pasang iklan
pasang iklan

Sabtu, 11 April 2015

KEWENANGAN PENGUJIAN TAP MPR DALAM 
                               PRESPEKTIF HUKUM PERUNDANG UNDANGAN                                                                    
(Tinjauan terhadap Undang-Undang No. 12 Tahun 2011)
Oleh : Dwiky Agil Ramadhan[1]

I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, perkembangan hukum perundang-undangan di Indonesia berkembang dengan dinamis, terutama dalam bentuk dan hirarki peraturan perundang-undangan. Perkembangan yang sangat terlihat adalah bagaimana kedudukan TAP MPR yang dalam perkembangan hukum di Indonesia hilir masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 pada pasal 7 ayat (1) TAP MPR  masuk lagi dalam hirarki perturan perundang-undangan. Namun, yang menjadi permasalah setelah masuknya TAP MPR dalam sistem peraturan perundang-undangan adalah bagaimana status pengujian TAP MPR yang ada, khususnya bilamana TAP MPR itu bertentangan dengan Konstitusi. Lembaga mana yang berhak atau berwenang menguji TAP MPR ? maka,berangkat dari permasalahan tersebut, dalam tulisan ini berusaha menjawab siapa lembaga yang berwenang dalam menguji TAP MPR.

II. PEMBAHASAN
A.  Hukum Perundang-undangan
Pada negara yang berdasarkan atas hukum, maka semua aturan harus didasarkan pada huku yang berlau. Demikian juga setiap jenis peraturan harus dirancang, dikonsep, dan diundangkan secara benar serta berdasarkan prosedur atau tata cara yang sah.
Berkaitan dengan norma hukum dan tata urutan atau hirarkinya, Hans Kelsen mengemukakan mengenai teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufenbautheorie) yakni :
“norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam satu hirarki tata susunan dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (groundnorm).:”[2]
Teori yang dikemukakan oleh Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang merupakan murid Hans Kelsen. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yang terdiri dari :
Kelompok I        : Staats fundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II      : Staatsgrundsgezetz (aturan dasar / pokok negara)
Kelompok III     : Formell Gezetz (undang-undang formal).
Kelompok IV     : Verordnting & Autonome Satzung ( aturan pelaksana & aturan otonom )[3]
Kemudian menurut Wolfgang Friedman membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu dalam arti organized public power dan rule of law dalam arti materil yaitu the rule of just law. Pembedaan ini dimaksud untuk menegaskan bahwa dalam konsep negara hukum itu, keadilan tidak sertamerta akan terwujud secara substanstif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran piiran hukum materiil.[4] Dimana, kata perundang-undangan mengandung 2 (dua) arti yakni :
1.      Proses pembentukan perundang-undangan negara dan jenis yang tertinggi yaitu Undang-Undang (wet, gesetz , statute) sampai yang terendah yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan (wetgevende macht, gesetzgebunde gewalt, legislatif power).
2.      Keseluruhan produk peraturan-peraturan negara tersebut.[5]
Marida Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving atauy gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda yaitu :
1.      Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara,baik di tingkat pusat maupun daerah .
2.      Perundang-undangan adalah segala peraturan negara , yangmerupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah[6]
Istilah perundang-undangan mempunyai 2(dua) pengertian yang
berbeda yakni :
1.      Teori perundang-undangan yang bersifat kognitif berorientasi kepada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman, khususnya pemahaman yang bersifat dasar di bidang perundangan
2.       Ilmu perundang-undangan yang bersifat normatif berorientasi kepada melakukan perbuatan pengaturan,terdiri dari tiga macam yakni proses perundang-undangan, metode perundang-undangan dan tehnik perundang-undangan.[7]
A.Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pengetahuan perundangundangan adalah ilmu pengetahuan interdisipliner tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang membagi ilmu perundang-undangan menjadi dua bagian yakni :
1.      Teori perundang-undangan yang bersifat kognitif berorientasi kepada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman, khususnya pemahaman yang bersifat dasar di bidang perundangan.
2.       Ilmu perundang-undangan yang bersifat normatif berorientasi kepada melakukan perbuatan pengaturan,terdiri dari tiga macam yakni proses perundang-undangan, metode perundang-undangan dan tehnik perundang-undangan.[8]
Sedangkan Bagir Manan yang mengutip pendapat P.J.P Tak tentang wet in materiele zin melukiskan pengertian perundang-undangan daam arti material yang esensinya sebagai berikut :
1.      Peraturan Perundang-undangan yang berbentuk tertulis.Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundangundangan sebagai kaidah hukum lazim disebut sebagai hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
2.       Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai yang berwenang membuat peraturan yang berlaku mengikat umum (aglemeen).
3.      Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang.Mengikat umumhanya menunjukkan bahwa peristiwa perundang-undangan yang tidak berlaku terhadap peristiwa kongkret atau individu tertentu.

B.  Judicial Riview
a)   Semangat Pembentukan MK
Gagasan tentang pembentukan MK sangat berkaitan erat dengan ide  untuk mengembangkan fungsi pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang dikaitkan dengan kewenangan MA dalam sejarah awal pembentukan negara kita. Ide tersebut merupakan gagasan yang telah diusulkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang-sidang Badan Pekerja Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Dia berpendapat bahwa MA juga diberikan kewenangan untuk membandingkan undang-undang. Istilah “membandingkan undang-undang” tersebut tidak lain sama dengan ide pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.[9]
Namun, ide Muhammad Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan bahwa konsepsi dalam UUD 1945 adalah menganut pembagian kekuasaan (distribution of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). Konsepsi awal trias politica adalah pemisahan kekuasaan (separation of power) sebagaimana yang dikembangkan oleh John Lokce dan Montesquieu, bahwa setiap cabang kekuasaan harus terpisah dengan cabang keuasaan lainnya. Atas dasar inilah maka pengujian undang-undang tersebut tidak bisa dilakukan oleh MA karena juga terkait dengan supremasi MPR, dimana MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan persoalan ketatanegaran. Selain itu,  pengujian undang-undang oleh MA dianggap “tabu” karena hakim tidak boleh menilai dan menguji undang-undang produk legislatif. Tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menilai dan menguji undang-undang.[10]
Pendapat Soepomo tersebut sebenarnya di pengaruhi oleh doktrin dalam sistem hukum Belanda bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Sehingga pendapat Muhammad Yamin tersebut ditolak. Namun, Muhammad Yamin belum menyebutkan perlunya dibentuk lembaga baru yang punya kewenangan untuk melakukan  pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.Pendapat Yamin ini sama dengan pandangan George Jellineck pada akhir abad ke-19 yang mengusulkan agar MA Austria diberi wewenang menguji undang-undang seperti konsepsi yang diterapkan oleh Amerika Serikat sejak John Marshall menjadi Ketua MA. Namun George Jellineck juga belum memikirkan mengenai lembaga yang berdiri sendiri untuk melakukan kewenangan pengujian undang-undang tersebut di luar MA.[11]
Meskipun demikian, baik Muhammad Yamin maupun Soepomo sebenarnya telah tahu tentang perkembangan MK di beberapa Negara. Hal ini terlihat di dalam perdebatan dalam rapat BPUPKI. Memang jika dilihat di dalam rumusan UUD 1945, pembentukan MK di dalam sistem kekuasan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan terkait dengan adanya konsepsi hukum tentang pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan.
Ide tentang kewenangan menguji undang-undang oleh MA kembali marak sekitar tahun 1980-an. Hal ini sebagaimana disuarakan oleh PERADI (Persatuan Advokat Indonesia). Namun ide tersebut kembali tidak dapat diterima karena memang struktur paradigma berfikir UUD 1945 saat itu tidak memungkinkan.[12]
Baru kemudian sejak terjadinya rentetan reformasi, revolusi dan perubahan-perubahan besar di beberapa negara bekas komunis yang berkaitan dengan krisis konstitusional yang terjadi tahun 1980-an dan tahun 1990-an serta gencarnya beberapa diskursus tentang perubahan I Afrika Selatan dan bahkan akhir tahun 1998 hingga awal tahun 1990 di Korea Selatan, serta tahun 1997 sampai 1998 ketika Thailan mendirikan Mahkamah Konstitusi terjadi semacam efek bola salju atas ide pembentukan MK tersebut. Sehingga ketika Indonesia menghadapi krisis konstitusonal lalu juga dimaknai sebagai suatu keniscayaan untuk membentuk MK dengan melakukan Amandemen terhadap UUD 1945.[13]
Perubahan UUD 1945 kembali menjadi sorotan yang sangat tajam dengan munculnya ide untuk membentuk komisi konstitusi yang diberi wewenang untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Pro kontra sekitar pembentukan komisi konstitusi tersebut banyak mendapat sorotan dari beberapa pakar hukum. Di antaranya oleh Moh. Mahfud MD. yang cenderung menyetujui pembentukan komisi konstistusi dengan kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dimana anggotanya terdiri dari para pakar, utamanya pakar konstitusi dan pakar politik.[14]
Dari beberapa perdebatan panjang tersebut, akhirnya MPR berhasil menetapkan Amandemen yang pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999, Amandemen kedua UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000, Amandemen ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001, dan Amandemen keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002.
Meskipun kesepakatan pembentukan MK mulai ditetapkan sejak Amandemen ketiga UUD 1945 pada tahuan 2003, namun tahapan pembentukan MK tersebut sebenarnya sudah mulai terjadi sejak tahun 2000, apalagi  ketika para aktivis LSM juga mulai membuat gerakan-gerakan, merumuskan ide-ide  tentang Amandemen bahkan konstitusi baru, sehingga wacana tentang pembentukan MK semakin mengerucut. Termasuk ketika para angora DPR di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR melakukan studi banding ke beberapa negara. Namun demikian, masih banyak kalangan yang menolak terhadap pembentukan MK. Menurut Jimly Ash Shiddiqie, kalangan yang menolak terhadap pembentukan MK karena mereka didasari oleh 2 (dua) basis pemikiran. Pertama, menolak MK sebagai lembaga dan cenderung untuk menambahkan fungsi MK ke MA. Pandapat ini dipengaruhi oleh pendapat montesqieu yang membagi kekuasaan negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, penolakan pada lembaga dan fungsinya. Pendapat ini dipengaruhi oleh doktrin dalam sistem hukum Belanda bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah dan diganggu gugat. Penolakan terhadap Amandemen UUD 1945 secata tidak langsung juga menolak terhadap wacana pembentukan MK.[15]
Berdasarkan paparan di atas, maka sangat jelas bahwa semangat awal dari pembentukan MK adalah untuk melindungi hak-hak konstitusional dari berlakukanya undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Pembentukan MK atas dasar pemikiran bahwa UUD 1945 yang merupakan  dasar negara (stategroundgesetz) harus dijaga dan dikawal secara konsisten. Keberadaan MK dalam struktur ketatangaraan Indonesia adalah berfungsi sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution). Di samping itu keberadaan MK juga dimaksudkan untuk menjamain check and balances yang menempatkan semua lembaga negara sejajar dan seimbang.
b)   Kewenangan MK dalam Pengujian TAP MPR
Munculnya pengaturan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 yang mengkategorikan bahwa Tap MPR maerupakan bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling (mengatur secara umum) dan berada di bawah UUD 1945 adalah akibat masih berlakunya beberapa Tap MPR berdasarkan Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Dalam Tap MPR ini mengelompokkan 139 Tap MPRS dan Tap MPR yang sudah ada ke dalam enam kelompok status baru, yaitu:
1.    Yang di cabut dan dinyatakan tidak berlaku selama 8 Tap;
2.    Yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu sebanyak 3 Tap;
3.    Yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu sebanyak 8 Tap;
4.    Yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang sebanyak 11 Tap;
5.    Yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil pemilu tahun 2004 sebanyak 5 Tap;
6.    Yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena bersifat final (einmalig), telah di cabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak 104 Tap.
Meskipun Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengkategorikan Tap MPR termasuk bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, namun tidak berarti MPR masih mempunyai wewenang untuk membentuk Tap MPR yang baru pasca amanndemen UUD 1945, karena yang dimaksud dengan Tap MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut hanya terhadap beberapa Tap MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan Tap MPR Nomor 1/MPR/2003. Dengan demikian, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 ini hanya untuk mengakomudir terhadap beberapa Tap MPR yang masih dinyatakan berlaku dan bersifat regeling. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011, bahwa :
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang PeninjauanTerhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003

Meskipun MPR tidak akan membentuk Tap MPR lagi yang mengatur secara umum (regeling), akan tetapi tidak akan menutup kemungkinan bahwa akan terdapat permohonan pengujian Tap MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 oleh warga Negara yang mempunyai legal standing dimana hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh berlakuknya Tap MPR yang masih berlaku tersebut.
Untuk menyelesaikan kasus ini, Penulis lebih menetikberatkan pada semangat dibentuknya MK sejak tahun 2003, bahwa semangat dibentuknya MK adalah untuk melindungi hak-hak konstitusional yang dilanggar oleh negara, sehingga keberadaan MK di Indonesia tidak lain adalah sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution).
Terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional yang dinilai karena berlakunya Tap MPR yang masih tetap dinyatakan berlaku akan banyak merugikan masyarakat sebagai warga negara, sehingga apabila pengujian Tap MPR itu masih menunggu sidang tahunan MPR, maka hal ini akan membutuhkan waktu dan proses yang lama dan akan semakin menambah volume kerugian bagi masyarakat.
Lahirnya MK di Indonesia sejak tahun 2003 telah melahirkan beberapa terobosan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengujian terhadap Tap MPR ini tidak diatur secara jelas di dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga hal ini akan terjadi kekosongan hukum, apakah pengujian Tap MPR ini merupakan wewenang MK atau diserahkan pada MPR dengan konsekwensi masyarakat banyak dirugikan karena harus menunggu waktu dan proses yang sangat lama.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 bahwa MK hanya mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional, yaitu :
(1). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada  tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2). Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Konsep mengenai wewenang menguji untuk menjaga kesucian konstitusi oleh lembaga yudisial ini dapat melihat beberapa putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Di dalam memberikan putusan, MA dapat berdasarkan pada peraturan yang dibuat oleh Kongres maupun pada doktrin. Sebagian besar kasus yang ditangani MA merupakan hasil interpretasi hukum dalam menentukan apakah suatu peraturan atau pejabat berjalan sesuai dengan konstitusi atau tidak. Wewenang MA ini tidak disebutkan secara khusus dalam konstitusi AS, akan tetapi didasarkan pada doktrin yang disimpulkan oleh MA berdasarkan naskah konstitusi dan telah dinyatakan secara gamblang dalam kasus penting yaitu Marbury vs. Madison tahun 1803. Dalam putusannya MA dengan hakim Marshall menyatakan bahwa “...tindakan legislatif yang  bertentangan  dengan  Konstitusi  bukanlah Hukum...”, dan lebih lanjut menambahkan bahwa ”adalah wewenang dan tugas dan wewenang dari lembaga peradilan untuk  menyatakan apakah hukum itu”. Atas dasar inilah, maka MA mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian (yudicial review) terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi AS.[16]
Tradisi AS inilah yang kemudian menjadi tonggak bagi lahirnya ajaran supremasi konstitusional dalam pengujian peraturan perundang-undangan. Menurut Smith Baily (Inggris), bahwa yudicial review didirikan atas dasar doktrin Ultra Vires (ultra vires doctrin) yang digunakan dalam sistem hukum di Inggris. Berdasarkan doktrin tersebut kekuasan yudikatif diberikan hak dan kewenangan untuk[17] :
a.    mengawasi batas kewenangan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan (statutory authority) sesuai dengan batas yurisdiksi atau kawasan kekuasaannya.
b.    kekuasaan yudikatif diberikan hak, fungsi dan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penguasa pusat maupun daerah dan local untuk tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) melampaui batas-batas yurisdiksinya.
c.    Apa-apa yang tidak didelegasikan undang-undang kepada penguasa, atau membuat peraturan perundang-undangan yang jauh lebih luas dari apa yang telah didelegasikan, harus dinyatakan sebagai tindakan yang tidak berdasar hukum (unlawful), karena dianggap sebagai tindakan yang illegal.
Secara analisis ketatanegaraan bahwa MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi Negara seperti sebelum amandemen UUD 1945. MPR sekarang sudah berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga Negara lainnya, sehingga terhadap produk hukumnya-pun dapat dilakukan peninjauan atau pengujian oleh lembaga Negara lain, yakni oleh MK demi untuk menjaga kesucian nilai-nilai dan semangat dari pada UUD 1945.
Jika kita melihat fungsi MA dalam sistem peradilan di Amerika serikat bahwa MA pada dasarnya mempunyai wewenang untuk menguji segala produk hukum lembaga Negara yang melanggar atau bertentangan dengan konstitusi dan melihat kedudukan dari pada MPR pasca amandemen UUD 1945, maka menurut penulis lembaga Negara yang berwenang untuk menguji Tap MPR sebelum dirubah dalam rapat tahunan MPR adalah MK, karena semangat pembentukan MK adalah sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution).

C.  Legislative Riview
Legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah undang-undang tertentu.[18]
Dalam legislative review, setiap orang dapat meminta agar lembaga legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat dengannya.[19] Dengan demikian, produk hukum yang lama tidak berlaku lagi apabila telah dikeluarkannya produk hukum yang baru melalui revisi yang dilakukan oleh lembaga legislatif.
Dikaitkan dengan kewenangan pengujian Tap MPR maka MPR sebagai lembaga yang membuat TAP MPR juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan melakukan perubahan terhadap TAP MPR RI bila dirasa ketetapan MPR tersebut sudah tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat atau bila bertentangan dengan Konstitusi / UUD 1945.
Dalam legislative riview ini, juga MPR RI dalam praktik ketatanegaraan Republik Indonesia sudah pernah melakukannya, yaitu  berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan amandemen keempat UUD 1945 yang berbunyi : “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”., maka dalam sidang tahunan MPR tahun 2003, MPR mengeluarkan Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1966 sampai dengan tahun 2002. Dalam Tap ini mengelompokkan 139 Tap MPRS dan Tap MPR yang sudah ada ke dalam enam kelompok status baru, yaitu:
1.      Yang di cabut dan dinyatakan tidak berlaku selama 8 Tap;
2.      Yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu sebanyak 3 Tap;
3.      Yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu sebanyak 8 Tap;
4.      Yang dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang sebanyak 11 Tap;
5.      Yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil pemilu tahun 2004 sebanyak 5 Tap;
6.      Yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena bersifat final (einmalig), telah di cabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak 104 Tap.
Oleh karena itu, maka secara konstitusional MPR juga dapat berwenang untuk melakukan pengujian kembali, dengan alasan bahwa tindakan MPR sebelumnya dapat dijadikan sebuah Konvensi/kebiasaan yang juga tidak terlepas sebagai bagian dari Konstitusi atau lebih tepatnya konstitusi yang tidak tertulis.

 III. KESIMPULAN
Kewenangan pengujian TAP MPR dapat dilakukan oleh MK melalui Judicial Riview dan melalui MPR RI, lewat Lagislative Riview, tergantung bagaimana prosesnya, dimana bila melalui Judicial Review adalah pengujian secara pasif artinya MK menunggu adanya pengaduan, sedangkan melalui MPR itu sifatnya aktif karena MPR melakukan pengujian berdasarkan hasil dari kajian yang komperhensif.





[1] Mahasiswa  aktif Fakultas Hukum Unsoed, Angkatan2012, Ketua Divisi Penelitian LKHS FH Unsoed dan Ketua LSO Forum Studi Hukum Islam (Foshi) FH Unsoed
[2] Abdul Rahman, Ilmu Hukum tata Negara, Teori Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan,iCitara Aditya Bakti, Bandung 1995, Hlm 12
[3] Brata Kusuma & Solihin, Otonomi Daerah Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Gramedia utama, Jakarta 2002, Hlm.17
[4] Ibid, hlm 17
[5] Maria Farida Indrati.S, Ilmu perundang-undangan, Dasar dan Pembentukannya,,Kanisius Yogyakarta, 1998. Hlm 32.
[6] Brata Kusuma & Solihin,op.cit, Hlm 120
[7] Maria Farida, Op.cit, hlm. 137
[8] A.Hamid.S Attamimi “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara – Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I – Pelita IV ( Disertasi Dokter UI Jakarta, 1990), Hlm. 301.
[9]Refly Harun, Zainal A.M. Husein, Bisariyah, Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta :  Konstitusi Press, 2004), hlm. 4
[10]Ibid.,hlm. 4 - 5
[11]Ibid.,hlm. 5
[12]Ibid.,hlm. 6 – 7
[13]Ibid.,hlm. 7
[14]Moh. Mahfud MD., Amandemen UUD 1945 dalam Perspektif Demokrasi dan Civil Society, Civility : Untuk Demokrasi dan Civil Society, II, November 2001, hlm. 26
[15]Refly Harun, Zainal A.M. Husein, Bisariyah, op. cit., hlm. 8 – 9
[16]Richard C. Schroeder, Garis Besar Pemerinhan Amerika Serikat, (Kantor Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2000), hlm.96 – 101
[17] M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta :Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 44 – 45
[18] Hukumonline.com, Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia, 2012. Diakses Pada tanggal 07 April 2015  dari situs:  http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-revie%20w-dan-judicial-review-di-indonesia
[19] Ibid, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia