pasang iklan
pasang iklan

Kamis, 06 November 2014

Sejarah Pers Indonesia




Sejarah pers di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu sejarah pers nasional, sejarah pers kolonial, dan sejarah pers Cina. Pers Nasional adalah diusahakan oleh orang-orang Indonesia, biasanya oleh kaum pergerakan nasional atau menurut istilah dewasa ini kaum perintis kemerdekaan dan bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Pers Kolonial diusahakan oleh orang-orang Belanda, berupa surat-surat kabar, majalah-majalah dalam bahasa Belanda, daerah atau Indonesia dan bertujuan untuk membela kepentingan kaum kolonialis Belanda dan kadangkala mengkritik pemerintah. Pers Cina berbentuk koran-koran, majalah-majalah dalam bahasa Cina, Indonesia dan juga bahasa Belanda, yang diterbitkan oleh kaum Cina. Jadi keadaan pers di Indonesia di masa penjajahan, memang sesuai dengan keadaan masyarakat, di mana ketiga golongan penduduk tersebut mencerminkan situasi keadaan penduduk yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.[1] Tetapi dalam uraian-uraian dalam bab ini hanya akan dibahas tentang sejarah pers Nasional. Agar diperoleh sejarah pers akan dimulai dengan keadaan pers Indonesia semasa penjajahan Belanda.



1.      Di Zaman Penjajahan Belanda

Tentang pers kolonial adalah sama tuanya dengan bercokolnya kaum kolonialis Belanda di Indonesia.
Dalam tahun 1615, atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian dalam tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal Belanda pertama di Indonesia, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa surat kabar pertama Indonesia adalah suatu penerbitan pemerintah (V.O.C)

Pada tanggal 14 Maret 1688, setelah tibanya mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda, atas instruksi pemerintah diterbitkan surat kabar tercetak yang pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Kemudian pada tahun 1744, Jordens, seorang pegawai bagian pembelian V.O.C menerbitkan “Bataviasche Nouvelles”, Koran ini terdiri dari selembar folio dan terbit setiap hari Senin. Lalu, tahun 1775, Dominicus, seorang Belanda setelah ia mendapat izin menerbitkan suatu majalah, ia menerbitkan “Vendunieuws”. Vendunieuws bertahan dan berganti nam menjadi “Bataviasche Koloniale Courant”. Tetapi pada Tahun 1811 Indonesia jatuh ke tangan Inggris, maka “De Bataviasche Koloniale Courant” menjadi mati dan berganti nama menjadi “The Java Goverment Gazette”. Kemudian dengan kembalinya Belanda berkuasa di Indonesia dalam tahun 1816, maka lenyaplah “The Java Goverment Gazette”, kemudian diganti dengan “De Bataviasche Courant”. Kemudian disusul koran “De Javaschge Courant”, yang terbit tanggal 1 Januari 1845.
 
Dalam tahun 1851, di Jakarta diterbitkan oleh Bruining koran harian yang pertama yaitu “Het Bataviaasch Advertentieblad” dan dalam tahun berikutnya (1852), terbitlah harian “De Java Bode” yang terbit di Jakarta dan “De Locomotief” yang terbit di Semarang. Dalam tahun 1853 di Surabaya terbit “Het Soerabajasch Handelsblad”. Kemudian terbitlah harian-harian lain, seperti “Het Algemeen Indisch Dagblad” di Bandung, “Het Bataviaasch Nieuwsblad” (terbit dalam tahun 1855).

2.      Di Zaman Pendudukan Jepang

Dengan pecahnya perang Pasifik yang dimulai pihak Armada Jepang pada tanggal 8 Desenber 1941 dengan pemboman Pearl Harbour oleh pesawat-pesawat udaranya, sampai pendaratan tentara Jepang di Indonesia, surat-surat kabar Indonesia masih terbit.[2] Pada awal kedatangan Jepang, bangsa Indonesia memberi simpati kepada Jepang. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia berharap bahwa bangsa Jepang akan memberikan kemakmuran dan perbaikan bagi bangsa Indonesia. Tetapi setelah 1 bulan menduduki Indonesia, simpati itu berubah menjadi kekecewaan.
 
Pers pada zaman Jepang dipaksa untuk menjadi satu demi untuk memuluskan rencana Jepang dalam “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Surat kabar yang lahir semata mata menjadi alat pemerintahan Jepang adalah “Asia Raya” di Jakrta, “Sinar Baru” di Semarang, “Suara Asia” di Surabaya, “Tjahaja” di Bandung serta di kota-kota besar lainya seperti Makassar, Medan, Padang, dll.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang. Jadi, di zaman pendudukan Jepang, Pers adalah alat Jepang dan kabar-kabar serta karangan yang dimuat hanyalah yang pro jepang semata-mata. Walaupun demikian ada juga segi baiknya bagi karyawan pers kita zaman Jepang in. Di samping karyawan pers kita dapat memperluas pengalaman mereka dengan tersedianya fasilitas-fasilitas yang lebih banyak daripada di zaman Belanda. Pada zaman Jepang semua yang akan dicetak haruslah dimintakan izin.
 
Ada sesuatu yang menarik tentang persurat kabaran di zaman Jepang, yakni tentang bagaiman penghargaan bangsa Jepang pada surat kabar. Pegawai pemerintah bangsa Jepang rata-rata menganggap bahwa orang yang tidak membaca surat kabar adalah orang yang bodoh.[3]
Pada zaman Jepang pun ada penyegelan terhadap radio. Karena radio dianggap sebagai alat propaganda. Tidak heran apabila media massa diawasi secara ketat. 

Secara garis besar, memang banyak kerugian yang didapat pers kita, tetapi ada juga segi yang menguntungkan dari pers pada masa Jepang ini, antara lain :
1.      Penggunaan bahasa Indonesia menjadi lebih luas karena untuk menggantikan Bahasa Belanda.
2.      Mengajak rakyat untuk berfikir kritis terhadap berita yang disiarkan oleh sumber-sumber resmi Jepang, juga tersiarnya kabar tentang kekejaman bangsa Jepang sehingga dapat memompa semngat rakyat dalam merebut kemerdekaan.
3.      Bertambahnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh oleh karyawan pers kita karena bertambahnya fasilitas-fasilitas pers.

3.      Pers Indonesia menjelang kemerdekaan

Pelopor suratkabar pada masa ini adalah Berita Indonesia (BI). Salah seorang pemrakarsa dari penerbitan BI adalah Eddie Tahsin. Bersama dengan temannya yang lain seperti Sidi Mohammed (kemudian SK Abadi), Roesli Amran (Deplu), Suardi Tasrif (advokat), Anas Ma’roef (yang saat itu belajar di SMT) dan bekerja di pusat Kebudayaan. 

Mereka bersepakat untuk menerbitkan sebuah surat kabar dan dinamakan Berita Indonesia (BI).
Penerbitan BI sendiri adalah secara sembunyi-sembunyi pada awalnya, tetapi kemudian secara terang-terangan. BI ini terbit dengan jumlah 5000 lembar. Setiap terbitrakyat selalu berebutan ingin membacanya.. Penerbitan BI sendiri adalah untuk menandingi Berita Gunseikanbu karena berita Gunseikanbu adalah surat kabar yang menentang adanya Republik.
Setelah BI, juga bermunculan berbagai surat kabar seperti “Merdeka”, “Sumber”, “Pemandangan”, “Rakyat” dan “Pedoman”.


[1] I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, P.T Triyinco, Jakarta, 1977, hlm. 17-18
[2] I. Taufik, Op. Cit, hlm. 31
[3] Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia