pasang iklan
pasang iklan

Senin, 29 September 2014

RUU PILKADA DALAM TINJAUAN KONSTITUSIONALITAS



Polemik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepada Daerah (RUU Pilkada) seminggu ini menjadi pembahasan yang menarik, terlabih setelah adanya Sidang Paripurna yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) beberapa waktu yang lalu untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang.


Dalam dinamika di Sidang Paripurna DPR RI secara garis besar muncul dua kelompok yang mempunyai ide yang berbeda. Kelompok pertama menginginkan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, dan kelompok yang kedua menginginkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jalannya Sidang  Paripurnanya sendiri pun berjalan alot dan menegangkan, usaha untuk adanya musyawarah mufakat dengan dilakukan lobi-lobi antar fraksi pun dilakukkan hingga memakan wajtu berjam-jam. Namun, hal itu sia-sia belaka hingga pada akhirnya dilakukanlah voting untuk menentukan pilihan apakah pemilihan Kepala Daerah akan dilakukan oleh DPRD atau langsung dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum langsung. Setelah dilakukanya voting, Sidang Paripurna pun berhasil membuat keputusan bahwa pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD.
Namun, ketidak puasan masih dirasakan oleh sebagian anggota DPR lain dan juga dirasakan oleh sebagian masyarakat dengan berbagai elemenya. Kalangan yang tetap mendukung adanya pemilihan Kepala Daerah oleh rakyat lewat pemilihan umum secara langsung pun berniat mengajukan uji materiil atau “Judicial Review” ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak konstitusional dan bertentangan dengan prinsip-prisip demokrasi yang di junjung tinggi terutama setelah reformasi pada tahun 1998.
Banyak kalangan lupa bahwa, hakikat demokrasi dan pengertian konstitusional sehingga dirasa gegabah dan tergesa-gesa serta mengedepankan emsosional sesaat dalam menghadapi polemik RUU Pilkada ini, terutama para anggota DPR RI dan para elit politik nasional. Bahwa, bila dilihat dari aspek Konstitusionalitasnya dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Dalam pasal tersebut dapat dimaknai bahwa, baik pemilihan kepala daerah baik dipilih langsung oleh rakyat, atau DPRD atau cara lainya diperbolehkan namun dengan cara-cara yang demokratis.
Pengertian demokratis jangan dimaknai secara sempit saja, karena hakikat demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kita boleh ambil contoh, dalam menentukan Gubernur di Provinsi  Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur, hal ini sudah disepakati secara penuh kesadaran oleh rakyat Yogyakarta. Inilah cerminan demokrasi yang sesungguhnya, bahwa khendak rakyat Yogyakarta menghendaki yang demikian bahwa beberapa waktu yang lalu ketika ada polemik terkait bagaimana mekanisme pemilihan Gubernur di Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta sepakat dengan mengadakan referendum untuk menentukan mekanisme siapa yang menjadi Gubernur, yaitu Sri Sultan lah yang otomatis mnjadi Gubernur Yogyakarta.
Maka, dapat kita simpulkan bahwa pemilihan kepala daerah berdasarkan pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 membuka peluang bagaimana daerah menentukan mekanisme mana yang cocok sesuai karakteristik dan kekhususan daerahnya dalam melakukan pemilihan kepala daerahnya masing-masing. Sehingga, diharapkan Undang-Undang Pilkada kedepanya mengakomodir hal yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pasal 18 ayat (4).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia