pasang iklan
pasang iklan

Rabu, 10 Agustus 2016

Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi


Kewajiban Mahkamah Kosntitusi dalam hal memutus pendapat DPR terhadap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan jika keduanya tidak memenuhi syarat menjadi Presiden dan/atau wakil Presiden, dalam proses pemberhentian atau Impeachment di dasarkan pada pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Dasar 1945  juncto pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, pengaturan lebih jauh mengenai proses beracara di Mahkamah Konstitusi tidak dijelaskan lebih lanjut di dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkan diatur lebih khusus di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[1]
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi  pada pasal 2 ayat (2) tersebut, pihak yang memohon putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat Dewan Perwakilan rakyat (DPR) adalah DPR yang diwakili oeh pimpina DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya, serta permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia, 12 rangkap yang ditanda tangani oleh pimpinan DPR atau kuasa hukumnya (pasal 3 ayat (2) dan (3)).


Dalam hal pendapat DPR berkaitan dengan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu dan tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Begitupun dengan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.[2] Selain itu, DPR juga wajib melampirkan dalam permohonannya alat bukti berupa[3] :
a.       Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR yang didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR;
b.      Dokumen hasil fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung dengan materi permohonan;
c.       Risalah dan/atau berita acara rapat DPR;
d.      Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menjadi dasar pendapat DPR.
Panitera Mahkamah Konstitusi memeriksa kelengkapan dan persaratan permohonan. Permohonan yang belum lengkap dan/atau belum memenuhi syarat, diberitahukan kepada DPR untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi dalam jangka waktu paling lama 3 hari kerja. Penitera mencatat permohonan yang sudang lengkap dalam Buku Register Perkara Mahkamah Konstitusi (BRPK). Kemudian panitera mengirimkan satu berkas permohonan yang sudah diregistrasi kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam jangka waktu paling lambat 3 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan tanggapan tertulis atas permohonan dimaksud.[4] Tanggapan tertulis Presiden dan/atau Wakil Presiden dibuat dalam rangkap 12 dan sudah diterima panitera paling lambat 1 hari sebelum sidang pertama di mulai.[5]
Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidengan pertama paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi oleh panitera. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pihak-pihak dan diumumkan kepada masyarakat melaluo penempelan salinan pemberitahunan di papan pengumuman Mahkamah yang khusu digunakan untuk itu.[6] Namun, dalam kebiasaanya di Mahkamah Kosntitusi pemberitahuan kepada khalayak ramai atau masyarakat di umumkan juga pada situs website resmi Mahkamah Konstitusi.
Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya oleh 7 orang Hakim Konstitusi. Sidang pleno dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan bersidat terbuka untuk umum.[7]
Persidangan berlangsung dalam 6 tahapan yaitu sebagai berikut [8]:
Tahap I            : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Tahap II           : Tanggapan Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Tahap III         : pembuktian Oleh DPR
Tahap IV         : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Tahap V           : Kesimpulan
Tahap VI         : Putusan
Sidang pemeriksaan pendahuluan wajib dihadiri oleh pimpinan DPR dan kuasa hukumnya. Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak untuk tidak dapat menghadiri sidang, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diwakili oleh kuasa hukumnya.[9]
Dalam pemeriksaan pendahuluan, Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan atas kelengkaan dan kejelasan materi permohonan. Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan seketika itu juga.[10] Setelah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pimpinan DPR untuk membacakan dan/atau menjelaskan permohonanya. Setelah pembacaan dan/atau penjelasan permohonan, Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden atau kuasa hukumnya yang mewakili untuk mengajukan pertanyaan dalam rangka kejelasan materi permohonan.[11]
Dalam persidangan tahap II, Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir dan dapat di dampingi oleh kuasa hukumnya untuk menyampaikan tanggapan terhadap pendapat DPR yang diajukan ke Mahkamah.[12] Selain itu, Mahkamah juga memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan tanggapan balil. Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada hakim untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.[13]
Dalam persidangan tahap III, DPR wajib membuktikan dalil-dalilnya dengan alat bukti [14]:
a)      Surat;
b)      Keterangan saksi;
c)      Keterangan ahli;
d)     Petunjuk;
e)      Alat bukti lainya, seperti alat bukti yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.
Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang urutanya dilakukan sesuai kebutuhan. Dalam pemeriksaan alat bukti yang diajukan DPR, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dan/atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan dan/atau menelitinya.[15]
Dalam persidangan tahap IV, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak memberikan bantahan terhadap alat bukti yang diajukan oleh DPR dan melakukan pembuktian yang sebaliknya dengan alat bukti yang pada dasarnya sama dengan alat bukti yang diajukan oleh DPR.[16] Serta Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan,dan meneliti alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.[17]
Setelah sidang pembuktian oleh Mahkamah dinyatakan cukup, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan kepada DPR mauapun Presiden dan/atau wakil Presiden untuk menyampaikan kesimpulan akhir dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya sidang. Kesimpulan disampaikan secara lisan dan/atau tertulis dalam persidangan pada tahap ke V.[18]
Dalam hal manakala Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi. Pernyataan penghentian pemeriksaan dan gugurnya permohonan dituangkan dalam Ketetapan Mahkamah yang diucapakan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum.[19]
Setelah pemeriksaan persidangan oleh Ketua Mahkamah Konstitso dipandang cukup, maka dilakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk mengambil keputusan. RPH dilakukan secara tertutup dengan sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim Konstitusi. Pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat, apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila ada hakim konstitusi yang ingin menyampaikan pendapat berbeda, maka pendapat tersebut dimuat di dalam putusan.[20]
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan dalam RPH dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Amar putusan Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan :
a)      Permohonan tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat;
b)      Membenarkan pendapat DPR apabilah Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945; atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c)      Permohonan ditolak apabila pendapat DPR tidak terbukti.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pendapat DPR menyebabkan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden terhenti, tidak berlanjut ke MPR.[21]
Apabila Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela, dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR untuk selanjutnya diproses secara politik.



[1] M.Laica Marzuki, Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut UUD 1945 (w-Jurnal Konstitusi Vol7),(Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010 Hal 21
[2] Yuli Andreansyah Arba’i, Mekanisme Pembuktian Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan Pengaturan proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, Hal 46
[3] Pasa7 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[4] Ibid Hal 47
[5] Lihat pasal 7 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[6] Lihat pasal 8 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[7] Lihat pasal 9 ayat (1) dan (2) PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[8] Op Cit, Yuli Andreansyah Arba’i Hal 48
[9] Lihat pasal 10 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[10] Op Cit Yuli Andreansyah Arba’i Hal 49
[11] Ibid, Yuli Andreansyah Arba’i Hal 49
[12] Lhat pasal 12 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[13] Lihat pasal 13 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[14] Op Cit Yuli Andreansyah Arba’i Hal 49
[15] Lihat pasal 14 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[16] Op Cit Yuli Andreansyah Arba’i Hal 50

[17] Lihat Pasal 15 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[18] Lihat pasal 16 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[19] Lihat pasal 17 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[20] Lihat pasall 19 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
[21] Lihat pasal 19 PMK No.21 Tahun 2009 Tentang  Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia