pasang iklan
pasang iklan

Selasa, 01 Oktober 2013

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UU PERKWAINAN NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA



Perjanjian kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. [1]
Jadi dalam perjanjian perkawinan ini memiliki beberapa unsur pokok yaitu :
1.      Dibuat oleh calon suami istri
2.      Dilakukan sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan
3.      Untuk mengatur harta kekayaan mereka dalam perkawinan.
Gambaran yang di ungkapkan oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang diatur dalam Bab V tentang perjanjian perkawinan pasal 29 dan 4 ayat yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 29
(1)   Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)   Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)   Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
(4)   Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.[2]
Dalam pasal 29 ayat (1) menerangkan bahwa dalam perjanjian perkawinan dilakukan secara tertulis, dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yang dilakukan sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan. Serta isi dari perjanjian perkawinan tersebut juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut dengan perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang melakukan pernjanjian perkawinan, yang dalam hal ini adalah suami istri.
Dalam  pasal 29 ayat (2) menerangkan batasan-batasan kapan perjanjian perkawinan tidak berlaku, yaitu bila melanggar norma-norma yang berlaku dalam hal ini adalah perjanjian tersebut melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Ini juga terkait dengan pasal 1320 BW tentang syarat sahnya perjanjian perkawinan. Yang bila dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Lalu pasal 29 ayat (3) menerangkan kapan berlakunya perjanjian perkawinan tersebut. Perjanjian perkawinan itu berlangsung setelah adanya perkawinan dan berlaku sampai perkawian itu putus, baik itu karena salah satu dari pasangan tersebut meninggal atau karena cerai, atau perjanjian tersebut dibatalkan bersama oleh pihak-pihak yang terkait, yang dalam hal ini juga terkait dengan pasal 29 ayat (4). Namun dalam pasal 29 ayat (4) juga menerangkan dalam perjanjian perkawinan tersebut menerangkan bahwa bila ada perubahan dalam perjanjian perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Tentang perjanjian perkawinan juga diatur pada Bab VII KUH Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan. Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
  1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
  2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
  3. Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
  4. Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.[3]

Setelah kita mengkaji perjanjian perkawinan menurut Bab. VII KUH Perdata (BW) dalam pasal 139 sampai dengan pasal 154 dan Undang-Undang No.1 tahun 1974  terutama dalam pasal 29 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) yang bisa digunakan dalam hukum yang berlaku di Indonesia adalah perjanjian perkawinan sesuai dengan yang di atur dalam Undang-Undang perkawian No. 1 tahun 1974. Karena Undang-Undang perkawinan adalah Lex Spesialis dari KUHPdt.


[1] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988
[2] Undang-Undang perkawinan No. 1 tahun 1974
[3] http://bolmerhutasoit.wordpress.com/tag/perjanjian-perkawinan-dalam-hukum-perdata-barat-kuh-perdata/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia