangan MK untuk mengadili perkara Pilkada, dengan masa transisi tertentu. Yusril mengharapkan jika nanti perpu sudah disahkan DPR menjadi UU, maka MK jangan lagi menguji UU yang mengatur dirinya.


Melihat dari itu semua, penulis berpendapat bahwa sesuatu peraturan yang sifatnya konstitusional dalam menghadapi krisis mengenai suatu lembaga tinggi negara tidaklah masalah, apalagi lembaga itu adalah Mahkamah Konstitusi yang notabenya adalah Guardian of Constitusional. sehingga diperlukan suatu langkah yang cepat dan tepat.


Sumber :
http://www.merdeka.com/peristiwa/yusril-dukung-presiden-sby-terbitkan-perpu-mahkamah-konstitusi.html
http://news.detik.com/read/2013/10/06/080243/2379005/10/jimly-perpu-yang-disiapkan-sby-untuk-mk-inkonstitusional?991104topnews

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia